Ammar sudah memulai kembali aktivitasnya di kantor dengan seperti biasanya. Ia pun berjalan menuju ke ruangannya dan tak sengaja berpapasan dengan Pamir yang juga hendak ke ruangannya sendiri. Ammar menatap Pamir begitu pula dengan Pamir. Diam seribu bahasa, namun tersirat antarkalbu. Ammar lalu memeluk Pamir, "Maafkan aku, Pamir." Pamir menitikkan air matanya dan mengangguk. Sungguh berkelahi dengan sahabat sendiri sangat - sangat menguras jiwa dan raga.
"Maafkan aku juga, Am." Ammar mengangguk dan menepuk - nepuk punggung tubuh Pamir. Ammar melepaskan pelukannya, "Kerja yang baik. Nasib para buruh terselamatkan, karena mu Pamir." Pamir menggeleng dan tertawa, "Ya walaupun dengan cara yang salah." Jokesnya. Ammar pun tertawa dan merangkul Pamir.
Dilsha yang baru saja keluar dari lift, tercengang melihat keduanya berangkul ria. Dilsha tersenyum dan bersyukur, akhirnya mereka berdua sudah baikan dan dapat melanjutkan proses kolaborasi mereka. Dilsha pun berjalan di belakang mereka dan bersama - sama menuju ruangan Ammar.
Ketika Ammar hendak menutup pintu ruangan kerjanya, Dilsha langsung menahan pintu dan mendorong masuk. Ammar dan Pamir berbalik arah. Namun yang satu sudah tersenyum menggatal dan yang satunya hanya tersenyum kecil. "Selamat pagi ibu Dilsha. Mau ikut kami rangkulan juga?" Tanya Pamir lalu tertawa. Dilsha tersenyum dan menggeleng, "Tidak perlu. Saya hanya mampir dan mau memberitahu, dua minggu lagi kita akan melakukan photoshoot."
Pamir menatap Ammar. Ammar mengangguk, "Bagus, baik. Kami akan carikan model yang bertalenta." Dilsha mengangguk, "Kalau begitu, saya permisi." Pamir mengangguk lalu melambaikan tangannya, "Hati - hati ibu Dilsha." Pamir lalu melihat Ammar, "Masyaallah banget ya Am?" Ammar menatap Pamir tersenyum lalu menggeleng - gelengkan kepalanya.
***
Pekerjaan sudah sangat menggilakan belakangan ini, karena sibuk dengan prep kolaborasi. Hal ini membuat Dilsha sampai lupa waktu dan melupakan dirinya untuk menjemput keponakannya di sekolah. "Astaga! Razi!" Dilsha langsung menyusun semua dokumen di mejanya, mengambil pursenya dan berjalan cepat menuju parkiran sembari melihat arlojinya. Ia langsung menancap gas dengan sebisa mungkin dengan kecepatan yang masih dalam kendali.
Tak butuh waktu yang lama, Dilsha dapat menjangkau sekolahnya Razi dalam waktu 20 menit dan langsung memarkirkan mobilnya lalu berlari kecil menuju kelasnya. Sekolahan sudah mulai sepi. Hanya tersisa beberapa orang anak saja yang masih belum dijemput. Biasanya ketika Dilsha menjemput, masih ramai anak - anak bermain bola di pekarangan sekolah. Namun sekarang sudah sangat sepi sekali.
Dilsha mencari Razi di dalam kelasnya, namun ia tidak menjumpai Razi. Ia cari ke kantin, ke kamar mandi namun nihil. Dilsha pun berhenti sebentar di depan sebuah kelas untuk menelfon abangnya. Dilsha diam sejenak sembari menetralkan laju pernafasan yang sudah ngos-ngosan. "Halo abang, Razi udah pulang?"
Disebrang sana Dipta terdiam sebentar, "Hari ini Razi pulang jam 2, Dilsha." Dilsha menepuk jidatnya. Kenapa sih dengan dirinya hari ini? "Ohya. Syukurlah kalau gitu. Dilsha matiin ya bang telefonnya." Ia pun memutuskan sambungan telefonnya dan ia masukkan kembali mobile phonenya ke dalam tas. Ketika ia hendak berjalan kembali, ia melihat seorang anak kecil yang beralaskakikan sandal berjalan tepat di depannya, sehingga Dilsha mendadak berhenti. Ia pun memerhatikan anak itu masuk ke dalam kelas lalu duduk dan hanya menatap jemarinya. Dilsha kenal dia siapa. Ia pun memilih untuk menghampirinya.
"Shaqil? Kok belum pulang?"
Shaqil sedikit terkejut lalu tersenyum dan menggeleng, "Sukru belum datang, tante." Dilsha mengangguk, "Boleh tante duduk disini?" Shaqil mengangguk dan memperbaiki duduknya."Shaqil darimana? Kok pakai sandal?"
"Shaqil baru shalat tadi tante." Dilsha membulatkan matanya kagum. Masyaallah sekali ucapan Shaqil barusan. Jarang sekali anak sepertinya yang berumur tujuh tahun seperti Shaqil ini sudah tau dan menjaga shalatnya. Seketika ia memuji Ammar dalam hatinya karena ia mampu mengajarkan hal seperti ini kepada anaknya.
"Tante temani ya?"
Shaqil mengangguk. Mereka berdua pun duduk berdiam diri hingga Dilsha berdiri dan mengajak Shaqil untuk membeli roti yang memang jualan di depan sekolah Shaqil. "Shaqil mau roti yang mana?""Shaqil boleh dua tante?" Dilsha tersenyum lebar dan mengelus kepala Shaqil, "Boleh, pilih aja yang Shaqil mau." Shaqil pun menunjuk roti yang ia mau. Dilsha juga membeli satu untuk dirinya, karena ia lupa makan siang sehingga perutnya sudah nyeri sekali. Ketika selesai, mereka pun makan di depan kelas Shaqil saja, karena lebih banyak angin sepoy sore hari.
"Enak?"
Shaqil mengangguk semangat. "Terima kasih ya tante." Dilsha tersenyum dan mengangguk, "Iya sama - sama sayang." Ucapnya dengan halus. Mereka pun melanjutkan makannya yang diselingin tanya jawab.
Dua puluh menit telah berlalu, barulah Ammar datang dengan berlari yang dimana setelan kemeja sudah ia gulung lengannya dan kancing dua buah dari atas sudah tak terkancing namun masih memberikan kesan rapi. Ia langsung disungguhkan pemandangan Shaqil dengan Dilsha tertawa bersama. Entah mengapa, refleks Ammar tersenyum melihat keduanya. Ia lalu menjumpai mereka.
"Ibu Dilsha." Dilsha yang masih tertawa bersama Shaqil menoleh ke orang yang memanggil namanya. Ammar tertegun. Pertama kalinya ia melihat Dilsha tertawa selepas ini. Dilsha mengalihkan pandangannya dari Ammar untuk menatap Shaqil, "Nah, papanya Shaqil udah jemput." Shaqil mengangguk lalu mengambil tas serta sepatu yang masih ada di dalam kelas.
Ammar berjalan mendekat, "Terima kasih bu Dilsha sudah menemani Shaqil hingga saya datang." Dilsha tersenyum, "Terima kasih kembali, karena dengan adanya Shaqil saya merasa tidak terlalu sia - sia untuk datang kesini."
Ammar mencerna kalimat yang diutarakan Dilsha barusan.
"Saya tidak tau bahwa keponakan saya hari ini tidak les." Jelas Dilsha agar Ammar tidak salah mengartikan. Ammar mengangguk dan tak lama Shaqil keluar kembali dan berjalan ke Ammar, "Terima kasih tante udah nemanin Shaqil sampai dijemput dan rotinya tante." Dilsha tersenyum dan mengangguk. Dilsha pun melambaikan tangannya ke Shaqil ketika ia berjalan dengan Ammar untuk kembali ke mobil mereka.
Shaqil menatap ayahnya yang sedang dalam perjalanan menuju mobil, "Kok papa yang jemput?" Ammar mengangguk, "Istrinya Sukru tiba - tiba sakit. Jadi ia harus merawat istrinya." Shaqil mengangguk.
"Maafkan papa ya sayang, papa terlambat jemputnya." Shaqil tersenyum ke ayahnya setelah ia duduk di mobil kursi penumpang depan, "Enggak apa - apa papa." Ammar juga tersenyum dan menutup pintu mobil lalu berlari ke kursi kemudinya lalu menancapkan gas menuju rumahnya.
***
Jangan lupa untuk vomment yaa wee!
💙🧡
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kindest Thing
RomanceMenjadi seorang single daddy bukanlah pekara yang mudah. Membesarkan, mendidik, dan mengasuh anak semata wayangnya, Shaqil Tashanlar ditengah - tengah pekerjaannya sebagai CEO di suatu perusahaan sepatu yang ia rintis bersama sahabatnya dari kuliah...