"Ammar, kita nggak bisa produksi tiga macam sepatu sekaligus." Ucap Pamir setelah ia melihat desain - desain sepatu yang indah tersebut. Ammar menatap Pamir, "Apa yang terjadi, Pamir?" Pamir menatap sahabatnya itu. "Lima puluh orang buruh pabrik kita udah nggak digaji sebulan ini, yang langsung maupun enggak langsung , Ammar."
"Dan kita juga nggak bisa langsung mecat mereka, karena kau tau sendiri Ammar, talenta mereka, kinerja mereka, kegigihan mereka. Perlu diacungin jempol."
Ammar mengangguk sambil memikirkan solusinya. Lama ia berdiam, namun solusi tidak kunjung datang. Begitulah yang namanya solusi. Kadang ia tidak bisa datang disaat yang terlalu dipaksakan. "Beri aku waktu untuk berpikir, Pamir." Pamir mengangguk lalu keluar dari ruangan Ammar.
***
Sedang asik menyantap makan siangnya di sebuah cafe, seseorang menarik kursi yang ada di depannya dan ikut bergabung secara tiba - tiba bersama Pamir. Pamir menengadahkan kepalanya dan sungguh terkejut! Ia adalah Deniz Aslanov, anak dari seorang desainer sepatu yang terkenal bukan main di seluruh dunia, Miran Aslanov. Dan Deniz ini juga mengikuti jejak ayahnya.
"Selamat siang, pak Pamir." Pamir membersihkan bibirnya dengan tisu dan tersenyum, "Siang juga, pak Deniz."
"Mau saya pesankan makan? Tidak enak rasanya kalau hanya saya saja yang makan." Tanya Pamir dan Deniz langsung menggeleng, "Tidak usah, terima kasih. Saya juga tidak akan berlama - lama disini." Pamir sangat berhati - hati untuk mendengarkan setiap ucapan yang keluar dari mulutnya Deniz. Karena silap sedikit, bisa membuat siapapun salah langkah.
"Saya dengar Wales segera memproduksi koleksi terbarunya yang bekerja sama Cypruz." Deniz menatap Pamir dan Pamir tidak mau mengiyakan atau menganggukkan kepalanya. Ia hanya ingin mendengarkan apa kalimat selanjutnya.
"Well, tersendat kendala keuangan." Deniz melengkungkan bibirnya ke bawah yang memberikan kesan seakan - akan 'masalah gitu aja, masa bisa jadi kendala.' "Miris." Ucapnya yang membuat Pamir sedikit emosi. Namun ia redakan kembali, karena mungkin ini adalah hanya ucapan dari seseorang yang toxic yang akan menghancurkan mental dan berakhir pesimis.
"Begini, begini. Saya punya tawaran."
Deniz menengakkan duduknya, "Saya akan membantu keuangan dari produksi, pemasaran, dan gaji buruh."
Deniz mengangkat sebelah alis matanya. Penawaran yang legit. Pamir tidak mau langsung mengambil keputusan. "Tapi," Pamir menelan salivanya ketika mendengar kata tapi terucap dari bibirnya Deniz. Emang sudah pasti, tidak ada istilah makan siang gratis."Hasil desain kalian, untuk saya."
"Yah, hitung - hitung seperti saya membeli hasil karya desain kalian lah."
Lanjutnya. Pamir sedikit emosi sebenarnya. Tapi juga sedikit tergiur mendengar tawaran dari Deniz. "Pikirkan dengan sebaik - baiknya, Pamir. Tawaran akan berlaku hingga kapanpun. Tidak perlu gegabah." Ucapnya lalu pergi berdiri dan meninggalkan Pamir."Apa Ammar harus tau soal tawaran ini?" Pikirannya berkecamuk satu sama lain. Ia pun menggeleng, "Ammar pasti tidak akan setuju." Memang. Ammar pasti tidak akan setuju, karena The Aslanov's merupakan saingannya. Dan ia tidak akan tunduk lemah meminta pertolongan dari pesaingnya sendiri.
***
Dilsha memeriksa kembali anggaran dana yang sudah disusun sedemikian rupa. Sampai saat ini alhamdulillah tidak ada kendala apapun dalam konteks finansial. Ia lalu menutup file tersebut dan menyenderkan punggungnya sejenak untuk rehat. Tak lama sebuah ketukan pintu terdengar, membuat Dilsha duduk tegak kembali. "Masuk."
Gya, sang sekretaris Dilsha masuk dengan raut wajah yang tampaknya membawa sebuah berita buruk. Namun Dilsha memilih untuk diam dan menunggu Gya berbicara.
"Bu Dilsha, kita ada masalah di bahan baku baju kita bu."
"Masalahnya apa, Gya?"
"Impor dari Australia dipindahkan ke India bu, karena ada kesalah teknis sehingga membutuhkan waktu lebih lama bu. Sehingga dana impornya jadi lebih mahal." Dilsha terdiam sejenak. "Beri saya waktu, Gya. Saya akan putuskan segera."
Dilsha berdiri dan berjalan mondar-mandir. Kita dia sudah mantap ia pun membuka pintu ruangannya sembari berdoa, "Ya Allah, semoga keputusan ku ini benar, aamiin." Ia lalu melanjutkan langkahnya dan mendatangin Gya. "Sampaikan ke mereka, jika kualitas nya sama kita setuju. Kalau tidak kita batalkan. Kita ambil kain dari Turki."
"Tapi bu, kain dari Turki lebih-"
Dilsha mengangguk, "Saya tau. Saya punya channel disana. Tapi kamu pastikan dulu yang dari India. Ķabarin saya setelahnya." Ucapnya tegas lalu kembali ke ruangannya.
***
Pamir benar - benar seperti dihantui, diteror oleh Deniz. Baru saja ia mendudukkan dirinya di kursi kerjanya, sebuah message masuk di daftar inbox mobile phonenya. Ia benar - benar dalam keadaan tertekan. Tertekan karna di satu sisi tawaran yang baik untuk melanjutkan produksi dan membayar utang gaji buruh. Namun di satu sisi, untuk apa diterima tawarannya jika itu menghancurkan pertemanan antara ia dengan Ammar.
Ia pun menarik nafasnya dalam sedalam - dalamnya, lalu ia buang. Ia butuh seseorang untuk mengadu cerita. Tapi tidak mungkin rasanya, jika ia bercerita dengan salah seorang yang ada di kantor ini. Sudah sangat jelas satu kantor ini seperti telah ditanam rasa anti terhadap Aslanov's.
Pamir dengan cepat ia bangkit dari duduknya dan segera menemui seseorang yang bisa ia ajak untuk bertukar pendapat.
***
Dilsha menggeleng, "Bagaimana pun juga, Ammar harus tau. Karena ia CEO nya." Pamir sudah yakin akan jawaban Dilsha ini. Ia pasti sama tidak setujunya.
"Lalu saya harus gimana, Dilsha?"
Dilsha diam sejenak dan memikirkan solusinya. Sebenarnya ya, ini tidak ada urusannya dengan dirinya. Namun, ini bersangkutan dengan urusan kolaborasi produk antara dua perusahaan mereka. Jadi, mau tak mau Dilsha juga harus menyelesaikan masalah ini, agar tidak menganggu nantinya di tengah jalan.
"Tidak ada jalan selain berbicara sama Ammarnya sendiri, Pamir."
Pamir menghela nafasnya, "Menurutmu akankah dia menerima tawaran ini?" Dilsha menggeleng.
"Tapi kami juga harus mikirkan para buruh itu yang belum menerima haknya." Ucap Pamir yang hampir menangis memikirkannya. "Pergilah tanya Ammar, Pamir. Itu solusinya."
***
Di mulmed, ada abang Pamir nih🤪
Jangan lupa untuk vomment yaa wee!
🧡💙
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kindest Thing
RomanceMenjadi seorang single daddy bukanlah pekara yang mudah. Membesarkan, mendidik, dan mengasuh anak semata wayangnya, Shaqil Tashanlar ditengah - tengah pekerjaannya sebagai CEO di suatu perusahaan sepatu yang ia rintis bersama sahabatnya dari kuliah...