Pelarian saat umur putra kami masih beberapa hari di musim dingin itu, bukanlah hal yang luar biasa lagi bila dibandingkan dengan ketika usia putraku masuk ke delapan bulan, sesuatu yang mengerikan terjadi padanya dan hampir membuatku gila!
“Rhys, di mana bayiku? Mana anakku?” Panik, tadi dokter tengah memeriksanya yang sedang demam. Aku di sana, namun tiba-tiba pingsan saat melihat dokter malah menyanderanya menggunakan pistol. Ya, pistol! Bayi berusia delapan bulan yang tidak tahu apa-apa menjadi sasaran tindak kriminal!
Kesadaranku hilang sepenuhnya ketika bunyi tembakan terdengar. Aku menjadi lemah. Lemah dan ketakutan sehingga justru aku yang berteriak-teriak panik melihat darah bersimbah di atas ranjang pasien tempat tadi bayiku diperiksa. Entah sudah berapa kali aku pingsan.
“Kau dengar aku, ZeeZee?”
Telingaku berdenging di antara pertanyaan Rhys. Kebingungan aku menatapnya, lalu teringat pada bayiku yang wajahnya sangat mirip dengan priaku ini. Kembali panik dan berteriak-teriak.
“Sst, tenang, Sayang. Kumohon tetaplah sadar. Aku di sini—”
“Bayiku! A-anakku! Mana putraku, Rhys? Kembalikan putraku!” Meraungku tentulah sehisteris yang bisa kalian bayangkan. Aku tidak siap kehilangan putraku sekarang. “Mana bayi kita, Rhys? Mana?”
Guncanganku di lengan Rhys, dibalas dengan pelukan erat. “ZeeZee, tenang. Bayi kita memang tidak baik-baik saja saat ini, namun dia sudah aman. Aman, Sayang.”
Aku tidak percaya dengan kata ‘aman’ dalam penekanan yang ragu-ragu diucapkannya itu. Menepis dia yang memelukku, aku berlari keluar ruangan. Mencari-cari entah ke mana keberadaan putraku, namun lagi-lagi Rhys menangkapku dan menenangkanku yang histeris.
Rhys membawaku ke ruangan khusus. Ternyata bayiku di sana. Sedang dibersihkan. Tangisan kepanikan dan ketakutannya membuatku cemas tidak berkesudahan. Ikut-ikutan menangis, walau tidak histeris. Kutekan dalam-dalam suara tangis yang bisa pecah dengan satu telapak tanganku menempel di jendela kaca besar dan tebal pemisah jarak antara kami.
“Kau tidak bisa memeluknya jika dalam keadaan seperti ini, Sayang.” Rhys mendekapku yang menangis tanpa suara. Pikiranku kosong.
Minggu kedua setelah hari itu, putra kami diperbolehkan pulang. Akan ada trauma yang mungkin terbawa seiring tumbuh kembangnya nanti, namun Rhys mengingatkanku untuk kesekian kalinya.
“Kuwarisi semua yang ada dalam diriku padanya, ZeeZee. Dia akan tumbuh besar tanpa gangguan. Jika pun ada, itu bukan masalah.”
Bukan masalah, sampai aku hamil bayi kedua setelah putra pertama kami berusia hampir tiga tahun kurang sepekan.
Lumayan lama kami tinggal di kota kecil ini. Tempat yang menjadi saksi tumbuh besarnya putraku, RedZee BlackStone. Rhys sengaja memberi nama itu dengan banyak pertimbangan untuk masa depannya.
Red sedikit lebih lambat berkembang dari anak seusianya. Dia mudah terjatuh saat berlari-lari kecil, namun selalu bangkit sendiri dengan sigap tanpa ekspresi di wajahnya. Tidak ada keluhan, tertawa apalagi menangis. Secemas apa pun aku akan kondisinya, Rhys hanya memintaku untuk tetap memantau. Mengawasi dari jauh dan membiarkan Red sendiri.
Metode Rhys mungkin bertentangan denganku untuk urusan mendidik anak, namun kucoba mengurangi perdebatan agar kondisi mental kami sama-sama terjaga. Aku hamil dalam situasi hidup kami masih belum ‘aman’ dari incaran David dan Tessa, sehingga ada banyak hal lain yang perlu kupikirkan daripada berdebat merasa paling benar mendidik anak.
“Lui! Lui!”
Aku berdiri, lambat dari dudukku karena sekarang kehamilanku sudah memasuki minggu akhir. Persalinan makin dekat.
Red mengenal Lui lebih dari paman-pamannya yang lain. Berulang kali kuajari dia memanggil ‘Uncle’ tapi tetap bersikeras dengan sebutan nama.
Lui memelukku, sekilas. Mengecup keningku, meski sudah kutinju pundaknya. Ada Red di gendongannya. Entah peduli atau tidak pada apa yang dilakukan paman sialannya terhadapku, putraku itu sibuk mencubit-cubit dada Lui.
“Rhys ada di dalam,” kataku cepat. Peringatan sebelum dia mulai nakal dengan coba mencuri ciuman lagi.
Terkekeh, Lui mundur dan melangkah ke dalam rumah. Aku tidak pernah tahu apakah Rhys melihat setiap aksi Lui yang terkadang memprovokasi itu atau tidak, tapi kurasa Rhys sudah membunuhnya jika tahu sesuatu.
“Ada berita baik! Masuk dan dengarkan, ZeeZee!” Lui setengah berteriak sehingga aku perlahan bergerak ke dalam.
Lui memang selalu cerewet setiap kali melihatku malas-malasan di kehamilan kedua ini. Katanya, ‘Kau harus banyak bergerak kalau tidak mau persalinanmu mengalami kesulitan nantinya’ dan masih ada banyak peringatan sok tahunya yang kuabaikan.
Rhys baru selesai mandi. Handuk kecil menggantung di lehernya. “Akhirnya kau dapatkan?”
“Yap. Menurutku, di antara kita semua merekalah yang punya tempat teraman.”
Rhys memberi tatapan hangat penuh harapan. Dia jarang sekali seperti itu. Mungkin tahu sesuatu, sehingga aku langsung mengangguk dengan senyum lebar padanya.
“Tapi sebelum itu, biar kuceritakan sedikit tentang masalah yang sempat terjadi. Bulan lalu, David menangkap Leon karena si bajingan bodoh itu bersama pelacur yang adalah mata-matanya David. Dari situ, aku dan Ludwig menemukan markas tempat berkumpulnya para bawahan David yang baru direkrut. Kami membakar tempat itu. Berhasil membuat si tua bangka rugi besar sekaligus kehilangan beberapa anak buahnya yang tidak sempat menyelamatkan diri.
“Dalam kekalahannya itu, aku bersama Brady membuat beberapa tempat persembunyian David dan Tessa tidak bisa digunakan lagi. Kami melawan, Rhys. Sebisa kami.” Lui mengusapi punggung Red yang kepalanya bersandar di dada pria itu.
“Aku masih tidak bisa ikut. Kalian harus bergerak sendiri untuk beberapa waktu ke depan.”
“Bukan itu yang mau kudengar darimu. Aku dan yang lain masih bisa mengurus semua itu, asal kau tetap berada dekat dengan ZeeZee dan anak-anakmu. Mereka tidak boleh sampai bertemu kalian.”
Gelisah. Aku panik dalam diamku. Seharusnya aku tidak hamil lagi. Rhys menginginkanku setiap bercinta selalu tanpa pengaman. Dia mau kami punya banyak anak tanpa kekhawatiran. Dia bilang, “Jangan pikir ini merepotkan mereka. Justru mereka berlomba supaya segera bisa membalas apa yang kupertaruhkan untuk mereka selama hidupku. Nyawa mereka selalu bergantung pada bagaimana aku menyelesaikan banyak hal kotor dan mengerikan agar kelima adik-adikku itu tetap hidup. Ketahuilah, ZeeZee, mereka sangat ingin melunasi utang nyawa padaku.”
Meski begitu, aku merasa hanya menjadi beban. Aku selalu kacau karena semua itu.
“Hugo dan Yeva membangun sebuah sekolah di kota kecil yang padat penduduk. Identitas mereka tidak diganti, namun Hugo berhasil menjadi putra angkat dari tetua di kota itu, Ramiro Indie. Di masa lalu, David memiliki hubungan tidak baik dengan Ramiro. Setelah kepergian Bryan, satu-satunya orang yang tidak bisa disentuh David adalah pria tua itu.”
Ah, ya. Lupa kuberitahu kalian. Ayahnya Brady, pria yang selalu kubayangkan dalam kepalaku sebagai ayah terbaik, meninggal tidak lama setelah Audrey memberikan cucu perempuan pertama untuknya. Tidak ada lagi pria tambun rupawan yang sangat menyayangiku, mengerti diriku serta menghargaiku dengan sangat. Dia pergi membawa kesetiaannya sampai mati.
Dan yang pasti mengejutkan, Hugo menikahi Yeva Harland sahabatku entah bagaimana bisa terjadi. Jangan bilang kalian terkejut, aku merasa lebih dari itu.
“... jalan terbaiknya.”
“Bagaimana menurtmu, Sayang?”
Aku sadar telah melewatkan penjelasan Lui. “Bisa tolong ulangi? Aku sedang tidak fokus tadi.”
Rhys mendatangiku. Menyusupkan satu tangannya ke belakang punggungku, memeluk pinggangku. Bibirnya kini ada di telingaku. “Agar semua ini selesai, kita perlu bergerak maju. Namun kita berdua harus mengorbankan kebersamaan dengan Red selama beberapa waktu, mungkin cukup lama. Apa kau bersedia membiarkannya dibesarkan oleh Hugo dan Yeva?”
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚! ❝𝐌𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐬𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡𝐦𝐮 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐤𝐮.❞ ―𝐑𝐡𝐲𝐬 ❝𝐊𝐚𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐝𝐢𝐤𝐦𝐮!❞ ―𝐙𝐞𝐞𝐙𝐞�...