“Terlalu banyak tahu, artinya aku berpotensi menyebarkan kebiasaan di kediaman Oxley pada dunia luar?”
Lui tiba-tiba berbaring nyaman di ranjang tempatku berada. Berjarak sejengkal dariku dalam posisi telentang sambil menyilangkan kaki dan meletakkan kepala di kedua tangan di atas kepalanya.
“Lebih dari itu, mungkin.”
Jawaban yang sama sekali tidak memuaskan. Aku berharap masih bisa mengajukan pertanyaan yang memancing, tapi seseorang masuk ke ruangan ini tanpa permisi.
“Ada yang ingin bertemu.” Wanita bergaun sutera biru pudar itu tersenyum pada kami berdua, bergantian. Tampaknya dia berumur tidak lebih tua dari ibu.
Lui bangkit terlalu panik sampai aku terkejut. “Siapa?”
“Ayahmu.”
Dari fokus menatap wanita itu, Lui berpaling padaku, mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Berbaringlah. Ayah harus melihatmu dalam keadaan kesakitan.”
“Aku harus bersandiwara maksudmu?”
Lui menggeleng. “Berbaring, pejamkan matamu. Biar aku yang menghadapinya. Kecuali jika dia memaksa masuk, kau sudah siap dengan peranmu, berpura-pura tidur.”
Aku mengiyakan, tapi Lui justru mencuri ciuman lagi dariku sebelum pergi. Kali ini bibir.
Tidak seharusnya aku berdebar. Bukan, bukan karena Lui, tapi kehadiran ayah sungguh membuatku gelisah sampai detak jantungku tidak karuan.
Memang bukan ibu yang datang, tapi ayah tentu berada di pihak yang sama. Mereka mungkin sering berbeda pendapat, tapi sampai sekarang tetap bersama dan bekerja sama. Itu fakta nyata di lapangan.
Sunyi setelah Lui dan wanita bergaun sutera itu pergi dari kamar ini. Entah sampai berapa lama aku harus berpura-pura tidur dengan mata terpejam. Namun aku justru kehilangan kesadaran sekiranya semenit kemudian. Sebuah tamparan pelan dan dingin yang tiba-tiba singgah di pipiku, membuatku terbelalak.
Wajah tampan Lui terlihat memar dengan sudut bibir yang berdarah. Aku kehilangan waktuku berapa lama?
“Kenapa sulit sekali membangunkanmu, hmm?” Dia marah, tapi khawatir. Lantas langsung menggendongku seolah aku ini seekor koala. Dia tidak menyentuh punggungku sama sekali.
Aku hampir tidak sempat bernapas karena terlalu terkejut. Mengaduh pelan ketika kembali terserang nyeri di punggung.
“Kau harus bertahan. Aku akan membawamu pada Rhys.” Lui mengeratkan pelukan di sekeliling pinggang ke bawah, dekat bokongku.
“Rhys tahu soal ini?” Aku melihat Lui meninggalkan kamar diiringi tatapan khawatir wanita bergaun sutera itu.
“Terpaksa kuberitahu. Dia mungkin akan terlambat sampai, karena sedang berada di luar kota.”
“Kenapa tidak memberitahunya sejak awal?” Karena Rhys satu-satunya orang yang pasti bisa kuandalkan.
Lui membawaku ke sebuah mobil dengan bak terbuka. Dia berteriak pada seseorang untuk membukakan pintu belakang yang menjadi jalan untuk memanjat ke atas. Tidak terlihat memiliki niat untuk menjawab pertanyaanku.
Seorang pria keluar dari pintu pengemudi, lalu—oh, dia ... Osen Murald? Pria yang waktu itu membiarkanku menumpang. Ah, ya! Ini mobil pick up miliknya. Sekarang aku tahu kenapa merasa tidak asing dengan kendaraan ini.
Osen sempat melirik ke arahku, tapi dia tidak berekspresi seolah dia mengenalku. Kenapa? Apa dia bekerja untuk Lui? Bukankah waktu itu dia berkata bahwa mereka—warga sekitar dan keluarga Oxley—hidup tidak saling mengganggu satu sama lain? Aku penasaran dia berada di pihak siapa, sebab menurut cerita yang keluar dari mulutnya, pria bernama Osen itu disekolahkan oleh ayahku dan berteman dengan Rhys.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚! ❝𝐌𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐬𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡𝐦𝐮 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐤𝐮.❞ ―𝐑𝐡𝐲𝐬 ❝𝐊𝐚𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐝𝐢𝐤𝐦𝐮!❞ ―𝐙𝐞𝐞𝐙𝐞�...