Demi apa pun itu. Tidak pernah selama dua puluh tujuh tahun hidupku, aku merasa setakut ini.
Aku bersumpah. Dia terlihat mengerikan jika dilihat dari sudut pandang manapun.
Dia, Rhys Dimitri Oxley. Kakak tertua yang meski aku takut bertatapan dengannya, seumur hidup, aku tak pernah memanggilnya dengan sebutan ‘Kakak’ kecuali, hanya empat huruf depan dari namanya itu.
Sekarang, si pria berumur empat puluh tahun itu, duduk di tepi ranjangku. Menatap lurus padaku yang hanya mengenakan jubah mandi beserta air yang masih menetes-netes dari ujung rambutku.
Sial, di mana handuk kecilku?
Aku senang keramas di pagi hari menggunakan air dingin. Membiarkan ibu menuduhku sengaja melakukannya untuk menghindari sarapan bersama para tamu penjilat keluarga Oxley dengan alasan terserang flu.
Karena gugup, aku tidak berani mengangkat wajahku. Aku bahkan tak bisa menebak seperti apa raut wajah pria menakutkan yang lebih kejam dari ayah itu, saat kini dia menatapku lekat-lekat.
Dia aneh. Sepertinya dia memiliki ide untuk masuk tanpa izin ke kamarku begini, tanpa penjelasan apapun yang bersedia keluar dari mulutnya.
Lalu dari mana dia mendapatkan kunci kamarku?
“Berpakaianlah, kau harus ikut denganku.” Perintahnya itu bagai air es yang mengguyurku di pagi hari mendung, di saat tubuhku sudah sepenuhnya basah dan kedinginan.
Aku masih diam menunggu.
Hei, Kakak tertua, bukankah seharusnya kau pergi ketika adik perempuanmu yang sudah dewasa ini ingin berpakaian?
Sayang sekali, isi kepalaku itu tidak berguna di saat seperti ini. Aku tidak berani menyuarakan apa yang ada di dalam pikiranku padanya.
Karena aku selalu berhasil menyembunyikan semua itu jauh di dalam pikiranku. Maka diriku tidak lebih baik dan hebat dari seorang pecundang.
“Apa yang kau tunggu?” Dia menatapku lekat. Tidak tajam, tidak menusuk, tapi ekspresinya begitu datar.
Justru bagiku itu lebih menakutkan.
“Ah, ya baik.” Dengan cepat aku membuka lemari pakaianku. Meraih apa saja yang bisa, lalu berencana untuk mengenakan pakaian sambil bersembunyi di kamar mandi. Itu akan terasa lebih menyelamatkanku.
“Kenakan ini.” Suaranya yang kali ini terdengar bagai angin dingin. Seolah menjadikanku beku.
Susah payah aku menoleh dan melihat bahwa ada pakaian yang terlipat rapi di atas ranjangku. Sungguh jangan tanya padaku. Sejak kapan pakaian itu ada di sana, karena tentu saja, aku tidak tahu.
Mendekat, aku mengambil pakaian itu dengan pelan dari atas ranjang. Sempat bertatapan mata dengan kakakku yang setengah gila itu, aku tersentak.
Ryhs, si pria kejam. Dia tidak menikah, tapi memiliki banyak wanita cantik disekelilingnya. Entah bagaimana, mereka terlihat seperti piala bergilir di mataku.
“Kutunggu kau di luar. Sepuluh menit.” Dia sudah berdiri, aroma maskulinnya menyebar dalam kamarku. Bahkan wanginya meninggalkan jejak tak kasat mata di udara yang kuhirup, ketika dia sudah menutup pintu. Keluar tanpa menimbulkan suara lainnya.
Delapan menit. Sungguh aku lega dengan kecepatan gerakku ketika setelan rok pensil dan kemeja putih sebagai dalaman, beserta blazer abu-abu di bagian luar bisa berhasil cepat melekat di tubuhku.
Dasar gila. Tentu saja karena aku merasa ketakutan. Itu sebabnya aku terburu-buru.
“Ganti sepatumu,” perintah Rhys. Itu terdengar, sekaligus terasa menyinggung perasaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚! ❝𝐌𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐬𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡𝐦𝐮 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐤𝐮.❞ ―𝐑𝐡𝐲𝐬 ❝𝐊𝐚𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐝𝐢𝐤𝐦𝐮!❞ ―𝐙𝐞𝐞𝐙𝐞�...