part tigalima

6.8K 630 30
                                    

"Gue ke rumah sakit sekarang. Candra sama lukas udah di sana dari pagi" hanan mengambil jaket yang tergeletak di sofa milik johny, "hm. Gue nyusul sorean dikit, ada kelas" kata febri

Hanan mengangguk. Dia mengambil kunci mobil dan berjalan keluar dari rumah. Setelah duduk nyaman di kursi kemudi hanan segera tancap gas, dia berbelok ke restoran kecil guna membeli sarapan untuk kedua sahabatnya. Mereka pasti melupakan perutnya yang kosong

Hanan berlari kecil masuk ke dalam restoran, dia menunggu pesanannya sambil memainkan ponsel.

"Kak, ini pesanannnya. Semuanya menjadi 120rb" hanan mengambil uang di dompetnya dan meyodorkan dua lembar kepada kasirnya

"Buat lo aja mbak kembaliannya" kata hanan terburu-buru. "Ini kan uang pas. Dasar sinting" gumam si kasir

Hanan memasuki mobilnya terburu, kata lukas nino sadar dari alam bawah sadarnya. Yah, meski nino kembali tidur lagi. Tapi itu cukup membuat hati hanan tenang, tidak ada lagi rasa khawatir akan kehilangan tuk kedua kalinya.

"Luke, gimana nino?"

Lukas dan candra menoleh, begitupun ayah dan kakek nino. Mereka menatap hanan yang berlari ke arah mereka terengah.

"Itu siapa lagi?" tanya kakek, beliau menatap hanan dari bawah ke atas. Men scan penampilannya. "Hanan kek. Sahabat nino" ucap mino

Kakek mendengus. Dia tidak tanya pada cucu tertuanya, kakek masih kesal akan perbuatan kriminalnya. "Shut up" gumam kakek

Candra melepas dasi yang mencekik lehernya, apalagi aura di sekitarnya seakan ikut mencekiknya juga. Sebenarnya antara kakek dan ayahnya nino punya masalah apa sih.

"Sini nak, duduk di sebelah kakek seperti kedua temanmu" kakek melambai pada hanan,  yang segera di turuti yang muda. "Berapa lama kenal sama cucu kakek?"

Hanan ketawa kecil, jangan di tanya itu mah. "Udah lama kek, kita udah seperti saudara sedarah" jawab lukas. Kakek mangut-mangut.

"Cuma hanan dan kedua temanmu ini ya temannya nino?"

"Sahabat kek" koreksi lukas

Kakek memutar bola mata jengah, kan sama aja. Meski maknanya lebih dalam sahabat.

"Iya sahabat. Hanan satu sekolahan dengan cucu kakek?" tanya kakek merubah pertanyaannya

"Iya kek, mereka satu sekolahan bahkan satu kelas. Iyakan han?" hanan cuma ngangguk, yang di bilang lukas emang bener.

Kakek merubah posisi duduknya jadi menghadap lukas. "Kamu ini punya masalah apa sama kakek, saya ini nanya sama yang namanya hanan. Emang kamu hanan!?" ujar kakek kesal

Lukas menyengir, dia bergumam minta maaf. "Yah, gimana ya.. Kakek ini asik sekali kalau ngobrol. Nggak seperti itu" lukas melirik ayah nino dan mino yang duduk tak jauh mereka.

"Kakek memang se menarik itu kan"

"Iya kek. Kakek jjjang" pekik lukas

"Nggak usah aneh-aneh sama ayah saya kamu bocah!" sinis ayah dari seberang,

"Nggak usah di dengerin. Dia itu payah" kata kakek. Ayah mendecih, dalam hati memanggil puluhan nama hewan dari kebun binatang. Mino cuma bisa liat perdebatan kecil keluarganya, dia tersenyum kecil.

Hubungannya dengan kakek semakin buruk.

"Kakek udah tau pelaku yang membuat mobil nino masuk ke sungai"

Deg

Mino menegang. Dia menatap ayahnya yang melihatnya, mereka bertatapan sebentar. Kemudian ayah menggenggam tangan mino, menenangkan.

"Sudah"

"Gimana kek, udah masuk penjara?" kini candra bertanya, matanya memerah karena kabut dendam menyelimutinya. Kakek terkekeh kecil, hah.. Dasar anak muda.

"Itu urusan orang tua seperti kakek, kalian tugasnya hanya ada si samping nino. Paham?"

"Paham kek!" ucap ketiganya kompak

Mereka bercanda ria. Sepertinya mereka mulai cocok satu sama lain, mino yang melihatnya iri. Orang lain bisa dekat dengan kakek, sementara dia... Bicara saja mungkin hanya sepatah dua patah.

"Gabung sana" ayah menyenggol bahu mino, kasian juga melihat mino yang cuma menatap dari jauh. "Ayah akan ke toilet sebentar" lanjutnya

Mino menggeleng tak setuju. "Tahan sebentar yah, mino sendirian" suaranya melirih, takut terdengar oleh orang lain. Atau takut karena yang lain?

Ayah kembali menyamankan duduknya, dia merasa kakeknya tidak jauh beda dengannya. Seharusnya kan mino juga di ajak gabung buat ngobrol, kok malah di asingkan begini.

"Pa, kita di ajak ngobrol gitu lo, kok di diemin begini"

"Nggak tuh, om kalo mau ngobrol bareng tinggal langsung menimpali ucapan kita aja. Ya nggak kek?"

"Heh.. Saya nggak ngomong sama kamu ya!" ayah menunjuk wajah lukas. Ikut campur aja sih itu, tempo lalu pas bertatapan sama ayah aja menciut seperti kerupuk. Mentang-mentang ada yang membelanya.

"Err, permisi. Mohon tenang ya, ini di rumah sakit bukan mall" ucap perawat muda yang kebetulan akan memeriksa kondisi nino di dalam.

"Maaf" mereka membungkuk sopan. Kecuali kakek.

Masa yang tua menundukkan kepalanya pada yang lebih muda.

Perawat itu mengangguk dan masuk ke ruangan. Mereka terdiam sejenak. Hingga wajah panik dari perawat itu membuat semuanya ikutan panik, bahkan ayah udah berlarian menuju kaca pembatas, supaya bisa liat keadaan nino.

Tak lama kemudian datanglah dua dokter dan tiga perawat, mereka kembali masuk tanpa memberi celah untuk mereka bertanya.

"Ya tuhan.. Apa yang sebenarnya terjadi" gumam ayah, maniknya menyiratkan kesenduan mendalam. Yang teliti melihat mata ayah akan tau, termasuk mino. "Lindungilah malaikatku" gumamnya, dan lagi-lagi mino mendengarnya.

"Dok.. Cucu saya? Nggak mati kan? Kalau mati, nyawa dokter yang akan menggantikannya" lukas mengusap bahu kakek.

"Semua aman terkendali tuan, nino sudah sepenuhnya sadar. Dia mencari ayahnya" dokter itu tersenyum tulus, kemudian berganti galak ketika melihat ayah. "Cepat masuk. Lamban!" dokter itu pamit undur diri

"Dia yang papa maksud?" kakek mengangguk, "nggak yakin aku, modelnya aja udah kaya babi ke lepas dari kandang" gumam ayah, beliau masih kaget karena di bentak. Padahal ayah nggak ingat itu siapa.

Ayah memakai pakaian khusus rumah sakit,
Ayah membuka pintu perlahan, pertama yang ia lihat adalah tatapan rindu dari bungsunya. Bolehkah ayah menangis kali ini?

"Ayah...

Nino is NinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang