Chapter 54

10.7K 1.4K 15
                                    

Lama. Aku sampai terbangun dari tidur dan Rhys belum juga kembali. Enggan keluar kamar, sebab di sini aku tidak bisa merasa bebas. Seperti bersikap sesuka hati saat melihat Rhys lalu melompat ke dalam pelukannya atau menciumnya dengan nafsu menggebu ketika kami cuma berdua saja.

Tidak. Tidak bisa begitu. Jadi kuputuskan untuk tetap berdiam diri di kamar. Membuka, lalu memejamkan mata. Bolak balik badan dan menghela napas, bosan.

Pintu terbuka setelah—sepertinya—hampir tengah malam ketika kesadaranku sangat jauh tertinggal.

Ranjang terasa dinaiki dari segala sisi. Seakan bukan satu orang yang—hah? Satu ... dua ... tiga? Tiga tubuh merangkak dalam keremangan menuju ke arah dari sudut berbeda. Sumpah demi apa! Itu Rhys, Lui dan Hugo.

“Sayang, sebenarnya ... aku tidak setuju membagimu dengan yang lain, meski itu mereka.” Rhys melirik bergantian pada Hugo dan Lui yang tampak menatapku tajam. Dia mendekat padaku lebih intim hingga tinggal menciumku sampai kami bisa mempertemukan diri satu sama lain, menyatu dalam kehangatan menyenangkan. Bergerak satu sama lain, beriringan, serentak bekerjasama sampai berpeluh keringat yang membuat tubuh kami menguarkan aroma yang sama. Biasanya kami begitu. Mungkin malam ini berbeda.

Namun suaraku tidak keluar. Aku berusaha sambil mencengkeram lengan Rhys kuat-kuat dan cuma bisa menggeleng-geleng sebagai isyarat ketidaksetujuanku pada kehadiran Hugo dan Lui di atas ranjang yang di mana harusnya hanya ada aku dan Rhys.

“Lepas pakaiannya. Jangan sentuh sebelum kuizinkan.” Rhys memberi perintah. Langsung diiyakan oleh Hugo dan Lui yang langsung berusaha menanggalkan apa yang kukenakan.

Aku meronta, menendang, namun mereka mencengkeram kedua pergelangan kakiku, tanganku. Aku bisa apa selanjutnya? Mereka bertiga, aku sendirian tanpa persiapan. Aku tidak tahu akan ada kejadian seburuk ini dalam hidupku.

Mereka berhasil membuatku tidak berpakaian. Telanjang tanpa perlindungan. Ketiganya menatapku lapar, buas dan bernafsu. Demi apa, aku gemetar ketakutan. Rhys yang kupercaya, Hugo yang kusegani dan Lui yang kuanggap teman, mereka tampak seperti orang lain. Mereka ....

“... ZeeZee!”

Terlonjak, kuremas seprei di sisiku dan pastinya melotot seakan terlempar jauh tubuh ini. Debaran jantungku menandakan bahwa apa yang kurasakan sungguh nyata, sangat jelas.

Rhys mengamatiku. Cuma ada dia seorang di sini bersamaku, di atas ranjang yang kutiduri. Tanpa Hugo, apalagi Lui. Mimpi?

“Kau mimpi diburu untuk dibunuh?” Pertanyaan Rhys sungguh ‘aneh’ untuk standar kekasih berwajah tampan yang normal.

“Aku bermimpi ada pria lain selain kau di atas tempat tidurku.” Langsung kuceritakan padanya. Perasaan tidak enak masih lekat, kutahan sambil menatapnya yang tengah membelai rambutku.

“Menyakitimu? Memperkosamu?”

Aku menggeleng. “Belum sampai sana, nyaris.”

“Kau mengenalnya?”

“Kau, Hugo dan Lui.”

Kernyitan samar hadir sekilas di keningnya. Jelas kulihat karena penerangan kamar yang terang. Pasti dia yang menyalakannya saat masuk.

“Kau berteriak ketakutan.”

Tidak heran. Memang seperti nyata saat tangan-tangan mereka mencengkeram kaki dan tanganku, lalu berhasil menelanjangiku dengan paksa.

“Perlahan lupakan. Aku di sini.” Kedua lengannya terentang datang memelukku, erat.

“Ya.” Kepala terangguk pelan, bibirku menempel di dada Rhys dan kukecup berulang kali. Aku merindukannya. Aku tidak membencinya walau rasanya sedetik lalu dia baru saja memberi perintah pada Hugo dan Lui agar melepaskan pakaian yang kukenakan dengan paksa, di kondisiku yang mendadak bisu. Itu ... mimpi. Benar mimpi. Hanya mimpi!

Padahal, sejak melihatnya barusan, aku sedang menunggu. Bahkan sedari awal memang menunggu. Menantikan saat-saat dia akan menyentuhku, menyatukan diri kami satu sama lain. Namun sepertinya dia kelelahan. Dari bahasa tubuhnya, dia mengajakku untuk tidur. Benar-benar memejamkan mata.

Demi apa! Mana bisa aku tidur lagi setelah terbangun dari mimpi buruk? Bagaimana mungkin aku kembali memejamkan kedua mata setelah merasa kenyang?

Huh! Tidak peka!

Dia benar-benar lelap saat kulambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. Tidurnya damai, menenangkan dan tentu saja dalam penilaianku Rhys itu selalu tampan.

Jadilah kedua mataku terbuka lebar-lebar sambil memandangi wajahnya yang sedang tidur. Hmm ... rupawan, gagah dan kejam. Ingin sekali rasanya berpeluh bersama dengannya, mengerang penuh nikmat, meneriakkan namanya ketika mencapai klimaks dan ... huft! Aku sedang dalam keadaan ingin bercinta sebrutal mungkin.

“Pejamkan matamu, ZeeZee.” Tegurannya selaras dengan telapak tangannya yang mengusap kedua mataku agar menutup.

Aku tertipu. Kukira dia sudah di alam mimpi. “Aku tidak bisa kembali tidur.”

“Paksakan. Wanita hamil butuh banyak tidur.”

“Kata siapa?” Spontan aku tertawa.

“Kataku.” Dia menyusupkan tangan ke balik pakaianku. Meraba setiap inci kulit dalamku yang hangat sampai menjadi panas.

“Emm.”

“Enak?” Bibirnya terasa basah di telingaku. Jarinya sedang memainkan ujung dari payudaraku dengan mata yang masih terpejam.

“Seharusnya bisa lebih dari ini, ‘kan?” rayuku dengan bibir yang sengaja kutempelkan di bagian berbulu dagunya. Geli-geli sedikit kasar yang kusuka.

“Ayo, tidur.” Tangannya lepas dari memainkan puting payudaraku. Kini digunakannya untuk memelukku erat-erat. “Kita lakukan besok pagi.”

Yuhuu!








𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang