part mapuluhlima

5.2K 460 25
                                    

Pria bertubuh kekar berdiri di depan pintu ruang inap milik nino, jemarinya ragu untuk membuka pintu itu. Sebab dirinya sadar, hanya dengan melihat nino terdiam dengan binar kekosongannya membuatnya sesak. Nino, si penebar semangatnya tidak lagi tersenyum tengil lagi. Tidak lagi menyebalkan. Tidak lagi menyambutnya dengan gerutuan khas nya

Ayah mengintip di celah pintu yang sedikit terbuka, nino sedang menatap lurus ke depan. Memainkan bucket bunga dari mommy nya. Tidak ada seorang pun yang menemaninya, semenjak nino tersadar dari pengaruh bius dia mulai menutup diri. Pendiam serta merespon seadanya.

Mino dan ezra melihat ayahnya terdiam kaku di depan pintu, mereka menghampiri ayah. "Ayah, kenapa nggak masuk?" tanya ezra

Mino membuka pintu itu, nino hanya melirik sebentar kemudian kembali pada kegiatannya semula. Ayah duduk di samping nino, mengusap helaian rambutnya yang menjuntai mengenai poninya.

"Nino, lihat,,, aku bawa apa? Komik terbaru dong" kata ezra, dia mengeluarkan koleksi komik favoritenya. Berharap nino mau menatap usahanya, namun lagi-lagi nino mengabaikannya. Ezra menghela napas lelah, nino mulai berubah. "Dan gue bawa buku diary" ujar mino

"Gue gak butuh." meskipun suara nino seperti bisikan, mereka masih bisa mendengarnya. Ayah mendongak, melihat tatapan nino yang tak berubah, tetap kosong.

Kemudian suara berisik dari luar terdengar, satu persatu sahabat nino masuk. Candra dan lukas menenteng sebuah keranjang buah, kemudian nato psp game. Johny dan irwan  membawa coklat. Zian hanya koleksi figure papa zola. Terakhir masuk adalah febri, dia membawa jam tangan label rolex.

"Kami datang nono~" ujar candra

Mereka merusuh, mengoceh hal-hal yang tak bisa di pahami ezra dan juga mino.

"Gue kupasin buahnya yak!!" ujar lukas, dia mengambil sebuah pisau kecil di sakunya.

Nino melihatnya, bagaimana tangan itu mengelupas kulit apel. Tubuh nya gemetar, nino memejamkan matanya. Dia tidak tau, kenapa tubuhnya seakan merespon apa yang di lakukan lukas. Nino ingin berbicara namun bibirnya terkatup dalam, kepalanya menoleh pada johny, namun dia tidak mengerti. Nino takut. Perih. Sakit.
Nino menggelengkan kepalanya gusar.

"Kepalamu sakit? Sini gue pijit" ujar johny

Nino semakin menjauh dari jangkauan johny, dia seakan melihat kuku tajam di sana. Nino memeluk tubuhnya sendiri, mencengkeram kepalanya kuat.

"Jangan....sakit...nino nggak salah, aku nggak salah, jangan,,,

Nino menepis tangan-tangan yang mulai menggerayangi tubuhnya, air matanya mengalir. Isakan kecil berubah teriakan histeris, nino berteriak takut. Melempar apa saja yang ada di dekatnya,

"Panggil dokter" ujar febri, lukas mengangguk dia keluar bersama nato.

"Nino, ini ayah. Ayah di sini"

"Jangan pegang. Sakit...

Kemudian dokter memasuki ruangan nino bersama seorang suster, dia mengusir pemuda yang ada di dalam. Namun mereka tak mau, dokter itu hanya mengangguk. Mulai memeriksa nino, walaupun di tepis berkali-kali.

"JANGAN SENTUH. SAKIT...

"Nino tenang okey. Di sini ada ayah, ada kakakmu. Tidak ada yang bisa menyakiti nino, tenanglah"

Dokter itu menyuntik nino, memberikan obat penenang agar nino tak mengamuk lagi. "Jangan sentuh,, sakit,,
Ucap nino di tengah kesadarannya yang mulai menipis. Menatap ayahnya dengan tatapan mata sendu, yang tak pernah dia perlihatkan pada siapapun. 

Dokter itu menghela napas, menatap satu persatu orang di dalam.

"Kalian lihat? Nino trauma terhadap benda tajam, atau sesuatu yang membahayakannya, jangan ingatkan atau memperlihatkan benda yang bisa membuat emosinya tidak terkontrol" ungkap sang dokter

"Apa adik saya akan terus seperti ini dokter?" tanya mino

"Tidak. Nino bisa sembuh dengan terapi" jawabnya

"Jika itu yang terbaik, maka lakukan. Buat anakku sembuh seperti sedia kala" ucap ayah,

"dan kalian harus menemaninya, jangan biarkan nino sendirian. Bayangan dia di siksa akan terus berputar di otaknya setiap saat" kata dokter itu.

Ayah mengangguk. Beliau berjalan mendekati nino yang tertidur, wajahnya pucat pasi dan beberapa luka belum sepenuhnya sembuh. Jemari ayah menyusuri pahatan sempurna dari Tuhan, tatapan bak anak anjingnya tak lagi ayah bisa lihat.

"Jangan takut. Ayah di sini" bisik ayah, kemudian langkah kaki ayah menjauh dari ruangan. Keluar dengan gaya angkuhnya, tapi sekarang yang mereka lihat wajah itu hanya topeng semata guna menyembunyikan kesedihannya.

"Om nic, menyedihkan bukan?" tanya lukas, "iya. Hanya nino yang bisa membuatnya seperti itu" balas candra,

Plak

Sontak lukas memegangi kepalanya yang kena pukulan kejam dari febri, mengaduh kesakitan kala tangan itu kembali melayangkan pukulan padanya.

"Diam saja mulut kotormu itu!!" umpat mino, "cih. Sensi amat sih, jingan" dengus lukas

"Kak mino mungkin iri" kata nato, "dengan keadaan begini masih iri? Dasar sinting!" umpat candra

Mino mendengus kesal. Mulut dan pikiran ketiga orang itu memang tak pernah beres, dari mana coba nino mendapatkan teman seperti ini? Membuat sakit matanya saja.

"Kalian pulang saja sana, besok kalian harus sekolah" intrupsi ezra, dia melihat wajah semua sahabat nino. Kurang satu orang--

"Hanan kemana? Sama dua orang lainnya?" tanya ezra, membuat mino mengernyitkan dahinya. "Bener juga, tumbenan si hanan tidak ikut. Biasanya selalu hadir dimana pun dan kapanpun" sambarnya

"Ada urusan keluarga kak, hanan cuma nitip salam" jawab johny, "kalo dafa, dia lagi ngurus ibunya di lapas" timpal irwan

"Kalo kamal, dia ikut ayahnya pindah ke luar kota" kata johny, "em, baru kemarin sih. Tapi, dia juga nitip salam buat nino" tambahnya,

"Kalo gitu kami pamit ya kak, permisi" ucap febri sopan. Ezra mengangguk, sedangkan mino mendengus lagi--

"Kalian nggak pamit sama gue?"

"Gak penting!" sembur lukas

"Sialan!" desis mino

Nino is NinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang