Chapter 56

10.4K 1.5K 1
                                    

Tidak ada rasa canggung, meski Brady mengucapkan sesuatu yang bisa menggetarkan hati bahkan ginjalku.

Manis memang. Namun Rhys jauh lebih mampu membuatku berbunga-bunga. Maaf, Brad. Mungkin kau pria ternyaman yang pernah kukenal, tapi Rhys laki-laki yang kucintai. Bagiku, nyaman saja tidak cukup.

Cintaku pada Rhys mendatangkan kenyamanan. Kenyamanan yang selalu diberikan oleh Brady, tidak pernah menumbuhkan benih cinta sama sekali dalam hatiku. Kalau pun pernah ada, itu kecil, secuil.

Terbalik, ya? Biasanya, umumnya para kaum wanita harus merasa nyaman lebih dulu dengan pria yang diincarnya. Baru setelahnya perasaan cinta pun tumbuh seiring waktu. Berbanding terbalik denganku, memang.

Dan ... sampai makan malam kami yang riuh karena adu mulut antara Leon dan Hugo, candaan Lui dan Ludwig, Rhys tidak juga terlihat. Malam ini mungkin dia tidak pulang. Menghindari Brady? Kurasa tidak.

“Berbincanglah sebentar denganku.” Brady menghalangi jalanku yang tengah melintasi lapangan golf Lui untuk kembali ke rumah.

“Harus?”

“Aku memaksa.” Dia langsung menggenggam tanganku, erat.

“Lepaskan dulu, Brad. Tidak akan nyaman kita bicara kalau kau menggenggami tanganku terus seperti itu.”

Brady tampak terkejut. Spontan melepas pergelangan tanganku. “Wah, aku tersinggung.” Dia tertawa, “Baru kali ini kau mengaku merasa tidak nyaman karena sikapku.”

Giliranku yang tertawa. Kuusap perutku yang jelas juga jadi perhatiannya. “Anakku bisa melihatnya, Brad. Dia tahu aku tidak sedang bersama ayahnya. Menggenggam tangan pria lain.”

“Beberapa waktu lalu, belum lama, kau masih istriku, Zee. Bayimu bahkan tidak masalah andai kujadikan anak—”

“Ssst!” Kutempelkan telunjukku di bibir, selagi menggeleng. “Kita memiliki banyak pembahasan lain, Brad. Ini tidak lagi perlu dibicarakan jika yang kau maksud berbincang denganmu tentang hubungan di antara kita yang sudah berakhir.”

“Okay, okay.” Menghela napas dan mundur dua langkah adalah pilihannya. “Aku tidak akan membahas tentang hubungan di antara kita lagi. Namun aku ingin jujur padamu. Tentang satu hal saja.”

“Katakanlah.”

Brady menatapku dengan mata sayunya yang selalu redup, ketika dia sedang dalam suasana bersedih. Oh, ayolah, Brady Stoker. Kau punya Josy dan Audrey.

“Aku merindukanmu.”

“Lalu?” Kuharap reaksiku tidak terlalu kejam.

“Aku ... aku ingin memelukmu. Bolehkah?”

Aku mundur beberapa langkah. Tidak kuhitung. Pilihanku belum jelas, namun berat hati untuk mengabulkan permintaannya. Dia terbelalak, aku heran dan kurasakan kedua pundakku dipegangi kuat dari belakang. Oh!

“Kau perlu izin dariku, Kawan.” Rhys!

Yang kuperhatikan justru raut dan reaksi Rhys. Dia memeluk pinggangku, memperhatikan Brady.

“Aku tidak perlu izinmu, Rhys. Kau sudah di sini, kutarik kembali permintaanku.”

Entah kenapa, mungkin itu candaan kasar, mereka malah serentak tertawa. Tidak lama, hanya beberapa detik. Aku jadi bingung sendiri melihat kedua pria ini. Sampai akhirnya aku sadar bahwa dengan sendirinya kami bertiga berjalan beriringan. Aku paling pinggir, Rhys di tengah dan Brady paling ujung. Tidak sekalipun Rhys menatapku, namun ibu jarinya yang ada di pinggangku, mengusap-ngusap dengan lembut.

“Kabar apa yang kau bawa?”

“Tentang keberadaan David dan Tessa yang berhasil ditemukan oleh ayahku.”

Mereka membicarakan hal itu seolah sedang membahas berita ringan tidak penting yang numpang lewat seperti iklan di televisi.

Atmosfer di sekiling kami mulai terasa menghangat, tanpa ketegangan.

“ ... kau tahu itu.” Penggalan kalimat Brady tidak jelas kudengar.

“Selama mereka tidak mengincar ZeeZee dan anakku, aku tidak akan peduli pada apa yang mereka kejar.” Usapan Rhys berubah menjadi pelukan yang lebih erat dari sebelumnya.

Pilihanku diam. Jika sudah menyangkut Tessa dan David, aku hampir tidak punya bahan untuk membicarakan mereka, sanking terlalu banyak yang ingin kubahas.

“Kau akan membawa ZeeZee meninggalkan negara ini?”

Hening mungkin semenit. Kami sama-sama terus melangkah tanpa kata. Tiba di depan gerbang, kurasakan lengan Rhys tidak lagi memeluk pinggangku. Dia mendekati Brady, bicara pelan, lalu melihat ke arahku.

“Masuklah. Aku akan menyusul.”

Kuturuti dia, lalu membalas lambaian Brady sekilas. Pria itu tersenyum tak henti padaku. Cuma kubalas sekejap. Diperhatikan oleh Rhys saat sedang tersenyum pada mantan suami adalah satu hal yang ganjil.

Sebelum membuka pintu rumah, kulihat mereka sudah menghilang entah ke mana.

“Kakimu tidak pegal?”

Terlonjak, buru-buru aku melihat ke sana kemari. Tidak ada siapa pun.

“Aku di sini, ZeeZee.” Lui. Kukenali suaranya dengan cepat. Muncul pria itu dari kegelapan. Maksudku, bagian sisi kanan rumah tidak diterangi lampu, malah ada tanaman pagar rimbun yang bisa difungsikan untuk tempat bersembunyi. Ditambah lagi, dia mengenakan sweater hitam pekat dan kali ini rambutnya juga berwarna sama.

“Sedang apa kau di situ?”

“Merokok.”

“Tidak ada asap sama sekali.” Kuperhatikan itu dan langsung tahu kalau dia berbohong.

“Sudah selesai sejak kulihat kau berjalan ke arah rumah. Lalu kutunggu di sini selagi kau sendirian.” Dia sudah ada di dekatku. Menimpa tangannya di tanganku yang juga sedang mencengkeram pegangan pintu.

Kutatapi dengan helaan napas lelah. Lui memang suka mengundang, memancing.

“Ayo, masuk. Kupijati kakimu.” Pintu didorong, tanganku masih di gagang sampai akhirnya dia melepas dan pintu kututup.

“Tidak. Kakiku—”

“Kakimu membengkak, lihatlah.”

Masih sanggup kutundukkan pandangan untuk melihat kedua kakiku. Sialan memang. Kakiku tidak bengkak sama sekali. Mungkin belum. Tawa Lui setelahnya membuatku spontan meraih bantal di sofa terdekat, lalu melemparkan benda itu ke arahnya.

“Dapat!” Riang gembira Lui tergambar jelas, lalu menghilang sekejap mana kala pintu di belakangku terbuka.

Aku menoleh. Rhys di sana, tidak berekspresi. Menatap Lui, lalu padaku. “Bersiaplah. Kita pergi malam ini.”






𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang