Chapter 31

15K 1.7K 3
                                    

“Kau tahu itu mustahil.”

“Kita belum mencobanya, Rhys.”

“Tidur,” tegasnya. “Bukan waktumu memikirkan hal yang tidak perlu kau lakukan. Kita ... tidak akan mencobanya.”

Ranjang kehilangan beban seperti saat sebelumnya ketika tubuh jangkung itu duduk, karena kini Rhys telah berdiri. Sudah pasti mundur untuk berbalik pergi.

“Jangan berpikir bisa lari. Jika memang kau berniat untuk terus berada di bawah tanggung jawabku, tetaplah menikah dengan Brady. Berhenti menjadi pembangkang, karena padaku, pemberontakanmu itu tidak berlaku.”

Mataku mengerjap-ngerjap menyimak omongan padat bermakna maksud tersembunyi Rhys yang coba kutelusuri.

“ZeeZee, apa kau mengerti?”

Aku mendesah, bukan mendesah untuk merangsangnya, tapi memang menghela napas. “Jika kau tidak yakin, tidurlah di sini. Awasi aku.”

Rhys mendengus, selagi kedua tangan masuk ke saku celananya. “Tidak sekarang.”

Maksudnya, nanti? “Lalu, kapan?”

“Kau tidak perlu tahu.” Rhys sudah berbalik, melangkah pergi.

Pintu ditutup, aku berusaha tidur di balik selimut. Siapkan tenaga untuk melangkah ke altar. Tidur. Tidur.

Rasanya baru saja. Iya, kan? Setiap orang yang tidur nyenyak, pasti merasa bahwa lelapnya baru sedetik lalu. Namun ketika terbangun, aku justru kelelahan.

Menahan diri ketika wajahku dibubuhi makeup, rambutku ditata, sampai gaunku melekat di badan. Dan ... Yeva ada di sini ketika tadi aku baru akan mengenakan gaun.

“Yuhuu, kau cantik. Sisi liarmu tertutup dengan sangat baik,” pujinya. Tidak, itu bukan pujian.

“Mana kadomu?” Aku sudah siap. Berdiri di depan cermin sambil memutar tubuh kiri dan kanan. Ini ... sesederhana dugaanku.

“Tidak ada,” tawanya mengisi kamar tanpa ragu-ragu. “Hei, kau tahu berapa harga gaunmu itu?”

“Jangan mengalihkan. Berikan sekarang kadomu atau kutendang kau keluar.”

Yeva langsung ancang-ancang untuk menjambak rambutku yang sudah ditata rapi, hanya gertak. Ini diberi nama pinned-up curls. Cocok, sangat cocok dengan gaun pengantin model deep v-neck yang bagian atasnya dibuat dari lace dan bagian bawah diberi kain putih polos ringan yang nantinya akan memberi kesan dramatis saat aku berjalan. Wow, sekali, Brad.

“Ini dia kadomu.” Nadanya serius. Rupanya tadi dia pergi mengambil hadiahnya untukku dari papper bag yang ada di atas kasur.

Kotak perhiasaan. Kalung, cincin, anting? “Meski sudah bisa kutebak—”

Ketukan di pintu membuatku tegang seketika. Suara lembut salah satu pelayan Brady yang sudah terhafal olehku, menanyakan apa aku masih butuh waktu? Karena acaranya akan segera dimulai.

Oh, tolong persingkat saja!

Seperti yang sudah kuduga. Ayahku—walau kuharap akan muncul pria lain secara ajaib yang mengaku sebagai ayah kandungku, meski mustahil—David Oxley, mengantarku menuju ke altar, tanpa kata perpisahan manis padaku.

Dia cuma berucap, ‘kau harus bahagia’ yang kuangguki dengan tidak yakin. Mungkin prediksi sebagai seorang ayah sekaligus pria yang tersirat dari ucapannya adalah ‘kau bisa tidak bahagia karena menikah atas pilihan orang lain, meski dia itu kakakmu’ walau semuanya hanya dugaan tidak beralasan, cuma seolah-olah.

𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang