Chapter 17

19K 2.1K 2
                                    

“Tentu saja aku harus mau. Rhys menginginkan itu,” jawabku. Berusaha tidak dramatis. Lalu kulanjutkan selagi dia masih fokus seperti saat bertanya padaku tadi.

“Katamu, Rhys mengupayakan semua ini untukku. Agar aku bisa hidup sesuai dengan keinginanku. Apa kau tahu kenapa dia mau melakukannya sampai sejauh ini?” Sebab Rhys bukan kakak, pria atau seseorang yang memberi bantuan tanpa tujuan. Dia punya rencana, pasti.

Satu lubang kewanitaanku tidak akan memuaskannya. Kujamin itu. Lagipula, dia tidak memasukiku sama sekali. Hanya membangkitkan gairahku sampai puncak, lalu dihempaskannya begitu saja dengan sengaja pula. Sialan memang.

Kesepakatan? Bayaran? Hukuman? Perlindungan?

Semua itu sekarang meragukan bagiku.

“Kenapa tidak kau tanyakan langsung padanya?” Dia memiringkan kepala di puncak bangku yang licin, seperti ingin bersandar, tapi malah tergelincir nyaris jatuh ke pangkuanku.

Sigap kutahan kepalanya. Tindakan spontan. “Kau mengantuk?” Kulupakan jawaban atas pertanyaannya, meski kutahu bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk tidur. Masih sore, walau hujan dan mendung di luar sana.

“Ya. Ayo, pulang.” Ajakannya santai. Mungkin dia pikir sedang di pantai.

“Rumahmu?”

“Bukan. Rumah yang Rhys siapkan.”

Lihat. Rhys melakukannya sampai sejauh itu? Penuh persiapan. Apa aku akan dijadikan persembahan atau semacamnya? Tidak pernah ada dalam catatan sejarah hidupku kalau kakak tertua kami melakukan kebaikan padaku. Dulu, bahkan sampai detik sebelum dia memilihku untuk mendatangi kediaman Parera beberapa waktu lalu, kami asing satu sama lain. Aku malah tidak dianggap ada olehnya.

Sekarang, apa yang dia inginkan? Padahal, alasan terbesarku lari dari rumah adalah kecemasan yang tertanam kuat bahwa tidak wajar, gila dan sesat bila kakak adik kandung bercinta tanpa akal pikiran, tidak memikirkan risiko sama sekali. Aku bukan binatang. Walau kuakui, aku tidak dapat menahan diri saat bersamanya.

Untuk itulah aku melarikan diri darinya, bukan?

“Pernikahan ini akan saling menguntungkan. Meski berbeda artian, tapi kita sama-sama saling melindungi.”

Menoleh, kulihat dia sudah berdiri. Menyodorkan telapak tangan di depanku.

“Boleh, ‘kan, calon istri?” Dia tersenyum. Senyumnya kuanggap tidak tulus. Dia begini juga karena Rhys. Mereka bersahabat, keluarga kami punya hubungan satu sama lain, bukan berarti dia nyaman denganku.

Mengangguk dan berdiri, kuletakkan tanganku di telapak tangannya. Membiarkan dia menggenggam kemudian. Diayun pelan, seolah kami kakak adik alih-alih sepasang kekasih.

“Tidak ada perjanjian yang perlu kita sepakati bersama?” Aku bertanya. Kami sampai di luar, dia menutup pintu penatu menggunakan tangan kirinya.

“Kau membutuhkannya?” Dia masih menggenggamku meski sedang ke sisi kiri penatu untuk mengambil—oh, payung, di dalam vas batu besar.

“Kau tidak?” Langsung kuingat, jika dia itu Rhys, sudah pasti aku akan diintimidasi karena balik bertanya, saat dia sedang ingin mendengar jawabanku.

𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang