Tentu. Tentu aku masih punya mulut dan tangan yang bisa memuaskannya. “Duduklah. Akan kulakukan sesuatu untukmu.”
Brady mungkin tidak bersedia, meski tadi dia bertanya seolah memintaku membuatnya merasa lebih baik dengan cara lain.
Namun kurasa dia hanya tidak ingin kusentuh karena langkah berikutnya dia datang padaku, mencium keningku. Akhirnya dia menolak. Gelengan pelan sudah cukup jadi jawabannya.
“Aku baik-baik saja.”
“Okay. Bisa kulakukan jika kau meminta, tapi aku tidak akan memaksa.” Kubalas dengan mencium bibirnya.
Mengangguk dan menghela napas, dia duduk di sisiku rupanya untuk merangkulku. “Aku selalu berharap kau bisa nyaman denganku.”
“Harapanmu sudah terwujud sejak awal kita bertemu, Brad. Aku selalu nyaman saat bersama denganmu.”
“Setelah kau tahu bahwa Audrey hamil karenaku, apa kau masih bisa senyaman itu denganku?”
“Tentu saja.”
Tawa pelannya tidak membuatku heran. Mungkin dia mengira bahwa aku sedang menipunya. Membohongi perasaanku sendiri.
“Padahal, aku berharap sebaliknya. Kau tidak nyaman karena fakta itu, lalu memohon padaku agar keadaan bisa kembali seperti semula.” Terdengar seperti keluhan.
Bersandar kepala di dadanya, aku menertawakan perasaanku yang tidak merasakan itu. Kenapa? Kurasa karena Rhys lebih ahli dalam memenangkan hatiku. “Jangan begitu, Brady. Aku bisa salah sangka dengan berpikir bahwa wanita yang kau cintai, kini bukan wanita yang sama seperti yang kau katakan padaku sebelumnya.”
Brady yang kini mendekap, mengeratkan pelukannya padaku. “Memangnya kau tahu siapa wanita yang kucintai?”
“Tentu saja.” Tidak kutatap wajahnya, karena nyaman berada di pelukan Brady seperti ini. Serius, dia pria ternyaman. Terlewat nyaman, aku nyaris ingin tidur lagi padahal rasanya tadi itu sudah cukup.
“Kau tahu kalau—”
“Tahu, Brady Sayang. Audrey, ‘kan?” Kutahan rasa geli yang mendadak datang, karena Brady menggunakan dua jarinya untuk ‘berjalan-jalan’ di sepanjang kulit leher sampingku.
“Kau langsung tahu karena dia wanita yang mengandung darah dagingku?”
“Ya. Itu sudah pasti, ‘kan?” Sekarang kuhindari rasa geli itu dengan membalik posisi hingga tatapan kami bertemu.
“Bukan,” gelengnya. Senyum atau tawa yang ditahan.
“Bukan Audrey? Jadi wanita lain?” Shock ketika kulihat Brady menggeleng jika bukan Audrey dan mengangguk karena itu artinya wanita lain.
Aku sungguh tidak tahu kalau ada perempuan berbeda selain Josy yang hobi threesome dan Audrey yang berhasil dihamili. “Siapa?” Penasaran pun mendatangiku.
“Kau.”
Spontan aku tertawa. Tidak lucu. “Ya, ya. Aku orangnya. Terima kasih, Brady.” Pura-pura tersanjung, kutarik hidung mancungnya. Dia menahan tanganku dan mengernyit padaku.
“Aku serius, ZeeZee. Kaulah wanita itu.”
Senyumku tidak hilang, cuma berganti menjadi lebih tipis. “Hentikan, Brady. Kau dan aku tahu akhirnya akan seperti apa.”
Kekecewaan atau kekesalan membuatnya mengangkat kedua tangan seolah tanda menyerah. “Okay. Anggap aku tidak mengatakan apa pun.”
Mengangguk, aku sama sekali tidak merasa canggung. Nyaman tetaplah nyaman. Aku kembali bersandar padanya. Tidak perlu dipikirkan. Kuyakin Brady sedang dalam tahap kebingungan. Dia butuh waktu. Hanya waktu. Beradaptasi dengan keadaan baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚! ❝𝐌𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐬𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡𝐦𝐮 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐤𝐮.❞ ―𝐑𝐡𝐲𝐬 ❝𝐊𝐚𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐝𝐢𝐤𝐦𝐮!❞ ―𝐙𝐞𝐞𝐙𝐞�...