"Abang Dipta mau beli sepatu kolaborasi kita tapi maunya langsung tanpa menunggu." Dilsha menyelesaikan satu kalimatnya dengan cepat. Ia lalu memejamkan matanya dalam. Memalukan sekali abangnya ini. Dari semalam, ia tidak kunjung berhenti untuk mempermalukan adiknya di depan seorang Ammar.
Ammar tertawa kecil, "Ah Dipta, ah. Untuk istrinya pasti. Bucinnya masih encer banget sampai sekarang." Dilsha hanya tersenyum terpaksa karena wajahnya sudah sangat tebal sekali saat ini. Ammar langsung mendial Zubehir yang masih di kantor untuk membawakan sepasang sepatu yang sudah di packed dengan utuh.
Tak lama Zubehir pun masuk dengan membawa 10 kotak sepatu dengan masing - masing berbeda warna dan ukuran. Ammar memandangnya dengan sedikit terkejut, karena ia hanya meminta dibawakan sepasang saja, tapi kenapa jadi banyak?
"Maafkan saya pak Ammar. Sebelum bapak bertanya mengapa saya membawa semua ini, karena saya tidak tau ukuran, warna, dan jenis mana yang bapak minta. Sehingga saya bopong semua ini pak." Ammar berdiri dan tersenyum, "Maafkan saya juga lupa. Ukuran berapa bu Dilsha?"
"Ukuran 38 warna gold."
Zubehir pun mencari sesuai dengan intruksi yang diberikan Dilsha. Tapi tampaknya, dari 10 kotak sepatu yang ia bawa tak satu pun ada yang sesuai dengan permintaan Dilsha. "Pak Ammar, bu Dilsha. Saya izin sebentar. Sepatu nya yang warna gold lupa saya bawa. Akan segera kembali." Ucapnya dengan ligat ia bawa 10 kotak sepatu itu kembali ke luar ruangan. Ammar dan Dilsha tertawa kecil melihat kelakuan Zubehir.
Hanya memerlukan 2 menit saja, Zubehir sudah kembali dengan sepatu yang sesuai dengan permintaan Dilsha dan ia serahkan ke Ammar. "Baik, terima kasih Zubehir." Zubehir hanya tersenyum sumringah lalu keluar dari ruangan Ammar. "Ini bu Dilsha pesanan Dipta." Ammar memberikannya ke Dilsha, Dilsha pun mengambilnya dari tangan Ammar.
"Terima kasih, pak Ammar. Pembayarannya sudah saya transfer." Dilsha menatap kotak sepatunya, lalu melanjutkan ucapannya, "Maafkan saya ya Pak. Saya malu." Dilsha menundukkan kepalanya dan tersenyum menahan malu. Ah gemas sekali Dilsha! Ammar hanya tertawa, "Tidak apa, bu Dilsha. Dipta emang sering buat malu. Saya udah sering ngerasainnya." Dilsha tertawa lalu permisi. Ammar pun mengantarkan Dilsha hingga ke depan pintu ruangannya. Ketika Dilsha sudah keluar, Ammar menutup pintunya sembari menatap pintu dan mencoba menyelaraskan pikiran dan hatinya saat ini.
***
Dilsha menutup pintu mobilnya dengan siku, karena kedua tangannya sudah penuh hanya untuk membawa sebuah kotak sepatu pesanan abangnya itu. Dengan langkah yang sedikit ia hentak, ia masuk ke dalam rumah. Tak perlu langkah yang lebih jauh lagi, ternyata abangnya itu, si Dipta sudah duduk di meja makan sambil berseluncur di sosial medianya.
"Ini nih, pesananmu bang."
Dipta menoleh dan langsung tersenyum sumringah, "Ah adekku, terima kasih banyak!" Ia lalu mengambil kotak sepatu tersebut dan menatap Dilsha yang sangat kesal sudah. "Kenapa gitu mukanya? Atau emang gitu sebenarnya?"
Dilsha semakin membulatkan matanya kesal, "Abang! Aku itu malu banget, banget, banget!" Gemas Dilsha. Dipta hanya tertawa, "Thank me later." Ucap Dipta dengan nada percaya dirinya dan membawa kota sepatu itu lalu pergi. Baru saja dilangkah ke delapan, Dipta kembali lagi dan memberikan kotak sepatu itu ke Dilsha, "Simpan dulu. Besok abang ambil. Ok?" Dipta sedikit menunggu sahutan ok dari bibir Dilsha. Tapi karena Dilsha tak kunjung jawab, Dipta mencubit gemas dagu adiknya itu, "Ok." Jawab Dipta untuk melengkapi pertanyaan Dipta tadi lalu pergi meninggalkan Dilsha.
