19. MARAH

10.2K 584 2
                                    

Aya terus menghubungi Haykal yang sejak tadi tak mengangkatnya. Setelah mengantarnya ke rumah, cowok itu berlalu begitu saja. Ingin bertanya, tapi Haykal masih marah padanya.

"Aku pengen ditemenin ke rumah sakit tau," helanya menatap nanar ponselnya.

Dia mengambil tas shouldernya. Sepertinya dia ke rumah sakit sendiri. Padahal hari ini adalah jadwal control kandungannya yang pertama.

Bibirnya menyungging ke atas pada Syena yang sedang membaca majalah di ruang TV. "Mama, Aya izin keluar ya,"

"Eh mau ngapain sayang? Haykal dimana? Ikut, kan?" cerca Syena planga-plongo mencari keberadaan putra sulungnya.

"Kak Haykal lagi pergi. Aya mau berangkat sendiri aja. Mau ke rumah sakit untuk control kandungan,"

"No no no. Mama gak izinin. Sayang, kalo kamu mau control kandungan ya harus ditemenin suami dong,"

"Ma, Aya gakpapa kok sendiri. Lagian kalo Kak Haykal bisa pasti ikut. Tapi, dia gak bisa," balas Aya.

Syena menghela nafasnya. "Ya udah. Tapi kamu dianter sama supir ya. Mama gak mau kamu dan cucu mama kenapa-napa,"

Aya mengganguk pasti. Dia mengambil tangan Syena, dan menciumnya lembut. "Aya duluan, ma,"

"Hati-hati ya, Aya!"

***

Aya sudah duduk di ruang tunggu rumah sakit, tepatnya di gedung untuk poli ibu dan anak. Banyak sekali para ibu hamil yang didampingi oleh suaminya masing-masing.

Senyum Aya mengukir melihatnya. Hatinya menghangat. "Kalo aja Kak Haykal begitu, pasti aku seneng banget,"

"Itu masih anak-anak ngapain di sini? Hamil ya?"

"Iya kali ya. Nggak ada suaminya dateng,"

"Hamil di luar nikah kali. Kan anak jaman sekarang kayak gitu,"

Aya menundukan kepalanya. Tatapan sinis dari sebelahnya sangat mengganggunya. Kepalanya terangkat saat namanya mulai dipanggil.

"Nyonya Keandra, dipersilahkan masuk,"

Sempat Aya bingung saat salah satu dari wajah ibu-ibu itu pucat. Tetapi, dia tersenyum kecil saat melihat senyum ramah dan kikuk dari ibu itu. 'Aku kasih tau papa baru tau biar nanti dipecat hehe,'

"Siang dokter,"

Seorang dokter cantik yang kisaran berumur 24 tahun melempar senyumnya. "Siang juga. Silahkan duduk, nyonya,"

"Nyonya? Aya aja dokter. Soalnya kalo nyonya jadi kayak ibu-ibu hehe,"

"Hahaha bisa aja kamu. Gimana beberapa minggu ini, masih sering muntah-muntah?" tanya Yuli, itu yang tertulis di name tag jas putihnya.

"Masih, dok,"

"Oh ya udah. Kita langsung periksa aja ya," Jujur saja, Yuli sempat mencari keberedaan suami perempuan berumur 16 tahun ini, tetapi tak ada. Kepalanya sudah mengangguk-angguk mengerti. Sungguh dia salut pada Aya. Tidak seperti remaja lain yang lebih memilih membunuh bayi yang tak bersalah.

Disappointed.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang