part tigambilan

5.9K 532 12
                                    

"Oh sialan! Jadi nino udah keluar dari rumah sakit dok?"

"Hm, nino bisa memulihkan tenaganya di rumah. Tidak perlu di rumah sakit" kata dokter. Tangannya sibuk membolak balikkan sebuah buku panduan

"Apa gue bilang, nino itu udah pulang"

"Diem lo!"

Kamal menggeleng melihat dafa yang uring-uringan di depan ruangan VIP milik nino. Kamal udah coba jelasin ke dafa kalo nino udah out, tapi dia nggak percaya. Ya terserah.

"Kita susul mereka ke rumah nino, kak febri dan yang lain juga baru tau dari lukas" dafa menoleh ke kamal, meminta penjelasan lebih padanya. "Lukas tau karena yang terakhir bersama nino itu dia, sekarang kita cabut. Gak usah nanya-nanya lagi!" jelas kamal

Dafa menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa ponselnya harus hancur tepat ketika dia bertukar pesan pada hanan, ponselnya di lempar oleh ibunya karena emosi. Tentu saja dafa marah, namun kemarahan itu meredam karena ibunya menyebutkan sebuah nama yang paling dafa jaga.

"Lo mau kaya gini terus daf?"

"Gue nggak tau. Pusing" keluh dafa

"Kalau nino tau, dia nggak bakal diem aja. Pasti nino akan berbuat sesuatu"

"Makanya gue nggak mau dia sampe tau, gue cerita ke lo karena gue tau lo nggak akan ember ke yang lain"

Kamal mengangguk. Dia melihat dafa yang nyetir dari samping. Dafa emang kelihatannya adalah orang yang bersih dari masalah menurut mereka, namun siapa sangka dia lah orang yang sebenarnya harus di tolong. Apalagi itu melibatkan hubungan persahabatan mereka.

"Terus kapan lo mau jujur sama ibu lo?"

"Ibu gue nggak bakal dengerin semua penjelasan gue, maunya di denger dan maunya gue nurut. Gue muak"

"Ibu lo masih nggak suka ya sama nino?"

Dafa mengusak surainya kasar, jika ibunya tidak melibatkan sahabatnya mungkin dafa bisa mentolerir kelakuan ibu-ibu itu. Tapi ibunya sampai mengancamnya ke hal-hal yang menjerumus kriminal. Mana mungkin dafa diam saja, apalagi nino adalah orang tersayangnya setelah ayahnya.

"Kalau gue udah siap, gue bakal cerita ke nino. Gue bakal berusaha ngomong ke ibu juga, kalau sekarang ini belum waktunya. Nino belum sembuh total, gue gak mau bebanin pikiran dia"

Emang nggak salah kamal join sama mereka, sifat solidaritas mereka sangat tinggi. Tidak memandang status, terbuka satu sama lain. Haruskah kamal ikut tinggal dengan johny? Dia juga sendirian di apartemen, keluarganya ada di benua lain.

"Dafa, lo kemana aja sih. Nggak ada kabar" johny menyambut hangat dafa dan kamal yang baru datang, begitu pun mereka. "Kamal.. Lo udah makan?" kamal mengangguk. Dia udah makan sama dafa sebelum menjenguk nino,

"Nino lagi istirahat di kamarnya. Dia harus banyak istirahat" nato menjawab kebingungan yang di alami kamal

"Ini cuma perasaan gue aja atau lo keliatan lebih murung" hanan berucap lantang. Sengaja, biar semua sahabatnya mendengar. Kan kane tuh melihat dafa gugup..

"Perasaan lo aja kali, tadi pas dia nyusul gue di apartemen, dafa emang lebih banyak diem" kamal buka bicara.

"Kalo lo punya masalah bicara ke kita. Jangan diem aja" candra menyahut dari lantai atas, "kita sahabat, saudara dan keluarga inget itu!" lukas menimpali ucapan candra

"Gue emang lagi bad mood, bukan masalah besar sampe kalian sibuk ikut campur" balas dafa

Hanan mendengus tak suka. Kok seolah dafa itu meremehkan kepedulian mereka, kan niatnya baik. "Kok nada suara lo sinis gitu?" hanan buka suara, dia menatap tak suka presensi dafa

"Kenapa lo yang sewot? Menurut gue dafa biasa aja tuh" kamal membela

"Tuhkan. Kalian berdua punya masalah apa sih? Cerita sama kita" desak candra, kakinya melangkah turun dengan tergesa, mengabaikan teriakan panik dari lukas

"Ini kenapa malah berantem gini. Lo kamal dan dafa, Kalo kalian nggak mau cerita sama kita nggak masalah tapi jangan lampiasin emosi kalian ke kita. Dan untuk hanan, jangan selalu berpatok sama nada suara orang lain. Bisa salah paham nanti" irwan selaku yang tertua menasehati, hanan diam. Kamal diam. Semua diam.

"Rame begini ada tontonan menarik?" ayah muncul dari pintu utama bersama istrinya, sepasang suami istri itu mendekat pada anak muda yang tengah berdebat, "selesaikan urusan kalian dengan kepala dingin. Saya nggak mau nino terbangun gara-gara keributan yang kalian ciptakan" kata ayah

"Kalian mau minum coklat panas? Tante bisa minta pembantu buatkan untuk kalian"

"Nggak usah tan, kita sebentar lagi pulang kok. Udah malem gini" tolak johny secara halus, nggak enak juga malem-malem masih di kediaman orang

"Titip salam buat nino ya tante" ucap febri

Mereka membungkuk sopan pada orang tua nino, ayah cuma natap datar doang. "Kalian nggak pamit sama nino langsung?" kata ayah

Mereka menggeleng. "Baguslah. Rumah ini lebih baik sepi seperti ini" lanjut ayah,

Lukas sengaja berdehem keras. Bermaksud membuat ayah mengalihkan atensi padanya, malahan pelototan tajam yang ayah layangkan.

"Peace om" ucap lukas

Setelah kepergian semua teman nino, ayah dan istrinya duduk nyaman di sofa. Mereka baru saja mengadakan meeting dengan kolega bisnis cafe yang nino punya, ada penawaran bagus untuk perkembangan cafe itu. Sebab itu ayah tidak pernah terlihat di rumah sakit. Ayah terlalu sibuk menata masa depan nino

"Mereka seumuran dengan anakku"

"Kenapa dia tidak tinggal bersama kita?" tanya ayah

"Dia tidak mau pindah kampus. Padahal sudah pasti terjamin masa depannya jika tinggal di sini, dia juga tidak sabar bertemu nino tapi waktu yang menjadi penghalang"

"Padahal aku ingin mereka akrab, tentu saja  bersama mino juga" gumam ayah

Wanita itu mendengar gumaman ayah yang pelan seperti bisikan, namun diam saja. Lebih baik menjadi pengamat saja dari pada ikut terseret dalam drama picisan ayah dan anak itu. Menjadi figuran tidak apa kok, kan emang dia tidak terlalu banyak dialog nya nanti.

Nino is NinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang