Chapter 42

12.9K 1.6K 1
                                    

Kupikir, dia akan seperti biasanya. Menatap tajam, tidak bersuara, tidak tersenyum, apalagi coba mengucapkan kalimat manis padaku. Namun, sesuatu yang tidak terduga justru terjadi. Dia ... menarikku ke dalam pelukannya.

“Tetaplah hidup,” katanya.

Dan itu sedikit menakutkan bagiku. Sekalinya dia bicara ketika aku bertindak lebih dulu, maka sesuatu biasanya benar terjadi.

Mungkin kalian mulai menyadarinya, baik aku atau Rhys, kami telah berubah. Sedikit demi sedikit. Entah itu perasaan kami, perjalanan membingungkan ini dan pelarian tidak tentu arah yang terus berjalan.

“Rhys—”

“Pergilah. Jaga dirimu.” Rhys menyelaku bukan cuma dengan ucapan, tapi tindakan. Melepas pelukan, sedikit mendorongku menjauh darinya.

“Ayo, ZeeZee. Waktu kita tidak banyak.” Brady di sisiku. Entah sejak kapan. Menarik tanganku, lalu bergerak terburu-buru.

Masih sempat kulihat Rhys yang menatap kepergianku. Dia mematung di sana, lalu ketika aku berharap bisa memanggilnya sekali lagi saja, tubuh tinggi itu berbalik, memunggungiku dan melangkah menjauh.

“Masuklah.” Tahu-tahu Brady sudah membukakan pintu mobil untukku.

“Kita mau ke mana?”

“Ke tempat ayahku. Satu-satunya orang yang tidak bisa disentuh orang tuamu hanyalah ayahku.”

Ketika sudah duduk dan melihat Brady ikut duduk sambil menarik pintu menutup, aku berkata. “Lalu meninggalkan Rhys sendirian?”

“Justru Rhys bisa menjaga dirinya dengan sangat baik, selama kau tidak ada di sisinya.”

Tidak tersinggung, kuanggap saja dia cemburu. “Jadi maksudmu, aku cuma beban untuknya?”

“Kurang lebih begitu.” Brady fokus ke jalanan, tidak menoleh ke arahku sedikit pun.

Kurasa, bukan hanya aku dan Rhys yang berubah, tapi Brady juga. Entah kenapa dia tidak sehangat biasanya, namun aku tidak peduli. Wajar begitu, sebab dia pun punya beban pikiran dan tanggung jawab soal Audrey beserta kandungannya.

Dan—mmph! Kubekap mulutku. Rasa tidak nyaman tiba-tiba menjalar kuat dan cepat, dari lambung ke—“Hueek!”

Aku langsung muntah di dalam mobil. Mengotori kendaraan mewah ini terus menerus, bukan sekali dua kali. Kudengar Brady meminta sopirnya menepi, lalu dia membuka pintu. Membiarkan udara luar masuk dan bau tidak sedap karena muntahanku pasti menyebar entah ke mana saja.

“Tidak apa, ZeeZee. Keluarkan saja.” Brady mengusap-ngusap punggungku. Menyatukan ke semua rambutku sehingga tidak ada yang menutupi wajahku.

Rasa tidak nyaman di perut dan pusing di kepala, membuat pandanganku goyah, sedikit demi sedikit buram, gelap.

“Dia hamil. Kau suaminya?”

“Ya.”

“Kita perlu bicara. Ikutlah keluar denganku sebentar.”

Ketika pintu terdengar ditutup, aku membuka mataku. Itu tadi percakapan antara Brady dan seorang wanita.

Sudah pasti itu si dokter yang menyatakan bahwa aku ... Hamil? Aku? Kuraba perutku yang rata. Mustahil! Apa mungkin?

𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang