Selesai berciuman dengan membelit lidah satu sama lain, bahkan terengah-engah sambil saling sentuh, kami melepas diri masing-masing dan bergerak menuju tujuan.
“Ayah?” Red mengucek-ngucek matanya saat aku masuk. Mengira ayahnya yang datang, lalu kudekap erat-erat tubuh wanginya. Dia tahu ini aku, namun kerinduannya pada Rhys mungkin membuatnya sempat bermimpi.
“Ini Ibu, Sayang. Sebentar lagi ayah datang. Ayo, pejamkan matamu lagi.” Masih terlalu cepat untuk bangun.
Setelah Red menatapiku yang terus tersenyum padanya, bocah tampan mirip ayahnya ini perlahan-lahan memejamkan matanya lagi.
Memeriksa Jean, senyumku terkembang. Putri tidur julukannya. Dibanding Red yang mudah terbangun, Jean kebalikannya. Jika belum pagi, dia tidak akan membuka mata untuk meminta minum.
Kukecup keningnya, lalu bersiap dengan tiarap di lantai. Menjulurkan lengan sampai ke bagian yang sulit dijangkau seperti kata Yeva.
Dapat!
Sistem keamanan berlapis diaktifkan. Aku tidak sempat mengagumi kecanggihan yang pasti dipasang oleh Hugo itu, sebab kecemasanku langsung bertambah mengingat mereka semua ada di bawah. Dalam bahaya, mungkin terdesak.
Lega. Aku lega ketika ‘pasukan’ kami berkumpul di sini. Lengkap. Keenam putra Oxley sudah dengan senjata di tangan masing-masing, siaga dan bersiap.
Yeva dan Brady tidak ada. Kuturuni tangga cepat-cepat dan rupanya Rhys sadar kehadiranku, lalu mendatangiku. “Di mana Yeva dan Brady?”
“Saat aku turun mereka sudah tidak ada.”
Kucari Hugo dengan mataku. Pria itu justru ada di barisan terdepan sedang bersiap menembak lurus melewati jendela yang kacanya pecah separuh.
“Hugo tidak—”
“Dia mempercayakan Yeva pada Brady sudah sejak awal keberangkatan kami.” Rhys menginterupsi. Menarik kepalaku cepat dan dikecup puncaknya sekilas, lalu bergerak untuk bergabung kembali dengan saudara-saudara tidak sedarahnya.
Mematung di sini, aku merasa tidak dibutuhkan. Duduk lemas di anak tangga sebelum terbawah, aku memperhatikan gerak gerik waspada para putra Oxley.
Yang kupikir setelah ini adalah duduk tenang, bicara dari hati ke hati dengan Rhys dan membahas apa yang harus kami lakukan setelah semua berlalu.
Ledakan di kejauhan terasa getarannya sampai sini. Hugo baru menekan tombol pemicu di tangannya sementara yang lain bersorak, kecuali suamiku.
Berdiri, aku turun untuk mendekat. Kobaran ledakan di kejauhan rasanya mengerikan.
“Sudah berakhir.” Rhys memelukku. Sungguh aku tidak paham. Ledakan di sana itu tidak memberi jawaban apa pun untukku.
Lui tersenyum padaku dengan wajah tidak semulus saat dia pergi. Leon dengan pelipis berdarah yang diusapnya asal sambil melangkah menuju dapur, setelah senjatanya dilemparkan ke sofa.
Hugo terduduk di bingkai jendela setelah sisa pecahannya dihajar menggunakan ujung senapan dengan kain usang—entah dari mana—yang dijadikan sebagai alas duduk.
Dia sungguh tidak peduli pada keadaan istrinya? Selagi kupikir begitu, Rhys mengajakku duduk di anak tangga terbawah. Merangkul pinggangku, membuat segera kepalaku ini bersandar di pundaknya.
Rhys tidak mengajakku bicara. Kupahami itu sebagai bentuk lelahnya yang berperang bukan cuma secara fisik, tapi batin. Kurasa begitu.
Melihat Ludwig menyugar rambut, terduduk di sofa dan mulai merokok, tatapannya mengarah pada kami. Sempat bertatapan semenit denganku dan dia tersenyum sinis.
Sekarang mataku berada pada gerakan Adorjan yang sungguh berbaring di sofa seberang Ludwig. Tampaknya dia lelah dan butuh tidur. Meringkuk, memunggungi Ludwig. Cuaca memang dingin. Kenapa dia tidur di situ?
Sampai aku selesai memperhatikan mereka, Rhys masih tetap tidak mengajakku bicara. Dia tidur? Aku menoleh untuk memastikan, namun yang terlihat justru dia tengah menatapku.
Tidak dapat kutahan, bergeserlah tubuh ini untuk melompat tepat ke pangkuannya. Suara tertahan Rhys terdengar dari mulutnya yang tertutup. Reaksi terkejut yang manis sekali.
“Aku masih sanggup bercinta lima belas menit denganmu.”
“Lima belas menit terlalu sebentar,” keluhku bercanda.
“Suamimu kelelahan, Sayang.”
“Tiga puluh menit, bagaimana?”
Dia menunduk untuk mencium payudara yang tertutup pakaian. “Dua puluh menit. Deal?”
Kupeluk erat lehernya untuk membiarkan kepala itu tetap berada di antara belahan payudaraku. “Deal.”
Rhys bangun dengan aku yang langsung mengeratkan kedua kaki di pinggangnya. Mencium aroma darah mengering, keringat, lumpur dan entah apalagi dari lehernya. Aku suka. Akan jadi aroma menyenangkan yang tidak terlupa.
Kami mandi bersama menggunaka air hangat, sampai akhirnya terlelap tanpa sempat bercinta dua babak. Sesuai kesepakatan tadi bahwa hanya dua puluh menit, tanpa penambahan.
Paginya, sekitar jam delapan, melompat turunlah aku dari ranjang karena tidak mendengar tangis Jean meminta susu. Buru-buru sampai tidak kuhiraukan panggilan Rhys yang pasti ikut terbangun saat diriku pergi meninggalkannya.
Kedua anakku tidak di kamar. Sistem keamanan sudah dinonaktifkan. Perasaanku melega sesaat, karena yakin bahwa perancang sistem-lah yang pasti masuk ke kamar bayi-bayiku.
Semuanya berkumpul di meja makan. Termasuk Brady dan Yeva. Sahabatku itu menggendong Jean dengan kepala yang dikelilingi perban.
“Kupikir, kau tidak akan keluar kamar sampai pagi lagi,” ejek Yeva disambung tawa Adorjan dan Hugo. Sementara yang lain sibuk makan sambil menonton berita pagi.
“Nah, itu ... lihat! Kematian David diumumkan,” kekeh Ludwig dengan mulut penuh.
Sebentar. Lalu, di mana Tessa? Apakah dia masih disekap di ruang bawah tanah? Tunggu! David Oxley sungguh telah mati?
Hai, hai. Aku udah buat Instagram baru lhoo. Ayo follow! 🤣 Dengan nama akun: blacksigrid_
Atau
Kalian bisa langsung klik link di bio aku untuk langsung mengarah ke Instagram.Terima kasih. Salam hangat. 🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚! ❝𝐌𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐬𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡𝐦𝐮 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐤𝐮.❞ ―𝐑𝐡𝐲𝐬 ❝𝐊𝐚𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐝𝐢𝐤𝐦𝐮!❞ ―𝐙𝐞𝐞𝐙𝐞�...