20 - Tidak Usah Papa..

2.6K 218 1
                                    

Ammar langsung memegang wajah Shaqil yang sudah berdarah di pelipisnya dan membiru di tulang pipinya. "Astagfirullah nak, Shaqil kenapa bisa seperti ini?" Ammar benar - benar khawatir dan sedikit gemetar ketika memegang wajah anaknya. Shaqil menangis dan memeluk ayahnya, "Shaqil enggak suka papa, kalau Shaqil diejek anak haram. Karena Shaqil enggak punya ibu." Ammar sangat - sangat tertegun mendengarkannya. Ammar marah. Benar - benar marah. Ingin sekali ia meninju orang tua temannya Shaqil ini, sebagai peringatan untuk lebih mendidik anaknya dalam berucap.

Tapi yang Ammar lakukan sekarang adalah hanya berjongkok dan memeluk Shaqil. "Shaqil punya ibu. Shaqil bukan anak haram. Shaqil anak kandungnya papa Ammar." Bisik Ammar dengan lembut untuk menenangkan Shaqil. Ammar pun melepaskan pelukannya dan menghapus air mata Shaqil. Gurunya yang berdiri sedari tadi, terbawa perasaan melihat Ammar dan Shaqil.

"Tapi Shaqil berbesar hati Pak, untuk meminta maaf duluan karena emang Shaqil yang pertama meninju temannya dan berakhir berkelahi." Ammar mengangguk dan mengelus rambut Shaqil. "Bisa saya menemui anak itu, Bu?" Shaqil langsung menarik tangan Ammar, "Tidak usah papa. Kita pulang aja. Pipi Shaqil ngilu." Ammar menatap Shaqil lalu ibu gurunya dan menghela nafasnya. "Kalau begitu kami permisi, Bu. Maaf anak saya telah membuat kerusuhan." Guru Shaqil mengangguk, "Tidak apa Pak. Cepat sembuh Shaqil." Shaqil menggangguk .

Ammar dan Shaqil pun berpamitan dan berjalan bersama berpegang tangan di sepanjang lorong sekolahnya menuju parkiran mobil. Sesampainya di mobil, Ammar langsung menancap gas ke rumahnya. Dan sepanjang perjalanan, Ammar berkali untuk memerhatikan Shaqil yang hanya menatap keluar jendela.

***

Ammar mengambil kotak p3k bersama dengan sebuah minyak untuk ia sapukan di tulang pipi Shaqil. Ammar duduk di pinggir sofa dan langsung menaruh obat di luka pelipis Shaqil. "Shaqil tadi udah cuci mukanya kan?" Shaqil mengangguk dan Ammar pun melanjutkan aksinya. Perlahan ia menaruh obat di luka Shaqil dan menyapukan tulang pipi Shaqil dengan minyak khusus lebam.

Shaqil sedikit meringis, karena ini benar - benar ngilu. Tapi Ammar tetap menyapukan dengan perlahan agar darahnya tidak membeku dan tidak jendul akhirnya, "Shaqil harus tahan dulu ya. Biar dia nggak mengeras memarnya."

Setelah selesai Ammar mengecek kembali luka pelipis Shaqil. Darahnya berhenti. Yang berarti tidak perlu ke dokter untuk dijahit. Ammar lalu berdiri dan membereskan semua obat dan minyak lebamnya. Setelah semuanya beres, Ammar kembali mengecek Shaqil. "Shaqil mau makan? Minum?" Shaqil menggeleng, "Shaqil mau lihat foto mama Shaqil boleh papa?"

Ammar terdiam dan menatap anaknya itu. Lama ia terdiam dan akhirnya ia mengangguk. Ammar mengambilkan sebuah album foto buatan ia sendiri. Ia desain kertasnya sendiri dan ia lengketkan foto kenangan lalu ia jadikan sebuah album foto. Shaqil sedikit bersemangat ketika Ammar sudah kembali dengan sebuah album foto ditangannya. Ammar pun membuka album foto itu bersama dengan Shaqil.

Shaqil memerhatikan wajahnya sewaktu kecil dan tersenyum. Ammar yang melihat Shaqil pun ikut tersenyum.

"Mama Shaqil sekarang kemana papa?"

Ammar menarik nafasnya lalu ia buang dengan tenang, "Papa sama mama bercerai. Mama mengizinkan papa untuk menjaga dan merawat kamu." Shaqil mengedipkan matanya sendu, "Kenapa papa bercerai?" Ammar hanya mengelus kepala Shaqil, "Nanti papa akan jelaskan ketika kamu sudah mulai mengerti." Shaqil mengangguk dan menutup album fotonya lalu ia beri ke Ammar."Shaqil mau tidur dulu ya pa. Tapi disini aja, ya pa?"

Ammar mengangguk dan membiarkan Shaqil untuk tidur di sofa ruang keluarga. Sebelum Ammar pergi ke kamarnya, ia memerhatikan anaknya, Ammar menghela napasnya lalu pergi berbersih diri.

***

Ammar yang masih menggunakan apron berlari kecil untuk cepat membuka pintu ketika sebuah bell rumahnya berdering. Ammar melihatnya dari lubang kecil lalu membuka pintunya, "Pamir? Bu Dilsha? Nihan?"

Pamir tersenyum dengan membawa sekeranjang buah dan Dilsha membawa sepaket cokelat sedang Nihan hanya tersenyum ke Ammar. "Kami datang untuk Shaqil. Izinkan kami masuk." Ucap Pamir. Ammar mengangguk dan memberi jalan untuk mereka.

Pamir langsung mendatangin Shaqil yang berbaring sambil menonton televisi. Dilsha dan Nihan pun ikut melihat kondisi Shaqil. "Anak om, udah enakan kan?" Shaqil mengangguk dan duduk. Pamir memerhatikan wajah Shaqil, "Tapi kalau om lihat, Shaqil jago banget gak sih? Sampai luka begini. Berarti berantem beneran!" Nihan memukul Pamir dan tersenyum, "Jangan ajarkan yang tidak - tidak, Pak." Desis Nihan. Pamir langsung terdiam dan tersadar lalu tersenyum ke Shaqil.

Dilsha merasa kasihan pun duduk di samping Shaqil, "Shaqil kenapa bisa berantem sayang?" Shaqil melihat wajah Dilsha yang menenangkan itu. Ia lalu memeluk Dilsha, "Shaqil diejek anak haram karena Shaqil enggak ada mama." Dilsha tertegun dan menatap Pamir serta Nihan bergantian. Deep. Sekali. Mendengarkannya.

Dilsha mengerti perasaan dan mental Shaqil saat ini. Ia pun mengelus kepala Shaqil dan merangkulnya. Ia tidak bisa berkata apapun. Karena suasana jadi sedih, Nihan pun beraksi. Ia berjongkok dan menyodorkan paket cokelat dari ia dan Dilsha. "Shaqil mau cokelat? Ini dari saya dan tante Dilsha. Cokelat bisa mood kita baikan loh!"

Shaqil melepaskan pelukannya dan membenarkan duduknya dan menerima paket cokelat itu dari Nihan, "Terima kasih tante." Nihan  mengangguk. Tak lama Ammar datang dari arah dapur, "Ayo kita makan malam dulu. Saya baru masak."

Pamir langsung berdiri semangat, "Pas sekali. Ayo kita makan malam dulu Shaqil. Baru makan cokelatnya." Shaqil mengangguk dan ikut berjalan menuju dapur. Begitu juga dengan Dilsha dan Nihan.

Ammar membuka Apronnya lalu ia gantung di tempatnya kembali dan bergabung kembali dengan mereka yang sudah duduk dikursi makan. Ammar pun memerhatikan mereka satu per satu. "Kenapa? Ayo dimakan." Ammar tertawa kecil melihat mereka.

Setelah Ammar berucap, barulah mereka mengambil makanannya dan mulai memakan. Nihan membulatkan matanya ketika ia merasakan sup dan ayam kukus yang empuk. Nihan menggelengkan kepalanya. "Asli ini enak banget. Pak Ammar yang masak sendiri?" Ammar yang bergantian menyuapi dirinya dan menyuapi Shaqil mengangguk tersenyum. Nihan melirik Dilsha yang terdiam sembari menikmati makannya, "Enak sekali ya bu?" Dilsha hanya tersenyum ke Nihan.

Nihan sedikit kesal. Mengapa dua orang yang ia tanya, dua - duanya hanya tersenyum atau tidak yang satu lagi hanya mengangguk ditambah senyuman. Ketika Nihan melihat Pamir, Pamir auto tersenyum lebar. "Sebelum kamu nanya saya, masakan Ammar selalu enak." Nihan semakin kesal. Padahal Nihan tidak ada niatan untuk bertanya ke Pamir. Malah sekarang giliran Nihan yang mengangguk dan tersenyum.

***

Pamir, Dilsha dan Nihan menunggu Ammar yang sedang memberikan obat ke Shaqil karena mereka ingin berpamitan. Mereka bertiga pun hanya menatap ke arah Ammar. "Bertahun - tahun Ammar seperti ini. Sayang betul ia sama anaknya. Salut saya ngelihatnya." Nihan mengangguk menyetujui perkataan Pamir. Sedang Dilsha hanya diam menyimak.

"Jadi dulu waktu kecil, Shaqil sama siapa, Pak?" Tanya Nihan.

"Dulu kalau Ammar kerja, Shaqil yang masih berumur 3 tahun diasuh sama istrinya Sukru, supirnya Ammar." Jelas Pamir. Dan Nihan pun hanya mengangguk - angguk. Inilah definisi membicarakan orang tepat dibelakang orangnya sendiri.

Setelah selesai, Ammar kembali ke mereka dan menghantarkan mereka hingga ke depan pintu utama. "Terima kasih sudah repot untuk datang menjenguk." Ammar tersenyum sedikit lebar. "Ah mana ada repot - repot. Awalnya aku ama Nihan aja yang jenguk. Terus singgah ke kantor bu Dilsha untuk ngajak liburan kita." Jelas Pamir.

"Terus enggak tau kenapa bu Dilsha nanya kita mau kemana. Jadi kami ajak dan bu Dilsha ikut deh." Sambung Nihan. Ammar mengangguk.

"Terima kasih juga, pak Ammar atas jamuannya. Kami pamit." Ucap Dilsha. Ammar menjawab dengan sebuah anggukan juga. Mereka bertiga pun pamit dan menuju ke masing - masing mobil mereka. Tapi beda dengan Nihan, ia menumpang dengan Dilsha karena emang satu jalan. Dan Ammar menunggu mereka hingga mobil mereka tidak terlihat oleh pandangannya.

***
Jangan lupa untuk vomment yaa wee!
💙🧡

The Kindest ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang