Seorang perempuan yang duduk di pojok ruangan menyumpal telinganya dengan earphone.
Seorang guru yang berperawakan cengkring di depan membuatnya sangat bosan. Ditambah angka-angka yang tertulis di papan tulis membuat kepalanya semakin pening.
"Aduh susah banget sih ah. Ini ngitungnya gimana lagi!? Bisa gila gue lama-lama!" gerutuan dari Rayya yang duduk di sebelahnya hanya Ia acuhkan. Dan kembali menelungkupkan kepalanya ke dalam lipatan tangannya.
"Ay, tolong gue dong mintain jawaban sama si janda. Kepala gua udah pusing banget. Mana masih banyak lagi," mohon Rayya pada Aya yang hanya tertidur santai.
Aya berdecak kesal.
"Ay, woi lu kenapa tidur sih! Bentar lagi dikumpul ego. Lihat noh si cungkring pasti ngusir lu," Rayya menggoyangkan lengan Aya.
Hasilnya sama.
"Weh, sshtt shtt. Weh janda, bagi jawaban dong," bisik Rayya kepada perempuan berwajah judes. Tapi baik kok. Kenapa dia memanggil janda? Ya, karena cocok saja gitu.
"Tolol kok dipelihara!" sarkas perempuan itu tapi tetap memberi kertas yang sudah berisi jawaban. Dia selalu menulis di dua kertas. Karena tau pasti mereka semua pada minta jawabannya. Dari pada binder yang sudah dia buat se-aesthetic mungkin rusak, lebih baik dia memberinya yang biasa saja. Biasa lah, mereka tak tau diri.
Rayya kembali menulis angka di depannya dengan cepat. Dan umpatan kasar yang terus diucapkan untuk wanita bertubuh cungkring itu. Menyusahkan saja.
"WAKTU SUDAH HABIS. SILAHKAN KUMPUL KE DEPAN." Interuski dari Bu Wira membuat mereka segera maju dan mengumpulkan kertas tersebut.
Berbeda dengan perempuan yang masih saja asik tertidur. Tanpa mempedulikan keadaan sekitar.
"Tiga puluh tiga..tiga puluh empat..tiga puluh li—," hitungan Bu Wati terhenti. Ruangannya yang tadinya sedikit ricuh menanyakan jawaban satu sama lain, kini mulai hening. Suasana seketika mencekam. "Berapa murid disini?"
"Tiga puluh lima bu," jawab ketua kelas di kelas ini.
"Kenapa cuma tiga puluh empat? Siapa yang tidak mengumpulkan?" Nada suara Bu Wati sudah naik satu oktaf. Wanita itu memberikan tatapan marahnya. Membuat mereka semua meneguk salivanya kasar.
"NGAKU SIAPA!?"
Rayya yang merasa nyawa Aya sudah terancam ikut takut. Dia membangunkan Aya pelan, "Weh bangun. Itu jawaban lu mana?"
"Weh goblok. Bumil, bangun ege. Entar lu dihukum. Sttt Aya!! Athaya Malaika Keandra istrinya Haykal Jevan Keandra!"
"Akh lu berisik banget dari tadi!" gertak Aya kencang. Membuat seisi kelas yang hening menyorotkan pandangan ke arah seorang gadis yang menunjukan wajah bantalnya.
"ATHAYA! KAMU TIDUR DALAM PELAJARAN SAYA!?"
"Iya, bu. Saya ngantuk. Lagian ibu kalo ngomong kayak mau ngedongengin aja,"
Jawaban Aya membuat mereka semua melongo tak percaya. Walaupun gadis itu sering dihukum, tapi ini pertama kalinya Aya menjawab seorang Bu Wati. Guru yang kalau memberi hukuman tak ada ampun.
"KELUAR KAMU DARI PELAJARAN SAYA!"
"Akhirnya ya Allah," ujar Aya yang sudah berdiri dari duduknya. Dia tak mempedulikan tampang terkejut dan decakan kagum dari mereka semua.
"TUNGGU! Keliling lapangan sampai bel istirahat berbunyi!" lanjut Bu Wati.
Aya memberhentikan langkahnya. Bahunya mengendur lesu. Apa-apaan ini!? Kan dia sedang hamil. Dasar guru gak jelas! Gua lapor mertua gua juga nih guru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disappointed.
Teen FictionAku kecewa terhadap diriku. Aku kecewa terhadap logika otakku. Aku kecewa kepada semua yang ada dalam diriku. Aku kecewa karena hanya memikirkan diriku saja. Kesalahan terbesarku membuatku menjadi membenci diriku sendiri. Musuh terbesarku adalah aku...