Chapter 57

10K 1.4K 1
                                    

Terlalu percaya diri, kupikir, David dan Tessa pasti mengincarku yang paling banyak tahu tentang kehidupan Oxley sekeluarga hingga rahasia yang mungkin tidak seluruhnya kuingat. Rupanya, bukan aku satu-satunya. Justru ... Rhys. Rhys-lah yang dianggap paling berpotensi membuat David dan Tessa hancur sehancur-hancurnya.

Dimulai dari malam itu ketika Rhys memintaku bersiap untuk pergi, ternyata bukan cuma kami berdua yang harus lari, tapi kelima pria Oxley yang lain wajib membubarkan barisan. Mereka semua mesti berpencar. Berada di tempat-tempat berjarak. Menyamarkan jejak satu sama lain.

Rhys selalu memberitahuku. Segalanya. Sehingga tidak ada yang perlu kutanyakan lagi. Permintaannya padaku terngiang setiap kali aku akan memejamkan mata di malam hari, meski pria yang mengucapkan kalimat itu ada di sisiku, berbaring bersamaku.

“Jangan cemaskan apa pun, ZeeZee. Lahirkan anak kita tanpa rasa takut. Kau aman bersamaku. Kau harus siap, meski dalam keadaan sulit, aku mau punya banyak anak bersamamu.”

Dan kalian tahu apa? Dalam pelarian, kami menikah. Yap, MENIKAH! Aku bahagia? Sudah pasti. Rhys sampai harus menenangkanku berjam-jam karena tangisanku pecah dan aku tidak dapat berkata-kata sanking bahagianya. Tidak ada yang sempurna. Sudah pasti. Aku memahami itu. Menerima bahwa pernikahan yang kuinginkan terjadi sekali seumur hidupku, malah digelar dengan sangat sederhana.

Tidak ada pesta meriah. Tanpa tamu undangan. Justru tiga puluh menit setelah mengucap sumpah setia sehidup semati, kami harus pindah ke negara lain. Terdeteksi bahwa David memantau di gedung seberang tempat tinggal kami dengan dua pembunuh bayaran siap sedia di sisinya.

Pelarian tidak membuatku dan Rhys lantas tak berbahagia.

Cincin di jari manis kami berdua selalu jadi perhatianku acap kali kami bergerak dalam setiap kesempatan dan sejauh mataku bisa menatap satu sama lain.

Aku tidak dapat mendetailkan hal-hal sakral dan penting sekalipun, dikarenakan kondisiku yang tidak stabil. Baik fisik, mental dan perasaan. Sulit menjabarkan satu persatu dimulai dari kepergian kami di malam itu. Aku mudah terserang panik, berubah menjadi histeris terkadang, lalu akan sangat perhatian lembut mempesona seperti yang sering Rhys ungkapkan padaku menjelang malam sebelum kami tidur.

Lebih gawatnya lagi, hampir setiap malam Rhys terjaga untukku. Dengan mata terbuka lebar dia memperhatikanku, mengawasi sekitar bahkan berolahraga di lantai samping ranjang demi mengusir kantuk. Aku tidak bohong! Beberapa malam lalu aku berpura-pura tidur demi menyaksikan apa yang tengah dikerjakannya sambil membiarkanku tidur sendirian.

Selagi kekacauan dalam kepalaku tidak mengambil alih sepenuhnya, akan kuceritakan bahwa kehamilanku kini sudah memasuki minggu ke tiga puluh enam. Tidak lama lagi aku akan melahirkan.

“Cukup, Sayang. Kau sudah lelah.” Rhys menahanku agar berhenti. Mengusap perutku, lalu mencium bibirku.

Kami baru selesai bercinta dan aku ingin lebih memuaskannya lagi. Namun larangan Rhys harus kuturuti atau dia akan mendiamkanku sampai beberapa hari ke depan.

“Rhys, aku belum mengantuk. Kau tidur duluan, okay?” Kuusap keningnya yang berkeringat. “Giliranmu. Sesekali kau harus tidur lebih dulu dariku.”

Perkataanku mungkin membuatnya kesal, sehingga dia lebih memilih membenamkan wajahnya di dadaku. Helaan napasnya membuatku tergilitik, ingin dimasuki lagi rasanya.

“Tidur. Ayo, tidur.” Perintah pelan itu ragu-ragu. Aku tahu kalau dia berniat menipuku. Katanya ‘ayo, tidur’  tapi malah aku sendiri yang akhirnya terlelap. Selalu begitu.

Hari selanjutnya, kami baik-baik saja. Maksudku, tanpa kabar dari kelima pria Oxley lain perihal keberadaan David dan Tessa yang serupa hantu. Datang atau pergi tak tentu.

Pemikiran buruk menghantuiku setelahnya. Kupikir, akulah beban terbesar Rhys, meski dia selalu memintaku untuk tidak mencemaskan apa pun.

Kurasa, akulah penyebab Rhys harus terus berlari, bersembunyi. Biasanya, dia tidak akan mungkin diam saja. Maju dan melawan adalah jalan hidupnya. Dia tidak takut pada apa pun, namun harus menahan diri demi aku dan bayi dalam kandunganku.

Kutahan semua perasaan kacauku, menekan sebisaku agar Rhys tidak dapat menduga apa pun, malah menyebabkanku diserang demam tinggi.

Brady datang malam itu. Mengemudikan mobil untuk kami dan membawaku ke sebuah rumah di pedalaman. Kediaman seorang dokter kandungan. Dia wanita. Sangat cantik dan berkulit pucat dengan bintik-bintik samar.

Tiga hari berselang, aku melahirkan seorang bayi laki-laki. Sehat, menangis dengan sangat nyaring, bahkan menyusui penuh semangat setelah dia tahu keberadaan puting payudaraku.

“Bayi kami perempuan.” Brady memberitahuku dan Rhys, selagi dia kubiarkan menimang bayiku dalam gendongannya.

Ah, ya. Audrey pasti sudah melahirkan bayinya beberapa bulan lebih dulu dibandingkan diriku.

“Kau punya tujuan?” Rhys membelai-belai pipiku. Menyentuhku sepelan mungkin seolah berniat memberi kekuatan.

“Ikatkan mereka satu sama lain sejak dini.” Brady tertawa pelan. Binar dari matanya penuh semangat dan suka cita. Di hari kedua setelah bersalin, barulah kuizinkan dia mendekati putra kami.

“Tidak begitu caranya.”

“Katakan saja kalau kau keberatan.”

Rhys mendengus. “Dekatkan mereka sejak kecil. Seiring waktu dan usia, pertemanan mereka bisa merubah perasaan satu sama lain.”

Brady angkat bahu. Melangkah mendekat ke arah kami. Menyerahkan bayiku ke pelukanku. Bicara seputar perkembangan bayinya dan tentang kesehatan Audrey yang menurun pasca melahirkan putri mereka.

Sore itu Brady langsung pamit pulang. Telepon dari asisten rumah tangganya membuat pria itu tegang seketika. Audrey pingsan dengan bayi di dalam pelukannya. Tidak terpeleset atau jatuh, malah saat itu, Audrey tengah berbaring di ranjang bermain bersama si kecil. Begitu kata Brady dalam kepanikannya sebelum pergi.

Perasaan kami berubah-ubah dengan cepat. Tadinya ikut cemas untuk Audrey, lalu tidak sempat berlama-lama, malah kami harus diselimuti kekhawatiran akibat keberadaan Tessa terpantau oleh Hugo yang langsung memperingati Rhys.

“Kau gemetar. Ada yang sakit? Bagian mana?” Rhys menciptkan kehangatan dengan cara mendekapku.

“Aku ... aku sedang cemas dan merasa takut. Putra kita masih berusia beberapa hari dan malah harus dibawa keluar rumah di musim dingin seperti ini.”



𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang