part mapuluhtuju

4.8K 448 19
                                    

Dia tidak mengerti, kenapa seolah semesta tidak bisa melihatnya bahagia sedikit saja. Mengapa semua orang menatapnya rendah, bahkan tatapan ayahnya sekalipun. Yang bisa nino lakukan hanya mengabaikan orang di dekatnya, tubuhnya gemetar setiap kali mereka menyentuh kulitnya. Nino ingin memeluk ayahnya, ingin memeluk mommynya. Tapi, tubuh sialannya menolak itu. Melihat mereka, nino teringat akan kejadian di gubuk tua itu.

Nino takut tatapan pria itu. Aura kebencian yang kental.
Nino kembali melihat ke depan, menggigit bibir bawahnya gusar. Bola matanya melihat secara acak sekelilingnya, bulir air bening berkumpul di sudut mata.

"Aku tidak suka di sini, gelap" lirihnya, nino mencoba menggapai gelas di sampingnya. Jemarinya bergerak menghalau selimut yang melilit tubuhnya, darah mulai merembes keluar dari kakinya. Namun nino tidak peduli. "Sesak" tangannya mencengkeram dadanya kuat, memukul nya perlahan.

Infus terlepas, darah berceceran di mana-mana. Nino menggeleng kuat. Dia tidak suka di ruangan itu, gelap, dadanya sesak.

"A-ayah....

Kemudian tubuh nino limbung ke samping, jatuh dari ranjang rumah sakit. Tubuhnya di selimuti dinginnya lantai itu.




.....

"Kapan terapi cucu saya bisa di lakukan?"

Dokter di depannya melihat jadwal di ponselnya, "eum, secepatnya. Besok pun bisa" jawabnya

Kakek mengangguk, beliau menyetujui jika terapinya di lakukan besok. Lebih cepat lebih baik kan?
Kakek tidak sanggup melihat nino yang biasanya cerewet, banyak tingkah dan tengil itu diam seperti patung. Sumpah kakek akan memberi hukuman yang setimpal dengan orang yang sudah membuat cucu tercintanya seperti itu.

"Lakukanlah dengan baik, kau itu dokter yang saya bayar mahal. Ingat itu!" ujar kakek, beliau berjalan angkuh keluar dari ruangan dokter muda itu.

"Sombong!" cibir dokter itu, membereskan peralatannya lalu menyusul keluar. Jadwalnya mengecek pasien, lebih tepatnya pasien kesayangannya.

Dokter itu menyapa setiap orang atau suster yang lewat, beberapa kali membungkuk kecil menyapa dokter senior lain. "Ck. Gayanya norak" gumamnya kala melihat seorang pria berpakaian nyentrik, mungkin saudara pasien lainnya di sini.

Ketika sudah sampai di depan kamar VVIP milik nino, dokter itu membuka pintu dan tersenyum hangat, tetapi senyumannya pudar di gantikan kekhawatiran.

"Ya tuhan, setan kecil!" pekiknya, dia membantu nino bangun lalu membaringkannya di ranjang. Mengobati luka yang kembali terbuka serta meminta suster yang lewat untuk membersihkan darah yang berceceran.

Setelah memastikan nino dalam keadaan baik, barulah dokter itu bisa bernapas lega. Tadi melihat keadaan kacau nino, dokter itu serasa mati rasa di tempat.

"Siapa yang tega melakukan ini padamu" gumamnya, tangan besarnya perlahan mengusap dahi nino. Meringis kecil kala luka-luka kecil tersebar di wajah dan lengan nino, "pasti ayahmu kan biangnya" ujarnya,

"Orang berpengaruh seperti ayahmu memang banyak musuhnya" ocehnya, tangannya tak henti mengusap dahi nino. "Kalau kamu mau tinggal sama dokter seperti ku, aku tak keberatan. Tapi kamu harus membantuku jika kakek tua itu ingin mengambil nyawaku, hah dia benar-benar suka seenaknya" celotehan dokter muda itu semakin menjadi kalau saja nichole, ayah nino tidak datang

"Ya ya, terus saja mengoceh tak jelas seperti itu" ayah menyender di pintu, dokter muda itu mendengus kesal.

"Kenapa om kesini? Kerja bakai kuda sana!!" usirnya

Kurang ajar dokter ini memang. Ayah merolingkan mata malas, sudah biasa mendengar ucapan ketus dari anak angkat papa nya ini. Mentang-mentang sudah bisa mencari uang sendiri.

"Bagaimana perkembangan nino?" tanya ayah, beliau duduk di sofa berseberangan dengan nino

"Fisiknya mulai membaik, beberapa luka di tubuhnya mengering tapi beberapa juga masih basah. Kalau mengenai psikis, buruk"

Ayah mendekati nino yang terlelap karena bius, hah.. Kenapa lagi-lagi malaikat kecilnya yang mengalami ini semua.

"Bukankah ini harus di usut sampai tuntas? Apa sudah ketemu pelakunya" ayah mengangguk, tangan kekar yang ia miliki kian mengerat menggenggam tangan nino,

"ya. Berkat kakeknya dan juga para sahabatnya" jawab ayah

"Setidaknya semua pelaku sudah tertangkap? Siapa mereka?" tanya nya, ayah mengalihkan atensinya pada dokter muda itu,

"Jefri, kau pasti tak percaya ini" ujar ayah

Jefri masih menunggu jawaban dari sang kakak.

"Adam, ayah hanan. Frans, sepupu jauh candra. Hera, ibu kandung dafa. Bukankah itu sebuah kebenaran yang wow untuk nino" ayah menjawab lirih,

"Tidak mungkin" gumam jefri, dia memandang nino yang terlelap, "kenapa harus orang terdekat nino yang terlibat, anak-anak itu tau?" tanya jefri lagi, kini atensinya sepenuhnya melihat ayah

"Aku tidak tau. Aku akan menjauhkan mereka dari nino" final ayah. Bukankah orang terdekat adalah penyebab kesakitan itu ada. Dan tidak bisa di pungkiri ayah takut itu akan terjadi lagi nantinya pada nino atau mino.

"Apa itu tidak egois? Semua ini kan juga karenamu, mereka musuhmu tapi malah menyakiti anakmu!" desis jefri, dia tidak setuju akan keputusan dari nichole.

"Nino pasti setuju dengan keputusanku"

"Karena nino tengah shock, tentu saja dia setuju"

"Aku akan memindahkannya di rumah sakit lain"

Jefri ingin membantah pun rasanya percuma. Membantah nichole tentu saja mengundang singa jantan keluar dari kandang, bisa-bisa dia hanya tinggal nama.

"Halo semua, lukas gamteng dan ezra sedikit gamteng di sini" ayah mendengus melihat tubuh bongsor lukas di depan pintu, "kok aku sedikit. Harusnya lebih dong" ujar ezra tak terima,

Lukas mendesis lirih, "terima aja sih kak, ngomel teros" katanya

"Ngapain kamu di sini?" ketus ayah, "hehehe, om jangan gitu dong" lukas mendekat pada nino, mengecup dahinya sekilas.

"Apa? Salah ya mencium sahabat sendiri?" tanya lukas polos. "Jauh-jauh dari nino, orang seperti kamu itu pembawa virus" ujar ayah, mengusap bekas ciuman sekilas lukas di dahi nino. Lalu menggantinya dengan kecupan miliknya

"Hehe, om nichole cemburu ya?" ujar lukas. Ayah bergidik ngeri melihatnya, emang nggak waras anak satu ini, pikirnya

"Dasar gila" gumam jefri

"Nino tidur ya Yah?" tanya ezra, "ya, baru saja" jawab dokter muda jefri, "aku nanya sama ayah aku dok" balas ezra tak suka

"Sama aja sih" jawab jefri

"Kalian jaga nino sementara ya, ada yang ingin kami diskusikan" pamit ayah, jefri mengikuti langkahnya untuk keluar.

"Jangan khawatir om, nono aman sama orang gamteng macam kita"

Nino is NinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang