"Kamu dari mana?!" tanya Bi Sum sambil menatap Tia yang hanya memainkan ponselnya. "TIA!"
"Apa sih bu?!" Tia melempar ponselnya diranjang kecilnya ini dan menatap sang Ibu.
"Kamu habis dari mana hah?" tanya Bi Sum dengan tatapan tajamnya.
"Dari lantai dua," jawab Tia dengan santai.
"Ngapain kamu?! Jangan asal nyelonoh aja kamu ke rumah orang. Tia ini bukan keluarga kita atau siapa-siapa kita. Mereka cuma majikan kita. Kita gak boleh kurang ajar,"
Tia mengangkat kepalanya dan berdiri dari duduknya, "Kurang ajar? SIAPA YANG KURANG AJAR DISINI HAH?! TIA?! Atau..ibu?"
Bi Sum ingin melayangkan tamparannya, tetapi langsung ditangkis oleh putri semata wayangnya ini, "TIA!"
"Kenapa bu? Tia udah bosen hidup kayak gini terus. Tia capek!"
"Kamu mau apa hah?! Berharap jadi menantu keluarga ini?! JANGAN BERHARAP TIA! Kita hanya manusia kalangan bawah," ucap Bi Sum dengan menatap putrinya itu.
"Kita emang kalangan bawah. Tapi apa salahnya Tia pengen hah?! Menantu keluarga ini juga kan udah mau mati," ucap Tia dengan santainya.
Bi Sum menatap Tia tajam, "Apa maksud kamu?!"
"AYA UDAH MAU MATI!" ulang Tia dengan penekanan disetiap katanya.
Plak!
Bi Sum menampar Tia yang perilaku dan mulutnya sangat kurang ajar. "IBU GAK PERNAH NGAJARIN KAMU KAYAK GINI! KALO NGOMONG JANGAN SUKA NGAWUR!"
Tia memegang bekas tamparan yang Ibunya berikan, "Dia emang udah mau mati. Ibu lihat aja di kamarnya,"
"Tia, kamu yang buat non Aya pendarahan?" tanya Bi Sum lirih dengan mencengkram lengan Tia.
Tia menghempaskan tangan ibunya, "IYA!"
"KAMU APAIN NON AYA HAH?!"
"Dorong sampai dia dan bayinya mati!" jawab Tia tersenyum devil.
Bi Sum membulatkan matanya, "Tia, kalo mereka tau kamu pelaku semua ini gimana!?"
"Biarin. Tia gak peduli kalo masuk polisi. Yang penting mereka berdua mati!"
Mereka tidak menyadari bahwa sedari tadi ada yang mendengar percakapan mereka. Dia menatap tidak percaya Tia yang seperti itu.
"Ya Allah kasihan banget non Aya," Pelayan tersebut mulai mengetik sesuatu di ponsel kecilnya.
***
Haykal memandang buku di genggamannya. Buku yang sudah membuatnya yakin bahwa Aya tak sepenuhnya salah di sini.
"Tapi gua masih benci sama lo."
Matanya dia pejamkan untuk mengurangi rasa pening di kepalanya. Memikirkan ini untuk beberapa hari terakhir membuatnya tak bisa berpikir jernih dan tak bisa tidur.
Semuanya dihantui rasa bingung, rasa marah, dan rasa menyesal. Semuanya terasa tercampur aduk.
"Ay." gumamnya secara tak sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disappointed.
Teen FictionAku kecewa terhadap diriku. Aku kecewa terhadap logika otakku. Aku kecewa kepada semua yang ada dalam diriku. Aku kecewa karena hanya memikirkan diriku saja. Kesalahan terbesarku membuatku menjadi membenci diriku sendiri. Musuh terbesarku adalah aku...