Chapter 32

15.5K 1.7K 9
                                    

Rhys di antara teman-temannya terlihat serius mendengarkan salah satu dari mereka yang sedang bicara.

“Iya. Yang kumaksud kakakmu yang itu.”

“Bukannya kau tidak suka padanya?”

Yeva memelototiku, menampar pundakku pelan. “Kapan aku bilang begitu?”

“Saat kau membicarakan tentang segala kemungkinan yang akan dialami oleh bosmu setelah dia diseret oleh Rhsy malam itu.”

“Oh, itu.” Yeva melirik sekilas ke kerumunan itu lagi. “Aku cuma berkomentar, bukannya benci.”

Alasan. Aku sudah tahu jika akhirnya kau telah melihat kesempurnaan sosok Rhys hari ini, sehingga kau tampak tergila-gila.

“ZeeZee, pergilah berdansa!” Yeva memekik tiba-tiba saat terdengar musik mengalun.

“Kau saja.” Aku memilih duduk sesantai yang kubisa.

“Mana mungkin ada-ZeeZee, itu kakakmu juga, bukan?” Yeva bertanya di telingaku dengan suara yang tidak berbisik sama sekali sambil mengguncang lenganku.

“Iyaaa.” Nadaku panjang dan kesal, sebab Leon—kakakku di urutan keempat—menghampiri kami dengan senyum setan.

“Boleh juga.” Kali ini Yeva berbisik. Jawabanku cuma sikutan di perutnya. “Jangan larang aku.”

“Hei—”

“Biarkan dia, Sayang.” Brady muncul, selagi Yeva sudah menyambut Leon yang padahal belum tentu mengajaknya berdansa. Tapi Leon sialan, pasti pintar memanfaatkan situasi.

“Kau tidak mau bergabung?” Brady meluruskan lengan di belakang leherku. Antara pundak kanan dan kiri, seolah merangkul, tapi dia memilih mengecup bahu dan leherku sekilas.

Kunikmati pada awalnya, lalu mendadak menahan napas ketika mataku melihat ke arah Rhys yang kini menatapku. Kugelengkan kepala sebagai jawaban bahwa aku tidak mau turun ke lantai dansa. Menolak dengan halus kemesraan Brady sebab tiba-tiba saja rasanya mual. Iya, mual. Mungkin karena perutku yang tidak cukup terisi pagi tadi.

“Mau ke mana, Sayang?” Brady memegangi lenganku yang kini sudah beranjak dari kursi.

“Toilet.”

“Kutemani?”

“Tidak, Brad. Aku cuma sebentar.”

“Kau yakin?”

“Tentu.” Setelah senyum dan sekilas membelai pipinya, aku segera pergi, tidak melihat ke mana pun. Kegelisahan yang mendadak hadir dalam diriku terlalu aneh. Apa yang kau cemaskan?

Ah, sial! Gaunku basah! Aku lupa kalau masih mengenakan pakaian pengantin. Cipratan air rupanya berjejak membentuk pulau. Di area kewanitaanku pula.

Suara pintu dibuka membuatku terkejut. Berbalik dan menemukan Rhys di sana. Pintu sudah kukunci, aku yakin.

“Ganti bajumu.” Dari tangannya, paper bag dilempar ke arahku dalam jarak kurang lebih tiga meter.

Melayang dan hup! Dapat!

“Bisa beritahu aku cara membuka pintu yang sudah dikunci dari dalam?” sindirku dengan senyum dari setengah pantulan cermin. Sekilas kupantau isi di dalam paper bag. Pakaian milikku.

“Trik yang tidak perlu untukmu.” Dia mendekat, memperhatikanku. Tatapan khas yang selalu sama.

“Bisa kugunakan untuk diam-diam masuk ke kamarmu.” Kujulurkan lengan ke belakang—namun Rhys memutar tubuhku hingga memunggunginya.

𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang