Dreams

730 90 40
                                    

           

Semua orang pasti pernah atau mempunyai mimpi. Apalagi cita-cita. Mimpi Plan itu tidak neko-neko kok. Yang muluk-muluk saja. Ia hanya ingin keberadaannya dianggap ada oleh orang lain tanpa menyakiti perasaannya. Tapi kenapa rasanya begitu berat dan susah buat mereka.

Kalau boleh jujur, Plan juga tidak ingin terlahir seperti itu. Ia kalau boleh memilih ia pasti ingin terlahir sempurna seperti kebanyakan orang lainnya. 

Tampan, kaya dan juga banyak teman. Tapi apalah daya, Plan sendiri tidak memiliki ketiga itu. 

Jangankan tampan. Bagaimana mau tampan kalau dia terlahir dengan wajah pas-pasan. Hanya tubuhnya yang gempal itu yang bisa dia banggakan. Bahkan dia juga memakai kacamata minus. 

Gemuk terus pakai kacamata minus, anda bisa bayangkan bagaimana nasib orang seperti itu. Pasti di bully habis-habisan setiap harinya.

Kaya, apalagi. Plan sendiri bahkan jauh dari kata kaya. Hidupnya sehari-hari saja pas-pasan. Kadang uang bulanannya tidak cukup untuk membutuhi kebutuhannya setiap bulannya karena Plan sendiri juga mempunyai tanggung jawab di rumah.

Plan harus membayar uang sekolah adiknya setiap bulannya. Demi sang adik, Plan bahkan rela dikata-katai oleh orang setiap harinya.

Plan tidak hanya bekerja di kantor milik Phiravich. Saat berangkat ke kantor, Plan bahkan sekalian mengantar susu dan koran dari rumah ke rumah setiap harinya untuk menambah uang sekolah sang adik.

Plan bahkan tidak kenal yang namanya malu atau lelah. Itu sudah menjadi makanannya setiap harinya. Apalagi dikatain gendut dan miskin oleh orang yang melihatnya. Itu sudah biasa.

Bagi Plan, yang penting dia bekerja dan tidak merepotkan orang lain itu sudah cukup. Karena prioritasnya adalah sang adik, Perth.

Banyak teman. Itu paling Plan benci. Tidak ada orang yang mau berteman dengannya karena melihat tubuhnya yang gemuk. Kebanyakan dari mereka hanya baik kepada Plan saat membutuhkan bantuannya saja.

Bagaimana bisa punya teman sedangkan dari jauh yang melihat Plan saja sudah diteriaki gemuk atau diketawain oleh orang-orang. Jadi Plan hanya menganggap apa yang mereka katakan bagaikan angin lewat.

Marah, kesal, Plan hanya mampu memendamnya dalam hati saja. Tidak ada yang akan peduli padanya sekalipun dia menangis. Jangankan simpati, mereka justru hanya akan meledeknya habis-habisan karena dikatain cengeng dan hanya bikin malu saja.

Jadi jalan satu-satunya adalah tetap kuat walaupun sebenarnya dia lemah. Hanya itu cara Plan membuktikan kepada orang-orang yang menganggapnya remeh selama ini agar mereka tidak memandangnya sebelah mata.

"Phi, apa kau sedang sibuk?" tanya Perth saat melihat Plan tengah menyusun pakaian yang baru saja selesai di lipatnya.

"Tidak. Kenapa?" Plan duduk di dekat ranjangnya dan Perth pun ikut duduk di sampingnya.

"Besok 'kan libur. Apa aku boleh pergi bersama temanku?" tanya Perth penuh harap.

"Apa kau mau kencan?" Perth tampak malu-malu saat ditanya seperti itu oleh kakaknya. Namun tidak lama kemudian dia pun mengangguk.

"Wah, rupanya adik phi sudah besar rupanya," goda Plan sambil mengacak surai rambut Perth.

"Terima kasih, phi," Perth langsung memeluk tubuh kakaknya karena terlalu senang.

Plan dan Perth hanya tinggal berdua. Kedua orang tua mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan saat sedang pergi bekerja. Jadilah Plan sebagai tulang punggung keluarga untuk adik semata wayangnya.

Plan tersenyum saat melihat Perth sudah keluar dari kamarnya. Tidak terasa adik kecilnya sudah tumbuh besar sekarang. Sebentar lagi adiknya itu sudah akan masuk kuliah dan dia harus bekerja lebih keras lagi. Untung perusahaan tempatnya bekerja baru saja menaikan pangkatnya menjadi sekretaris seorang pria tampan yang bernama Mean Phiravich.

Oneshoot (Meanplan_Tincan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang