Setelah pulangnya dari meeting, Ammar meminta Pamir untuk mengantarkannya langsung ke sekolah Shaqil. Pamir pun mengiyakan dan mereka langsung menuju ke sekolahnya Shaqil.
Sesampainya disana, Pamir langsung melihat jam tangannya, "Ini masih jam setengah 4. Nggak kecepatan?" Ammar menggeleng, "Tidak apa." Ucapnya lalu membuka pintu mobil lalu turun. Sebelum Ammar menutup kembali pintu, Pamir berteriak, "Tunggu! Mau aku temenin gak?" Ammar menundukkan kepalanya, "It's fine bro. Dah pulang gih. Ga butuh lagi." Ucap Ammar lalu tertawa. Pamir pun hanya tersenyum malas. Ia pun berpamitan lalu meninggalkan Ammar.
Ammar lalu melihat mobil Pamir hingga menghilang dari penglihatan, kemudian ia lanjutkan untuk masuk ke dalam sekolahnya Shaqil dan memilih untuk ke masjid dan melakukan ibadah shalat Ashar. Setelahnya ia pun menunggu untuk beberapa saat di halaman masjidnya.
Sudah bermenit berlalu, ketika ia hendak memasang sepatunya ia mendengar suara tepakan kaki berjalan tepat di belakangnya. Namun Ammar masih tetap melanjutkan untuk memasang sepatunya saja tidak mau melihat siapa itu. Namun tak lama kemudian, ia mencium wangi yang sepertinya baru saja ia cium hari ini. Tapi ia tidak ingat ini wanginya siapa dan dimana ia menciumnya.
Ketika ia sudah selesai memasang sepatunya, ia pun bersiap untuk berdiri. Barulah orang yang tadi menyapa Ammar, "Pak Ammar?" Ammar langsung melihat sumber suara dan sedikit terkejut. "Ibu Dilsha? Ada keperluan apa ibu kesini?"
Dilsha tersenyum namun ia tidak mau menatap mata lawan bicaranya berlama - lama, "Jemput keponakan saya, jadi shalat dulu karena belum waktunya pulang." Ammar mengangguk - angguk. Tak lama suara dering bel sekolah pun berbunyi. Ammar dan Dilsha pun berpamitan. Ammar berjalan menuju kelasnya Shaqil dan Dilsha berjalan menuju kelas keponakannya.
Begitu bahagianya Shaqil ketika ia melihat ayahnya yang menjemput kali ini. Karena biasanya yang berdiri di depan kelasnya adalah Sukru. "Papa yang jemput?" Ammar mengangguk lalu membantu Shaqil untuk membawa bekala sekolahnya, "Tapi kita tetap sama Sukru, ya. Karena papa enggak bawa mobil hari ini." Shaqil mengangguk lalu menggenggam tangannya Ammar, "Ayo papa kita pulang."
Ammar mengangguk dan langsung menelfon Sukru yang ternyata sudah sampai. Mereka pun langsung ke mobil dan sudah disambut oleh Sukru dengan senyuman khasnya, "Sore den Shaqil."
Shaqil tersenyum tipis, "Sore Sukru." Sukru langsung mengambil tas sekolahnya Shaqil dan membukakan pintu untuk Shaqil dan Ammar. Setelahnya, ia lalu berjalan menuju kursi kemudinya dan menaruh tas - tasnya Shaqil di kursi penumpang depan.
"Shaqil hari ini mau ikut papa ke kantor atau mau langsung pulang ke rumah?"
Shaqil terdiam sebentar.
"Kalau Shaqil pulang dulu untuk mandi baru Shaqil ke kantor papa lagi, boleh?"
Ammar mengangguk, "Shaqil ada PR?""Ada papa." Ammar langsung tersenyum melihat anaknya yang sedikit kesal karena ada tugas rumah yang harus diselesaikan. "Yaudah, Shaqil pulang dulu baru nanti ke kantor papa lagi ya. Kita kerjain sama - sama PR nya Shaqil, oke?" Shaqil mengangguk menyetujui.
***
"Razi lapar enggak? Atau Razi mau apa? Biar Bunda beliin" Tanya Dilsha ke Razi, anak dari abangnya yang pertama. FYI, Dilsha memiliki tiga orang abang. Dia adalah anak bungsu. Sehingga terkadang abang - abangnya selalu minta tolong ke Dilsha untuk menjemput atau sekedar mengawasi anak mereka di rumah. Sehingga para keponakannya Dilsha pada manggil dirinya dengan sebutan bunda. Karena Dilsha udah seperti ibunya mereka. Derita anak bungsu, wee.
"Razi mau pulang aja bunda. Razi capek." Dilsha tersenyum mendengarnya lalu mengangguk, "Baiklah. Kita pulang ya." Razi mengangguk dengan pipinya bulat itu.
Sesampainya saja di pagar rumah, mereka sudah disambut dengan suara tangisan anak kecil. Siapa lagi kalau bukan para krucil - krucil itu. Dilsha membantu membawakan tas Razi yang sudah sangat kelelahan akibat sekolah nya full day. Mereka berdua pun masuk. Sungguh seperti kapal pecah sudah rumah ini.
Dilsha langsung berjongkok ketika Amel, keponakannya juga yang menangis histeris. "Sayang, Amel kenapa?" Tanya Dilsha dengan lembut. Amel yang masih berumur 2 tahun memberi lihat Dilsha jarinya yang memerah, "Yaampun ini kenapa, sayang?"
Amel menunjuk Sadrina, yang merupakan sepupunya. "Diinjak, bunda." Ucapnya lirih. Dilsha merasa kasihan ia langsung merangkul Amel dan mengusap - usap dengan perlahan jarinya, "Cepat sembuh, cepat sembuh, cepat sembuh." Ucap Dilsha lalu ia tiup dengan perlahan, "Udah hilang sakitnya. Kakak Sadrina nya nggak sengaja keinjak tangan Amel." Alya mengangguk.
"Yaudah, sekarang Amel main lagi ya sama kak Sadrina. Bunda mau mandi dulu, ok?" Amel mengangguk lalu dengan perlahan bermain kembali dengan Sadrinna.
***
"Papa enam dibagi tiga hasilnya dua kan, papa?" Tanya Shaqil kepada Ammar yang sedang mendesain sebuah sepatu heels untuk new collection brand mereka. "Iya Shaqil."
Shaqil lalu melanjutkan kembali pekerjaan rumahnya. Namun tak lama ia bertanya kembali kepada ayahnya, "Papa, papa. Tujuh dikali tiga sama dengan dua puluh satu, ya?" Ammar kembali menjawabnya dengan lembut dan melihat sekilas anaknya, "iya sayang." Ucapnya lalu kembali berfokus ke pekerjaannya.
Shaqil hanya menatap ayahnya yang juga sedang fokus ke pekerjaannya. Ia merasa bersalah dan memilih untuk mendatangin kursi ayahnya, "Papa."
Ammar meletakkan pensilnya, memutar kursinya, dan memangku Shaqil di pahanya, "Ada apa sayang?""Shaqil kesini buat papa terganggu ya kerjanya?" Ammar langsung menggeleng. Karena benar nyatanya, ia tidak merasa terganggu sama sekali walaupun Shaqil bertanya berapa kali pun. "Siapa yang bilang? Enggak Shaqil." Ucapnya lembut.
"Soalnya Shaqil kalau lagi ngerjain sesuatu juga nggak suka digangguin papa. Jadi Shaqil takut ngeganggu papa." Ammar tersenyum melihat anaknya. Ia pun mencium anaknya lalu memeluknya, "Shaqil nggak ganggu papa kok. Ayo kita kerjain dulu PR nya Shaqil." Ucapnya lalu mereka berdua berjalan menuju meja tamu yang digunakan Shaqil untuk mengerjakan PR nya.
Dengan sabar dan perlahan Ammar mengajarkan Shaqil bagaimana cara berhitung dan bagaimana cara ia dapat menuliskannya dengan rapi agar dapat dengan jelas terlihat angkanya. Ammar harus berkorban seperti ini. Karena Shaqil masih kecil dan sangat sangat masih membutuhkan perhatian.
***
Jangan lupa untuk vomment yaa wee!💙🧡
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kindest Thing
RomanceMenjadi seorang single daddy bukanlah pekara yang mudah. Membesarkan, mendidik, dan mengasuh anak semata wayangnya, Shaqil Tashanlar ditengah - tengah pekerjaannya sebagai CEO di suatu perusahaan sepatu yang ia rintis bersama sahabatnya dari kuliah...