Pergelangan tanganku lagi-lagi ditangkap. Aku tidak sempat menarik napas dan mengembuskannya.
“Hei, telapak tanganmu terluka.”
Mataku beralih ke tanganku yang kini diangkat rendah di udara untuk diperlihatkan padaku.
Oh, itu karena tadi saat meluncur di turunan, aku menahan laju dengan telapak tanganku. Pasti terseret tanah kasar, tergesek kerikil. Bercak darah yang tidak seberapa, sebenarnya.
“Ah, iya. Terima kasih.” Kutarik tanganku, dia tidak menahannya. Bagus.
“Gadis Oxley, kau sungguh tidak mengenaliku?” Dia bertanya sambil berjalan di sisiku. Menyamakan langkah.
“Tidak,” gelengku cepat. Justru dengan tidak mengakuinya makin mencurigakan, bukan?
“Aku bersepeda dini hari tadi di kawasan belakang kediaman Oxley. Melihatmu berlari seperti dikejar setan,” jelasnya. Dia cerewet rupanya.
Memang tidak salah lagi. Dia pria yang semalam.
“Aku tidak ingat.” Langkahku semakin cepat meninggalkan stasiun. Berharap ada setidaknya satu taksi kosong yang langsung menepi ketika aku melambai.
“Kejadian yang kau alami sendiri, kau tidak ingat? Apa kau tidur sambil berlari?”
Demi apa. Banyak omong ternyata. Sudah dua taksi yang lewat, tapi berisi penumpang.
“Aku ingat jelas apa yang kualami, tapi aku tidak ingat siapa kau,” tudingku kesal. Kekesalan yang kusadari, tanpa berniat untuk kutahan.
Dia seperti berniat tertawa, tapi entah kenapa ekspresinya malah dibuat sok serius.
“Ayo, kenalan dulu.” Tangannya terulur ke samping, tepat ke arahku.
“Untuk apa?”
“Akan kuberitahu, tapi mau pindah ke kafe atau restoran dulu?”
“Tidak. Aku sedang buru-buru.”
“Ke rumahku saja, bagaimana?”
“Tidak. Terima kasih.” Gelengku sambil mendorong tangannya mundur menjauh dari hadapanku. Tidak ada perkenalan. Aku tidak tertarik.
“Serius?”
Kini berputaran kepalaku tidak lagi sibuk melihat-lihat pergerakan taksi, fokus padanya. “Aku serius. Tolong tinggalkan aku sendiri.”
“Tidak bisa.” Dia tersenyum. “Kau akan tersesat di Latusia ini, jika tidak mau mendengarkanku.”
Ah, bisa saja kau bicara. Di ponsel ada peta yang bisa kuakses sesering yang kubutuhkan.
“Hei, gadis Oxley—tunggu! Hei!”
Dengan teriakannya, dia mengekoriku. Kami serentak mengundang perhatian orang-orang yang menyeberangi jalan bersama, walau cuma sekilas. Mirip iklan numpang lewat.
“Hei, gadis Oxley. Kenapa kau begitu keras kepala?” Suaranya berubah, bahkan raut wajahnya juga. Kami sudah selesai menyeberang. Dia berjalan menghadapku, memunggungi jalanan setapak dan mundur. Sementara aku terus maju.
“Maumu apa?”
Dia berhenti, malah maju, tentu refleks aku yang mundur. Mungkin dia sengaja, karena saat di langkah ke tiga, dia menangkap tanganku. Tubuhku baru saja limbung dengan lengan terangkat, saat tanah yang kupijak di belakangku tidak rata.
“Mauku? Berkenalan denganmu seperti yang dikatakan Giotto bahwa aku harus tahu dulu siapa kau, sebelum melanjutkan semua ini.”
“Apa?” Barusan dia sungguh bicara tentang Giotto yang itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚! ❝𝐌𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐬𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡𝐦𝐮 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐤𝐮.❞ ―𝐑𝐡𝐲𝐬 ❝𝐊𝐚𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐝𝐢𝐤𝐦𝐮!❞ ―𝐙𝐞𝐞𝐙𝐞�...