Berulang kali aku mencoba untuk membuka pintu itu tapi tetap aja aku gagal. Berulang kali juga aku berteriak tapi tidak ada suara yang membalas teriakanku. Hampir semua siswa-siswi sekolah itu sudah beranjak pulang dan meninggalkan sekolah. Aku pun mulai ketakutan. Aku berteriak sekencang mungkin tapi hasilnya sia-sia.
Ruangan ini sangat sunyi, hanya paparan sinar dari celah jendela yang menerangi, terdengar suara gerasak gerusuk yang membuatku bergidik. Pikiranku terbayang-bayang dengan makhluk gelap yang berjubah hitam dan memiliki wajah yang sangat menakutkan. Membuatku menjadi sangat ketakutan, kedua tanganku spontan menutupi wajahku.
Suara itu terdengar kembali, aku mencoba memberanikan diri untuk melihat ke sekelilingku dan tiba-tiba sesuatu terjatuh dari atas sebuah rak yang membuatku berteriak dan ternyata itu hanya seekor kecoa yang kini berlari terbirit-birit mungkin merasa kaget mendengar teriakanku barusan.
Saat kakiku tak sengaja menginjak sebuah plastik yang berada di atas lantai berantakan, seekor tikus berlari mendekati kakiku yang membuatku berteriak kencang, sekencang-kencangnya sambil melompat-lompat agar tikus tersebut pergi menjauh. Dan pipiku kini di hujani air mata saat aku melihat tidak hanya satu dua ekor tikus yang menjadi penghuni ruangan ini.
ARRGGGGHHHHHH
Sebuah kursi yang hampir reyot segera ku tarik dan berdiri di atas kursi tersebut berharap tikus-tikus itu tidak bisa mendapatkanku. Dengan tubuh yang gemetaran aku menutup kedua wajahku dan menangis tersedu-sedu. Aku tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada yang membantuku saat ini. Aku menangis sesunggukan dan tidak tau mencari solusinya agar bisa terbebas.
DUAAARRRRR
Sebuah suara keras terdengar di telingaku, tapi aku tidak berani melihatnya aku takut akan melihat hal yang lebih buruk lagi dari tikus-tikus itu. Setelah suara itu hanya suara tangisanku yang bergema. Aku jadi semakin yakin tidak ada yang bisa membantuku di dalam. Sebuah sentuhan di lenganku membuat pikiranku membayangkan si jubah hitam benar-benar ada dalam kehidupan nyata bukan hanya dongeng belaka. Tangisanku semakin menjadi-jadi.
"Naya ini aku" teriak seseorang sembari memegang kedua lenganku dan mengguncang tubuhku yang berdiri di atas sebuah kursi
"Raffaaa!" lirihku menangis dan mematung
Dia menarik lenganku dan mengajak ku turun dari kursi itu. Kemudian kedua tangannya memeluk tubuhku yang bergetar hebat akibat rasa ketakutanku yang berada di level atas. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggungku dan mengusap lembut rambut panjangku. Dia berusaha menenangkanku yang masih menangis tersedu-sedu.
"Jangan nangis lagi ya, ada aku disini" ucap Raffa dari balik punggungku. Lalu melepaskan pelukannya dan mengusap pipiku dengan kedua telapak tangannya.
"kamu udah aman Nay! Kita pulang ya" ucapnya dengan wajah yang menyiratkan kesedihan melihat Naya yang begitu ketakutan. Tangan Raffa menggenggam tangan perempuan yang masih menangis itu untuk beranjak meninggalkan gudang
"Kamu kok bisa ada di gudang sih Nay?" tanya Raffa setelah menenangkanku dengan air putih yang di beli di kantin pak Ucup
"Ada yang ngerjain aku Raf" lirihku sedih mengingat kembali kejadian yang baru saja menimpaku
"Yaudah kamu jangan nangis lagi, nanti makin jelek" kata Raffa tersenyum dan menggenggam kembali tanganku ke parkiran sekolah
"Sepeda kamu tinggal di sekolah aja, aku antar kamu pulang" tegas Raffa
"Aku bisa pulang sendiri kok Raf" ucapku sembari melepaskan tangannya
"Enggak Nay! Kamu harus pulang bareng aku. Jangan takut sepeda kamu aman di tinggal di sekolah" kata Raffa dan memakaikanku helm yang sebenarnya sangat kebesaran untuk ukuran kepalaku
"Tapi Raf, aku ngerepotin kamu" sahutku memelas
"Udah naik di belakangku" kata Raffa sembari menarik tanganku mengisyaratkan untuk tidak menolak tawaran itu
Aku segera duduk menyamping di belakang punggungnya. Saat aku menyadari Raffa tidak memakai Helm aku bergegas membuka helm yang ada di kepalaku dan memberinya kepada Raffa. Aku tau Raffa harus pakai helm, aku bisa bersembunyi di balik punggungnya dari terpaan angin.
"Raf, helm kamu kebesaran nih kamu aja yang pake" ucapku agar dia memakai helm itu
"Tapi Nay___" sebelum dia selesai berbicara aku memotong ucapannya "Helm kamu kedodoran Raf di kepalaku, udah yuk jalan" balasku
Akhirnya Raffa mengalah dan mulai menyalakan mesin motornya itu dan melaju dengan kecepatan yang sedang. Aku yang duduk menyamping membuat pertahanan dengan memegang besi yang ada di bagian belang motor ini. Sesekali tangan kananku meremas baju Raffa saat dia menarik stang rem tiba-tiba.
Tanpa mengucapan sepatah kata, tangan Raffa tiba-tiba menarik tangan kananku ke depan dan mengulang hal yang sama dengan tangan kiriku. Dia menumpuk kedua telapak tanganku yang kini sudah mengalung di pinggangnya. Dan entah mengapa tiba-tiba aku menyenderkan kepalaku ke punggungnya dan menikmati angin yang menerpa wajahku. Hingga tak berselang lama kami sampai di depan gerbang rumahku yang tertutup rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Tujuh Cheers (TELAH TERBIT)
Teen Fiction[SEBELUM BACA FOLLOW DULU YA] Sejak berumur 5 tahun aku selalu mengimpikan mendapat karangan bunga pada hari ulang tahunku, karangan bunga mawar merah dengan jumlah tangkai sebanyak usiaku dan di ikat dengan pita warna biru muda. Dan didalamnya ters...