Dilsha pun yang sudah sedikit mereda, pergi ke kamarnya dan meletakkan kotak sepatu itu bersama dengan kotak sepatu lainnya. Ia meletakkan kotak itu tepat diatas kotak sepatu yang diberikan Ammar dua hari silam. Dilsha mengambil kembali kotak itu dan meletakkan kotak sepatu pesanan Dipta itu.
Bahkan ia lupa untuk menaruh ke rak sepatu yang diberikan Ammar ini untuk acara fashion show waktu lalu itu. Ia pun membuka kotaknya lalu mengambil sepatunya. Ia lihat dengan detail sepatu tersebut. "Laki tapi jago desain sepatu heels. Interesting." Dilsha tersenyum lalu ia beri bersih sepatu itu dan ia taruh bersama dengan sepatu lainnya di closet sepatunya.
Setelah mengurus sepatu bersama kotak - kotaknya, Dilsha pun mengurus dirinya dengan membersihkan tubuh, kulit dan wajahnya dan setelahnya menunaikan shalat isya' lalu tidur.
***
Pamir mengetuk pintu ruangan Ammar dan membukanya sedikit sehingga hanya kepalanya saja lah yang muncul dari celah pintu yang terbuka itu. Ammar hanya melirik lalu ia fokuskan kembali ke pekerjaannya. Merasa dikacangin, Pamir pun masuk dengan wajah cemberutnya. Ammar hanya tersenyum melihatnya, "Kenapa?" Tanya Ammar.
"Bu Dilsha dilamar orang." Ammar langsung menatap Pamir dan wajahnya benar - benar langsung sedih banget dong. Pamir yang melihatnya hanya menahan tawanya tapi ini benar - benar tak tertahankan dan berakhir meledak tawaannya. Ammar langsung menghela nafasnya dan menggelengkan kepalanya.
Pamir langsung memukul meja dan menatap lekat mata Ammar dan membacanya. "Seorang Ammar jatuh hati kah?" Ammar yang awalnya membiarkan Pamir membaca matanya, langsung ia alihkan pandangannya. "Ammar, jawab Am." Pamir tertawa menyeringai ke wajah Ammar. Ammar hanya tersenyum dan menjauhkan wajah Pamir dari hadapannya. "Cukup, udah udah." Ucap Ammar. Pamir langsung berjalan ke sofa sambil menatap Ammar terus. Ammar pun menatap Pamir juga.
"Ammar, yang seriuslah. Kau suka kan sama bu Dilsha?" Ucap Pamir dengan sedikit hopeless dengan ekspetasinya sendiri. "Kok elu sih yang semangat banget kalau gue suka Dilsha?"
"Iyakan? Iyakan? Iya!" Pamir berdiri dan menyimpulkan dirinya sendiri bahwa Ammar menyukai Dilsha. "Pam, duduk." Pamir yang awalnya sedikit berjoget ria langsung kembali sadar dan duduk. "Ada hal apa kemari selain Dilsha?" Pamir menautkan kedua alisnya dan berpikir. Benar untuk apa dia ke ruangan Ammar. Lama ia mengingat, barulah ia tau apa tujuan ia kemari. "Ha! Kita kan udah selesai kolab ni ya, liburan bareng yuk? Sama Cypruz squad."
Ammar menimang - nimang tawaran dari Pamir, "Kapan mau perginya?"
"Weekend ini aja. Perginya sabtu pulang minggu. Ke villa aku aja yang di puncak." Ammar mengangguk setuju, "Oke. Kabarin ke yang lainnya." Pamir mengangkat jempolnya dan langsung keluar ruangan Ammar untuk menyampaikan berita jalan - jalan ini.
Sedang Ammar kembali ke kerjaannya. Selang beberapa saat kemudian Ammar menerima telefon yang masuk ke mobile phonenya tanpa melihat nama siapa orang yang menelfonnya, karena tatapannya hanya berfokus ke laptopnya, "Hallo."
"Selamat siang pak Ammar, apakah bisa bapak ke sekolah sekarang?" Tanya seorang guru disebrang jaringan. "Apa yang terjadi, bu?"
"Shaqil berkelahi dengan temannya pak." Ammar panik lalu mematikan sambungan telefonnya dan auto bergerak langsung ke sekolah Shaqil. Dan untungnya hari ini ia membawa kendaraan sendiri, sehingga bisa lebih cepat ia ke sekolahnya Shaqil.
***
Jangan lupa untuk vomment yaa wee!
💫🤎
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kindest Thing
RomanceMenjadi seorang single daddy bukanlah pekara yang mudah. Membesarkan, mendidik, dan mengasuh anak semata wayangnya, Shaqil Tashanlar ditengah - tengah pekerjaannya sebagai CEO di suatu perusahaan sepatu yang ia rintis bersama sahabatnya dari kuliah...