part mapuluh

4.7K 399 8
                                    

Ayah menatap angkuh seorang wanita karir di depannya, bibirnya tersungging licik kala melihat tatapan tajam dari wanita itu untuknya.

"Jangan kau kira aku tak tau prilakumu terhadap anakku " ujar ayah,

"Baguslah jika kau lebih dulu tau, jangan senang dulu, aku satu dari banyaknya musuhmu di luar sana. Yang pastinya tau kelemahanmu" kekeh nya. "Hera hera, kau pikir dengan ucapanmu itu aku akan takut. Anakku tidak selemah itu" balas ayah tak kalah tajam

"Oh iya? Nichole kenapa kau selau arrogant heum? Apa salwa meninggalkanmu karena sifat burukmu ini?"

"Jaga ucapanmu bitch!"

"Wow. Aku bicara fakta kan? Dan kau malah menikahi mantan istri temanmu sendiri, siapa namanya? Yuni?" ujar hera.

Wanita itu duduk anggun di kursi cafe tempat mereka janjikan sebelumnya, dia memandang ayah sinis. Karena dialah suaminya meregang nyawa di perusahaan otomotif miliknya hingga hampir gulung tikar. Jika bukan karena bantuan dari teman suaminya mungkin dia dan anaknya akan menjadi gelandangan. Oleh sebab itu, dia teramat membenci sosok pria dia depannya, semua yang berhubungan dengan pria itu hera benci

"Hera. Harusnya kau itu mengerti suamimu mati karena serangan jantung!" desis ayah

Ayah mencoba memberi pengertian akan fakta yang sebenarnya, hera selalu salah paham. Wanita memang sulit di pahami.

"Dan itu karenamu. Bila perusahaanmu tidak memutus kerja sama dengan suamiku, ayah dari anakku tidak akan mati" ujar hera

"Terserah jika kau tak percaya" ayah beranjak dari duduknya, sia-sia saja menemui wanita tak ada otak semacam itu. "Dan jika saja suamimu lebih cakap dalam bekerja aku tak mungkin melakukannya" setelah itu ayah benar-benar melangkah lebar keluar dari cafe. Waktunya terbuang percuma dan itu karena ibu dari sahabat anaknya

Hera menatap kepergian ayah marah, hatinya selalu saja sesak dan perlu di lampiaskan. "Bajingan kau nichole! Lihat saja apa yang akan ku lakukan pada anak kesayanganmu itu" hera menggumam sembari otak kecilnya berputar merencanakan sesuatu yang akan menjadi trending nantinya.

Bila kecelakaan itu membuat geger seluruh media, maka kejadian ini akan mampu mengguncang hati mereka. Hera tersenyum licik. Manik matanya telah di tutupi dendam yang membuncah.

"Kau akan gila karena ini nichole, lihat saja"




......

"Kakak sialan beneran mau pulang?"

Ezra mendengus kala mendengar panggilan dari nino, telinganya panas,  mulut nino memang perlu di amplas. Dia melihat mino yang melihat interaksinya dengan nino. Ezra melambai, mengintrupsi agar mino mendekat.

"Jaga nino, aku pergi menyelesaikan tugas kampus" mino mengagguk patuh, sedangkan nino mencibir mereka berdua. "Aku pergi. Titip salam buat ayah" pamitnya

Ayah pergi ke luar kota bareng ibu tirinya, mereka di tinggalkan ber tiga dan sialnya ezra juga harus pergi ke kampusnya. Mino dan nino tidak terlalu akrab, jika mereka berada di ruangan yang sama tidak akan bisa menyatu. Mereka seperti minyak dan air. Meskipun saudara, mereka berjauhan. Beda dengan ezra, nino lebih merasa lebih nyaman berdekatan dengan sosok kakak seperti itu.

"Gue mau ke rumah johny" nino berbalik masuk ke rumah, mengambil kunci mobil dan juga beberapa uang cash di atas kulkas. "Gue ambil uang ini" katanya

Mino masih menatap segala gerak gerik yang nino ciptakan, dia membola melihat nino memakai sebuah jaket yang dulu dia pengen beli tapi tak kesampaian. Dia menghadang nino, "lo beli jaket ini dimana?" tanyanya

Nino menukik alisnya bertanya, "mana gue tau, ini di kasih ayah pas gue di rumah sakit itu" katanya

"Lo mau ikut gue nggak? Kumpul sama temen gue, dari pada di sini entar lo gabut kak" tukas nino

"Lo aja, gue di rumah" jawab mino, "mau ngapain lo di rumah?" tanya nino.

"Urusan gue bukan urusan lo"

Nino mengangguk, dia memasuki mobil merahnya dan keluar dari pekarangan rumahnya. Menekan klakson tanda ia berangkat, mino cuma melihat tanpa melambai atau tersenyum. Dia mendekati satpam yang masih memandang kemana perginya mobil yang di kendarai nino. Dia menepuk pelan bahu satpam itu--

"Pak, kalo ada yang nyariin nino bilang aja sakit ya" ucap nino, "tapi tuan muda---

"Konsekuensi saya tanggung, bapak tinggal turuti kemauan saya ya"

Satpam itu mengiyakan tanpa berani untuk menolak, dia terlalu takut jika menolak akan berimbas pada pekerjaannya ini. Mino tersenyum menang, dia melangkah ke dalam rumah riang. Dia bisa membodohi teman sekolah nino, namun tidak dengan sahabatnya.

Benar saja, dua pemuda berdiri di depan gerbang rumah nino. Mereka mengintip di celah yang ada--

"Lo coba telpon nino gih" ujar si pemuda yang memiliki jambul depan, "gue kaga ada nomer ponselnya" ucap si bibir tebal

"Apalagi gue" gumam si jambul

"Coba tanya itu satpamnya" si bibir tebal mengangguk, dia berjalan pelan ke sana. Mengetuk besi yang menjadi penghalang, "pak, nino nya di dalam. Kami ada tugas kelompok bersama nino"

"Tuan muda sedang sakit nak, tidak bisa di ganggu"

"Kok aneh, dia sejam lalu ngabarin hanan katanya ada di rumah" ujar si jambul, "lo kenapa nggak minta nomernya sekalian, bodoh" geram si bibir tebal

"Ya gue gak kepikiran sampe sana" cengirnya

"Makasih pak, kita pulang aja lah" si bibir tebal menarik lengan si jambul menuju motor matic yang mereka kendarai, dengan si jambul yang menyetirnya.

"Hmm. Dari penampilannya saja tidak meyakinkan, gembel" gumam mino dari jendela lantai atas, dia tau akan ada tamu yang tidak sesuai ekspetasinya datang. Makanya mino meng koordinir satpam di depan agar menolak mereka. "Kenapa nino tetap melakukannya seperti dulu" mino menutup gorden warna peach itu. Dia memasuki kamar nino, menyusuri setiap sudut ruangan luas itu.

Tanpa menyadari cctv kecil yang mengintai setiap pergerakannya.

Nino is NinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang