"Pagi dunia!" seru nino
Hening
"Kok diem?" tanya nino
"Kamu nyapa duniamu. Bukan kita" jawab ayah. Ezra menahan tawanya supaya tak meledak pagi-pagi seperti ini, perdebatan kecil antara ayah dan anak itu membuat perutnya tergelitik geli karena gemas
Nino mendekat sambil menatap ayahnya nyalang, ayahnya memang tidak pernah pro jika dengan dirinya. Dia memilih duduk di samping ezra, tepat di depan ibu tirinya. Nino mengambil roti selai coklat, lalu memakannya brutal.
"Pelan-pelan. Keselek mampus" celetuk mino, tangannya sibuk menggaet koper besar di tangan kanan dan kirinya. "Ngapain lo di sini?" heran nino
Setaunya, mino itu mau tinggal secara permanen di apartemen. Kenapa sekarang malah membawa koper sebesar itu ke rumah.
"Lo buta?!" ketus mino.
"Kalo gue buta semua bakal tak nampak, termasuk lo" dengus nino.
Mino mengabaikan ucapan nino, dia sibuk sama barang bawannya. Sekali-kali desisan sebal terlontar di bilah bibirnya. Nino dan yang lain cuma melihatnya, lagian mino nya juga diem aja. Nggak minta bantuan sama sekali, mana sudi nino menawarinya tenaga.
Ayah menghela napas kasar, ezra menatap bingung ayah barunya. Dia segera mengalihkan tatapannya kala ayah membalas melihatnya, ezra berpura-pura sibuk sama ponselnya. Ayah mendengus--
"Nino, kapan kamu berangkat sekolah?" nino mengendik bahu acuh, "dua hari lagi. Padahal liburnya kurang panjang" gumamnya
"Mulai sekarang kamu berangkat dengan mino." seru ayah, itu malah seperti sebuah perintah.
Ayahnya tidak suka di bantah, dan terkhusus untuk nino tentu saja berbeda konteksnya.
"Dan ayah tidak menerima nilaimu semakin memerah atau bulat besar seperti telur" ujar ayah
"Ayah selesai" beliau mengambil jas yang tersampir di kursi, dan juga tas kerja nya yang tergeletak di sofa ruang tamu. Nino menggumam malas, dia pikir ayah tidak akan mengungkit soal nilai sekolah lagi. Lantaran beberapa hari ini ayahnya tidak pernah menanyakannya.
Nino membelalak, sialan. Dia lupa tujuannya dengan si ayah. "Mampus, mana ayah ada kepentingan di luar kota kan ma?" tanya nino
"Iya. Tiga atau empat hari, kenapa?"
"Ada yang perlu di diskusiin sama nino, ma aku nambah dong selainya" kata ezra
"Emang apa yang mau di diskusiin?" tau-tau mino sudah duduk di sebelah nino, turut mengambil roti selai yang sudah di siapkan khusus untuknya, tanpa kacang. "Cerita ke gue dong" ujarnya
Ezra mengunyah sembari melirik nino yang diam, mungkin berpikir dulu sebelum mulai berbicara hal yang serius dengan mino.
"Bukan apa-apa, cuma soal fisika. Ga penting juga sih"
"Ohh, kalah ya?"
"Gak usah di bahas" ucap nino, "nanti make mobil lo aja yang warna merah kalo ke sekolah, gue takut terjadi sesuatu kalo make mobil gue" ungkap mino
Ezra meneliti setiap ekspresi yang keduanya umbar, tidak sedikit pun sepercik cemburu. Malahan tatapan mino yang sekarang biasa saja, begitu pula nino. Atau mereka menyembunyikannya karena berada di kediaman ayahnya. Sewaktu-waktu jika ayah tau mereka bisa mengelak. Hm. Ezra jadi makin bingung, atau mungkin saja mino punya kepribadian ganda. Bisa jadi juga itu--
Dia menggeleng kan kepalanya pelan, menghalau asumsi ngawur yang melintas di pikirannya. Mereka berdua saudara, manusiawi jika bertengkar atau mengibarkan bendera perang. Lagian ezra hanya orang asing bagi mereka, untuk sementara ini. Karena dia berniat menempel terus pada ezra atau mino. Ezra ingin tau sifat keduanya.
