12 - Urgent.

2.6K 243 5
                                    

Dilsha melihat arlojinya ketika ia baru saja sampai di lantai ruangan Ammar. Dengan tergesa - gesa ia langsung masuk ke ruangan Ammar, namun Nihan dengan cepat memanggil Dilsha, "Bu Dilsha, pak Ammar hari ini tidak masuk ke kantor." Dilsha menarik nafasnya panjang.  Bagaimana bisa disaat seperti ini Ammar tidak masuk ke kantornya, sedang ia mengubah desain sepatu dengan segampang itu tanpa berkoordinasi apapun denganku? Batin Dilsha.

"Lalu kapan dan dimana saya bisa menjumpai beliau, sekarang?" Tanya Dilsha dengan nada yang sudah sangat ia pertahankan kelembutannya agar ia tidak meluapkan amarahnya ke Nihan. Nihan pun tersenyum, "Tadi pak Ammar mengabari bahwa ia sedang dirumah ibunya-"

"Messages sekarang alamatnya dan hubungin Ammar. Saya segera ke sana." Nihan gelagapan dan masih ingin melanjutkan kalimatnya yang diinterupsi Dilsha, "Aduh bagaimana nih, pak Ammar kan nggak suka kalau ia sedang dirumah orang tuanya diganggu sama urusan kerjaan." Ucapnya Nihan dengan menggenggam telefonnnya yang masih bimbang apakah ia akan mengabari Ammar atau tidak.

Memantapkan hati adalah salah satu cara yang harus Nihan lakukan saat ini. Ketika sambungan diangkat Nihan sedikit terkejut karena Ammar tidak pernah mau mengangkat telefon apapun saat ia bersama dengan orang tuanya. Tapi sekarang malah Ammar angkat.

"Nihan, jangan bercanda. Cepat katakan." Ucap tegas Ammar dari seberang suara. Nihan dengan sedikit gopoh, "Bu Dilsha sedang menuju ke sana pak. Urgent matters pak." Ammar bukan menjawab malah menutup saluran telefonnya yang membuat Nihan menelan salivanya dengan berat, "Meninggal kita." Ucapnya lalu menepuk jidatnya.

***

Berulang kali Dilsha melakukan many times check bukan lagi sekedar double atau triple check alamat yang diberikan Nihan via messages. Merasa putus asa, ia pun memberanikan diri untuk turun dari mobilnya dan mengetuk pintu rumah tersebut. Sekali, tidak kunjung dibuka. Yang kedua kali, pintu terbuka dan keluarlah seorang wanita paruh baya dan tersenyum, "Ada yang bisa saya bantu?" Tanya wanita tersebut.

Dilsha yang baru saja disambut langsung mencium punggung tangan wanita itu dengan santun, karena ia segan lawan bicaranya sangat tua dan lebih terhormat. Sehingga Dilsha mencium punggung tangan wanita tersebut. "Permisi Ibu, apakah benar pak Ammar ada disini?" Tanya Dilsha dengan santun dan wanita tersebut mengangguk. "Silahkan masuk, Ammar sedang mencuci piring. Akan saya panggilkan." Tertegun. Seorang Ammar mencuci piring?

"Silahkan masuk, nak." Ucap Esma ketika Dilsha tidak kunjung masuk juga. Dilsha tersadar dari lamunannya dan langsung masuk ke dalam lalu duduk sambil menunggu Ammar.

Tak lama Ammar pun menyambut Dilsha dengan baju dan celana yang ia pakai sedikit basah, "Bu Dilsha, maaf kalau saya menyambutnya dengan kondisi seperti ini." Dilsha hanya mengangguk. "Ada keperluan apa?" Tanya Ammar dengan memperbaiki duduknya.

Dilsha langsung point her finger up, ketika mengingat apa tujuannya kesini. Ia mengeluarkan desain bajunya lalu ia letak dengan baik diatas meja kayu tua. Ammar pun mengambilnya dan memerhatikannya. Tidak ada yang berubah seingat pemikirannya. "Maaf, tapi ini tidak ada yang berubah sepertinya." Ucap Ammar dan Dilsha pin tersenyum, "Lalu mengapa Anda mengubah desain sepatu, tanpa berkoordinasi, pak Ammar." Ammar tertawa kecil dan Dilsha langsung terdiam. Mengapa disaat seperti ini Ammar tertawa?

"Desain sepatu yang kemarin sudah dijual, sama CFO kami untuk membiayai apa yang masih terutang. Jadi saya harus mendesain ulang, agar desain sepatu kami tidak sama dengan perusahaan yang membeli desain kami."

Dilsha mengangguk, "Jadi ini alasan kaca kemarin pecah pak Ammar?" Ammar mengangguk sembari melihat luka yang sudah tidak diperban lagi. Karena menurut Ammar, nyemak saja ditangannya ketika mau mandi, desain, makan jadi terhambat.

Ammar mengeluarkan mobile phonenya untuk menunjukkan Dilsha desain terbarunya dan Dilsha memerhatikannya dengan seksama. Lalu ia bandingkan dengan desain baju miliknya. Bravo. Pikirnya. Masih sangat cocok - cocok saja pikir Dilsha. Malah lebih bagus ini kebanding desain yang pertama.

"Design by?"

Ammar tersenyum, "Saya sendiri." Dilsha menengadahkan kepalanya dan melihat lawan bicaranya, "Dalam waktu satu malam, Anda mendesain dua sepatu ini?" Ammar mengangguk, "Saya tidak masuk hari ini, karena mau beristirahat setelah memakan jam tidur saya." Dilsha meletakkan mobile phone Ammar dan menatap Ammar yang dimana Ammar sedang menatap buku jarinya. "Maafkanlah. Tidak baik berada dihubungan seperti ini dengan orang yang udah dianggap saudara sendiri." Ammar mengangguk membenarkan ucapan Dilsha.

"Besok saya akan meminta maaf." Dilsha hanya mengangguk lalu membereskan kertas desainnya lalu ia masukkan ke dalam tasnya. Namun ketika ia hendak berdiri, Esma datang dengan membawa sepiring pie untuk Dilsha, "Dimakan dulu nak, tadi ibu buat pie." Ucap Esma yang tersenyum dengan Dilsha. Dilsha pun tersenyum lembut dan mengambil piring yang disodorkan Esma lalu menatap Ammar. Ammar yang tak sengaja eye-contact, langsung menatap ke arah pie saja. Segan rasanya menatap Dilsha terlalu lama.

Dilsha pun duduk kembali dan menghabiskan pienya. Sepanjang ia makan, Esma hanya bertanya hal - hal dasar tentang dirinya. Sedang Ammar hanya duduk dan mendengarkan alur percakapan ini yang terkadang ia selingin dengan senyuman dan tawaan kecil. Ketika selesai, Dilsha pun pamit dan berterima kasih kepada Esma lalu mencium punggung tangan Esma dengan santun. "Berhati - hati nak." Dilsha mengangguk. "Saya pamit, assalamualaikum." Ucap Dilsha yang sekilas melihat Ammar dan Ammar pun menjawab salamnya dengan pelan sambil mengantarkannya sampai keluar pintu. Setelah Dilsha masuk dan mengendari mobilnya, Ammar menutup kembali pintunya dan langsung melihat Esma yang tersenyum penuh harap ke Ammar.

"Mungkin dia Ammar, orangnya." Ammar tersenyum dan merangkul tubuh Esma.

***
Jangan lupa untuk vomment yaa wee!
🧡💙

The Kindest ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang