Baru saja Dilsha sampai dirumahnya, suara para krucil sudah menyambut dirinya dengan suara lengkingan mereka. Dilsha memejamkan matanya. Sungguh, jika ada yang mengatakan bahwa rumah adalah tempatnya untuk beristirahat, maka untuk Dilsha semua itu kosong. Baginya rumah ada tempat para krucil menangis, tertawa, atau bahkan jeritan. Dilsha memegang dahinya dan masuk. Ketika ia masuk, ia semakin keliyengan melihat rumah berantakannya naudzubillah.
Ia berjalan dengan berhati - hati jikalau ada sesuatu yang tumpul maupun runcing mengenai telapak kakinya. For your information aja ini ya, kakinya Dilsha pernah terpijak baling - baling helikopter yang terlepas dari helikopternya, sehingga yang menancap adalah sisi tumpulnya. Bayangkan? Lebih sakit rasanya yang tumpul itu tercucuk daripada yang runcing, menurut Dilsha.
"Sayangnya bunda. Ini kok berantakan banget sih?" Dilsha mengambil satu persatu mainan yang berserakan di lantai tersebut dan ia masukkan ke dalam tempatnya. Razi pun mendatangin Dilsha, "Bunda, biar kami aja yang masukin. Kami masih mau main bunda." Dilsha memberhentikan kegiatannya dan menatap Razi, "Bener ya? Bunda nggak suka lo sama yang namanya berantakan." Razi mengangguk, "Janji bunda." Dilsha mengangguk, "Oke kalau begitu, bunda mau ke atas dan mandi. Jaga adik - adiknya ya." Razi mengangguk dan kembali bermain dengan krucils.
***
"Bunda Dilsha, arti gaya apaan bunda?" Dilsha mengangkat kepalanya karena ia sambil bermain mobile phonenya dan mengambil buku cetak Razi, "Razi sayang, jawabannya itu semua ada disini. Bentar-"
"Haa ini kan dia Razi di halaman 47. Bunda garisin dulu, biar Razi tinggal nyalin." Razi mengangguk. Dilsha pun selesai menggarisbawahinya dan kembali mengecek mobile phonenya untuk melihat email - emailnya. Tak lama tiga orang krucil berlari ke arah mereka berdua sambil kegirangan, "Bunda ada tamu!" Dilsha kebingungan, mengapa mereka ada tamu tapi malah lari dan lompat kegirangan? Apakah ada juga disini yang begitu?
Tak lama Dipta pun berlari untuk membukakan pintu, "Biar abang aja yang buka, temannya abang soalnya." Dilsha yang selak berdiri pun mengambil kerudung instannya dan kembali duduk lesehan bersama Razi untuk membantunya mengerjakan pekerjaan rumah.
"Masuk, masuk Am." Dilsha membulatkan matanya. Am? Ammar maksudnya? Dilsha menggelengkan kepalanya dan kembali mengecek mobile phonenya saja. Namun suara tetaplah suara. Tidak berubah dan terdengar. Entah mengapa ia salah tingkah. Ia lalu beristigfar, "Dilsha lo ini kenapa sih? Nggak boleh, nggak boleh, nggak boleh." Ucapnya sambil menarik nafasnya lalu ia hela.
Amel yang melihat bundanya ini sedikit aneh langsung mencolek Dilsha, "Bunda ngapain?" Dilsha menatap Amel dengan sedikit melotot, "Emang bunda ngapain?" Amel mengangkat kedua tangannya, "Makanya- Amel nanya- bunda." Ucapnya dengan berjeda karena yang berbicara ini hanyalah toddler yang berumur dua tahun.
Disatu sisi, Ammar sedikit penasaran. Apakah Dilsha sedang disini atau tidak. Namun gelagatnya Ammar tetap kentara banget sampai - sampai Dipta menotice bahwa ada sesuatu yang ingin dilihat Ammar. "Am? Ada apa? Nyariin adek gue ya?!" Dipta langsung hendak berlari dan memanggil Dilsha. Namun dengan cepat Ammar menarik tangan Dipta, "Enggak usah buru - buru. Kalau jodoh pasti aku balik kesini lagi, hantaran."
Dipta langsung menoyor kepala Ammar dan tertawa, "Bisa aja lae." Dipta lalu duduk yang diikuti oleh Ammar juga. Lama mereka bercengkrama dan tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ammar lalu berdiri dan berpamitan.
"Masih jam 10 loh ini? Yang benar aja, Am?" Ammar mengernyitkan dahinya, "Lalu kenapa Dip, kalau masih jam 10?"
Dipta berdiri lalu memukul pundak Ammar, "Lo itu dulu pantang pulang sebelum jam 1." Ammar tertawa dan memukul pundaknya Dipta gantian, "Gue dah beranak bro. Fisik pun udah mulai kurang fit." Dipta tertawa, "Eh tapi kalau di ranjang masih bisa fit kan?" Dipta tertawa keras dan Ammar pun juga tertawa. Ya sebenarnya candaan ini sedikit menyinggung, namun Ammar masih ditahapan bisa mentolerir perkataan Dipta."Udahan deh, gue mau pulang dulu. Bokap nyokap lu mana?" Dipta melihat ke belakang untuk memastikan dimana kedua orang tuanya saat ini. "Udah di kamar kali. Kenapa?" Ammar menggeleng, "Mau pamitan. Yaudah deh, gue pamit ya."
"Eh- eh tunggu. Tapi ada Dilsha tuh. Nggak mau pamitan?" Ammar memasang gestur seakan berpikir, "Enggak usah deh, nanti malah rindu jadinya." Canda Ammar lalu kepalanya ditoyor sama Dipta. "Bener ucapan lu. Mending pulang sekarang deh." Ammar terbahak mendengarkannya lalu berpamitan.
***
Sehabis pulang dari rumah Dipta, Ammar memarkirkan mobilnya, mengunci garasi, lalu melepaskan sepatunya dan ia taruh di rak. Setelahnya Ammar pun berjalan ke atas untuk mengecek Shaqil. Perlahan ia buka pintu kamar Shaqil dan ternyata sudah gelap yang menandakan Shaqil sudah terlelap.
Ammar menghidupkan lampu kamarnya Shaqil dan berjalan menuju kasur untuk memerhatikan anak semata wayangnya itu tertidur. Ammar tersenyum lalu menyium kilas kepala Shaqil. Ketika ia selesai dan hendak keluar, ia melintasi meja belajar Shaqil dan tertera disana bacaan 'Papa nanti kalau udah pulang, periksain PR matematikanya Shaqil ya.' Dengan menggunakan sticky notes.
Ammar tersenyum lalu langsung duduk di kursi belajarnya Shaqil dan memeriksa PR nya dengan teliti. Bagi Ammar tidak ada kata capek atau mengantuk jika itu berhubungan dengan seorang anak. Perlahan tapi pasti Ammar mengecek satu persatu tugasnya Shaqil.
Ketika semuanya sudah benar, Ammar berdiri dan kemudian mematikan kembali lampu kamar Shaqil dan kembali ke kamarnya sendiri. Ia langsung membuka bajunya yang sudah seharian dipakai lalu ia taruh dengan rapi di keranjang baju kotor dan kemudian berbersih diri. Setelah selesai, Ammar pun menunaikan ibadah shalat Isya' lalu kemudian tidur.
Sebelum Ammar benar - benar terlelap, ia merenung sejenak yang dimana aktivitas sebelum tidur ini menjadi kesukaannya. "Benar kata Oma. Mungkin udah saatnya." Ammar menghela nafasnya lalu memejamkan matanya dan tertidur.
***
Jangan lupa untuk vomment yaa wee!
🧡💙
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kindest Thing
RomanceMenjadi seorang single daddy bukanlah pekara yang mudah. Membesarkan, mendidik, dan mengasuh anak semata wayangnya, Shaqil Tashanlar ditengah - tengah pekerjaannya sebagai CEO di suatu perusahaan sepatu yang ia rintis bersama sahabatnya dari kuliah...