"Aku ke kamar" pamit ezra. Dia mengelap sekitaran mulutnya menggunakan tissue, dia segera beranjak dari duduknya. Sedikit melirik pada mino. Tipe acuh tak acuh, pikirnya
"Kakak sialan mau ikut gue ke rumah hanan gak?" tanya nino. Dia menatap ezra, "ya. Bangunkan aku. Dan satu lagi, jangan panggil kakak sialan. Sial!!" ujar ezra ketus
"Ya ya, kakak sialan sial bisa pergi" seru nino
"Bocah tengik" gumam ezra
Mino menatap interaksi mereka lekat, dia beralih melihat ibu tirinya yang memandang ke nino dan ezra gemas. Tanpa sadar mino memegang erat roti yang di pegangnya, dia menghembuskan napas. Tersenyum tipis kala tatapannya bersibobrok dengan ibu tirinya, yang mana di sambut baik oleh ibu tirinya.
"Aku selesai. Ma, aku pinjam ponsel mama tiri ya?" pekik nino, karena jaraknya dengan si ibu tiri lumayan jauh. "Iya. Ambil aja di kamar" balas ibu tiri sambil berteriak dari ruang tamu
......
"Kenal nggak? Aku kepingin tinggal di sini, dari pada di apartemen"
'Mino ya? Sepertinya pernah dengar, tapi lupa aku'
Ezra menghela napas kasar.
"Tanyain coba sama yang lain. Bukannya mino pernah dekat sama beni?"
'Ohh, oke. Bentar ya-- BEN, LO KENAL MINO GAK? YANG PERNAH LO AJAK KE RUMAH GUE!!"
Ezra fokus mendengar perbincangan kedua temannya di seberang sana, ezra yakin mino itu tidak sebaik yang ayah dan nino kira. Mungkin saja dia selama ini menyembunyikan sifat bejatnya di balik wajah tenangnya itu.
'Kau pasti nggak percaya sama yang di bilang beni, ezra mending kau balik ke sini cepat. Kita ke apartemenmu buat cerita siapa mino itu. Kita tunggu besok ya'
"Apa nggak bisa lewat ponsel? Gimana ya, aku udah ada janji besok"
'Ini penting. Kalo nggak mau sih ya nggak papa, berarti kau tunggu kita pulang dari kampung. Beni mau jenguk ayahnya yang sakit, besok terakhir kita di kampus'
"Oke. Besok gue ke sana"
Pip pip
Ezra menarik napasnya dalam. Ya, dia besok harus pulang demi nino dan mino yang sebenarnya. Mino itu cukup misterius, kata ezra. Ezra nggak tau aja kepergiannya membuat seseorang menjadi sial karena sedari awal mereka telah ada janji pergi. Dan lagi, tidak ada yang tau kan siapa saja yang tidak suka dengan ayah nino. "Jika mereka tidak suka dengan ayah, itu bisa berimbas ke nino atau mino juga kan" gumamnya
Ezra menarik gorden jendela agar sinar mentari yang berwarna kuning keemasan bisa masuk ke kamarnya, "tingkahku sudah seperti detektif saja, padahal aku belum lama mengenal mereka. Kenapa aku berlebihan seperti ini" gumam ezra lagi
KAMU SEDANG MEMBACA
Nino is Nino
Short StoryBROTHERSHIP👉not romance❌ [Follow dulu baru baca! Key👌] Baik nino maupun ayahnya memiliki cara yang unik untuk menyampaikan kasih sayang mereka, lika liku kehidupan nino yang selalu membuat ayahnya mempunyai tempramen tinggi.