part tigatuju

6.3K 609 26
                                    

Sepi.
Itulah yang tengah di alami nino. Dia hanya berdiam diri di ranjang rumah sakit, cuma bisa merhatiin sekitar. Tidak bisa mainan hp, katanya nanti matanya bisa memerah sakit. Semua sahabatnya berangkat sekolah, dan sebagian punya masalah pribadi yang harus di selesaikan.

Ayahnya? Jangan tanya si tua itu, nino bahkan tidak bisa menghubunginya setelah insiden perdebatan dengan mommy nya kemarin. Ayahnya pergi karena nino ikutan membela kubu sang mommy.

Nino bosan.
Dia memukul-mukul kepalanya, kenapa harus pusing? Kenapa sakitnya nggak ilang-ilang.

"Apa kakek nggak kesini ya?" gumamnya

Rasa rindu kembali hadir kala mengingat wajah kakeknya, mereka sudah lama tidak bertegur sapa. Biasanya hanya lewat ponsel itupun jika nino ingat.

"Oy oy! Kenapa diam" tau-tau kakeknya duduk di kursi yang telah di sediakan. Nino mengernyit, kapan ini kakek-kakek ini masuk coba. Dia celingukan, bukan setan gentayangan kan?

"Kakek dari mana?

"Tentu saja menghukum orang yang telah mencelakai cucu kakek ini lah" kakek mengusap sayang kepala nino

"Siapa?"

"Anak kecil nggak perlu tau!!"

Nino mendengus kesal. "Kenapa nggak ayah coba?"

Kini gantian kakek yang mendengus, "ayahmu tidak bisa di andalkan. Soal seperti ini pasti sudah kalah duluan dia"

Anggukan kepala nino beri, tidak dalam keadaan mood baik dia. Yang menjenguknya cuma itu-itu aja.

"Kek, kalo misal nino tinggal sama mom gimana?" alis kakek terangkat. Tentu saja bingung, ini nggak ada yang menghasut cucunya kan? Kok tumben nanya hal beginian.

"Emang kamu bisa tahan jauhan sama ayahmu?"

"Entah. Tapi kalau aku sama mom, mungkin posisiku bisa di ganti sama kak mino. Lagian kan hak asuhku harusnya ada di tangan mom. Karena ayah punya kuasa makanya di ambil sama ayah"

Kakek mengangguk. Kemudian mencari posisi duduk yang nyaman, kakek menatap ke dalam manik nino. "Kalau kamu yakin dengan keputusan itu ya terserah kamu, kakek cuma ikut saja"

Ceklek

Pintu terbuka perlahan, lalu ada kepala menyembul di sana. Itu mommy dan suaminya. Padahal semalam habis datang sekarang kembali lagi..

Mommy membungkuk sopan pada kakek di ikuti lelakinya, kakek cuma senyum tipis dan berdiri menjauh buat duduk di sofa.

"Halo boy, gimana? Udah sehat kan" tanya daddy. Suaranya lembut dan membuat nyaman. Kakek bisa melihat matanya yang menyiratkan ketulusan.

"Daddy membawa sesuatu untukmu, lihat" daddy menyodorkan sebuah ponsel keluaran terbaru, nino memekik senang. Itu ponsel yang dia inginkan tapi tidak kesampaian

Mommy mengusap tangan nino, interaksi mereka ternyata tidak secanggung yang ia pikir. Nino menyambut baik suami nya, begitupun sebaliknya. Mereka memang cocok.

"Dad janji, kalau nino sembuh kita bisa balapan di sirkuit yang dad sewa seharian penuh untuk kita"

Nah. Termasuk ini, mereka punya hobi yang sama.

"Hah. Serius?"

"Serius. Makanya semangat" nino mengangguk heboh. Dia menatap kakeknya mengejek, "bocah tengik" gumam kakek

"Pradipta" panggil kakek, "iya pa" mommy menoleh kepada mantan mertuanya

"Kalau mau mengajak nino pergi ijin dulu sama ayahnya. Jangan seenaknya membawa anak orang!"

Mommy tersenyum. "Nino kan juga anakku, aku berhak kepadanya" kata mom, sang suami pun membelanya, "nino juga berhak menghabiskan waktunya dengan ibunya, lagi pula kami tidak akan menyakiti nino kok jika itu yang anda pikirkan" katanya

Nino bersedekap dada, dagunya ia angkat ke atas. Definisi menyebalkan yang sesungguhnya jika ayah melihat.

"Mau sakit, mau nggak. Tengil ya tetep tengil" gumam kakek. Pria paruh baya itu akhirnya diam, tidak mau memperpanjang masalah. Lagi pula suami baru dari mantan menantu pintar bicara. Buang-buang waktu saja mengeluarkan suara untuk orang asing macam dia.

Kakek beranjak dari duduknya, dia sempatkan mengecup dahi nino. "Kakek pergi dulu, ada urusan penting" nino mengangguk kesal, dia tidak suka jika wajahnya terkena liur kakeknya, basah dan sedikit menjijikan.

"Kakek itu harusnya pensiun. Kalau tiba-tiba encok kan merepotkan yang lain" ucap nino, kakek melambai tidak peduli. "Kek, jangan nyusahin orang lain loh" pekik nino

"Jangan begitu sama kakek"

"Ini hiburan mom"

"Kalau gitu, kami juga pamit ya. Keputusan mu masih kami tunggu, kami terbuka untukmu" kata daddy, dia menggandeng telapak tangan mommynya mesra. Iya sih, kalau bersama mereka dia pasti dapat kasih sayang yang melimpah, perhatian yang tak kunjung usai. "Dah jagoan" daddy melambai begitupun mommy

Nino diam berpikir. Mana keputusan yang harus dia ambil, haruskah tetap bersama ayahnya. Atau mengikuti mommy seperti yang seharusnya.

"Lo mau ninggalin ayah?" kata mino

"Sejak kapan lo di situ kak? Nguping ya?" mino mengendik bahu acuh, "gak lama kok, gue juga nggak sengaja" katanya

"Gue kesini cuma mau minta maaf, semua yang terjadi gara-gara gue" ujar mino. Matanya menyiratkan penyesalan terdalam, nino nggak tega buat tengil kaya biasa. "Baguslah kalo lo sadar, semua udah terjadi. Lupain aja, nggak penting buat di bahas" tukas nino

Mino mengangguk. Dia menarik kursi di dekatnya lalu duduk menghadap nino, "lo mau ikut mommy?"

"Gue belum tau"

"Kenapa harus milih mommy"

Nino mengernyitkan dahinya, "seharusnya kan salah satu dari kita memang ikut mom, dan itu gue. Mommy udah nggak bisa hamil lagi, gue cuma kasian mommy nggak ada temennya di rumah"

"Kan ada suaminya" mino menyahut cepat

"Daddy kerja"

"Lo udah manggil daddy? Wow" balas mino takjub, dia aja belum ketemu sama suami dari mommynya, "terus ayah?" lanjutnya

Nino merolingkan mata malas, "ya sama lo kak, gue ikut mommy. Pindah aja ke rumah nggak usah di apartemen" ucap nino kesal.

"Gue nggak mau ya di beri kebencian lagi, mungkin keputusan ini baik untuk kita kedepannya"

Itu mungkin yang di pikirkan nino memang baik untuknya dan mino. Tapi jika untuk ayah tidak, mana mungkin ayah biarkan nino menjauh dari jangkaun ayah. Meskipun itu dengan mantan istrinya, mommy nino sendiri.

Nino is NinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang