Bukan ayah, tapi Gio. Ya, Giotto Amstrong. Kenapa pria penakut yang bahkan mual saat melihat darah itu ada di sini?
“Oh, jadi kau?” Lui sama sekali tidak seterkejut aku. Dia menarik pistolnya dari posisi lurus, tetap memegang benda itu di tangannya, namun tidak lagi bersikap sesiaga tadi.
Gio tidak menanggapi ucapan Lui. Dia mendengarkan salah satu pria bersenjata berbisik padanya dari posisi di samping kanannya.
“Arrggh!”
Aku tidak tahu ada apa, tapi semua orang menjadi panik. Bahkan Lui kembali mengarahkan pistol—oh, Gio tertembak, bukan. Gio bukan terkena peluru, tapi kakinya terluka karena lemparan pisau yang menancap kaki, tepat di bawah paha kirinya.
Dan jantungku hampir saja tidak berfungsi lagi, ketika mendengar suara tembakan di kejauhan. Lemas dan gemetar. Semua orang berada dalam posisi waspada ke arah kiri. Aku dan Lui pun melakukan hal yang sama.
“Turunkan senjata kalian atau aku tidak segan menembak jantungnya!”
Rhys! Dia muncul dengan senjata laras panjang. Tidak sendirian. Ada enam orang pengikutnya yang juga mengarahkan benda berbahaya itu ke kawanan Gio. Sementara Gio bahkan mengerang tanpa henti karena kakinya terus mengeluarkan darah. Kepanikan yang wajar terjadi. Orang-orangnya pun berusaha menenangkan, memberi pertolongan pertama.
Pisau yang menancap di kaki Gio itu pasti ulah Rhys. Dia ahli melakukan itu. Entah di mana tadi dia dan pengikutnya bersembunyi, tapi kurasa dia sudah tahu runtutan peristiwanya. Bisa jadi ini malah bagian dari rencananya.
Entah apa yang dikatakan Rhys pada pengikutnya, tapi mereka dengan sigap berlari ke arah kawanan Gio yang memang tidak melawan. Kawanan Gio berjumlah lebih banyak, tapi semuanya menjatuhkan senjata ketika tadi Rhys memerintah. Nyawa tuan mereka jelas lebih penting. Sudah terbukti kaki kiri yang berkorban, mana mungkin dibiarkan jantungnya juga ikut berlubang.
Beberapa unit mobil berdatangan. Dua orang pengikut Rhys membawa Gio yang terluka ke dalam mobil, lalu aku tidak lagi memperhatikan karena fokusku hanya tertuju pada Rhys yang berjalan ke arahku dan Lui yang masih terduduk di bak terbuka yang miring.
Rhys sudah tidak membawa senjata laras panjang itu lagi bersamanya, karena tadi dia menyerahkan benda itu ke salah satu pengikutnya.
Langkahnya yang santai, rautnya yang mengernyit marah dan tatapannya yang tertuju padaku, tidak lantas membuatku paham apa yang ingin dilakukan atau dikatakannya saat berhadapan denganku ketika nanti dia sampai di depanku. Aku menunggu.
Lui melepasku. Aku tidak lagi dalam pelukannya, tapi tetap berada di sampingnya. Rhys—oh, harusnya sudah kuduga bahwa inilah yang akan terjadi. Rhys meninju wajah Lui bahkan dalam jarak yang kupikir dia belum benar-benar sampai di depan kami.
“Kenapa kau tidak mendengarkan apa yang kuperintahkan padamu?”
Lui yang kuat menahan pukulan itu tidak menjawab pertanyaan Rhys, apalagi membalas tinjunya. Dia cuma diam tanpa mau menatap kakak tertua.
Arah tatapan Lui tertuju padaku, karena aku di samping selagi tinju itu mengenai pipi kirinya.
Aku sungguh tidak tahu kapan Rhys mengeluarkan pistol lain entah dari mana dan diarahkan ke kepala Lui. Gerakan yang cepat yang tidak kuprediksi sebelumnya. Lagi-lagi aku lupa. Dia selalu punya senjata pelindung di tubuhnya. Tersimpan di tempat-tempat yang tidak terduga.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚! ❝𝐌𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐬𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡𝐦𝐮 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐤𝐮.❞ ―𝐑𝐡𝐲𝐬 ❝𝐊𝐚𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐝𝐢𝐤𝐦𝐮!❞ ―𝐙𝐞𝐞𝐙𝐞�...