9 - Berkeping.

2.8K 249 1
                                    

Shaqil mengetuk ruangan kerja Ammar. Ia buka perlahan lalu masuk. Shaqil merasa kasihan untuk membangunkan ayahnya yang tertidur di kursi kerjanya, tapi ia sangat butuh ayahnya untuk mengecek pekerjaan rumah yang sudah ia selesaikan. Shaqil menepuk perlahan lengan atas Ammar, "Papa." Bangunnya dengan suara yang halus.

Ammar yang merasakan ada sebuah tangan kecil membangunkannya, terbangun. Ammar lalu duduk tegak dan mengusap wajahnya, "Ada apa Shaqil? Papa ketiduran." Ucapnya lalu mengangkat Shaqil untuk duduk di pangkuannya. "Pr Shaqil papa, belum papa periksa. Tapi Shaqil kasihan, papa lagi capek ya?" Ammar tersenyum mendengarkannya lalu menggeleng, "Papa nggak capek kok, sini mana pr nya Shaqil." Shaqil lalu memberikan buku tulisnya ke Ammar.

Ammar buka bukunya dan sedikit terkejut, "Loh kok pelajaran IPS?" Canda Ammar yang membuat Shaqil tertawa, "Pr Shaqil bukan cuma matematika aja papa." Ammar pun tertawa dan memeriksa PR nya Shaqil, dengan Shaqil yang berada di pangkuannya. Lama mereka dalam kondisi seperti itu hingga Ammar selesai memeriksa PR nya Shaqil.

"Udah selesai, ayo kita bobok." Ucap Ammar dan Shaqil pun mengangguk. Ammar lalu menggendong tubuh Shaqil yang sudah mulai tinggi itu lalu mematikan lampu ruangan kerjanya dan segera ke kamarnya Shaqil.

"Shaqil belum gosok gigi papa." Ammar pun lalu menggendong kembali tubuh Shaqil ke kamar mandi dan barengan gosok giginya. Setelahnya baru lah Ammar membaringkan tubuh Shaqil, "Papa tidur disini hari ini boleh?" Izin Ammar ke Shaqil. Shaqil dengan semangat mengangguk, "Boleh papa." Ammar tersenyum lalu ikut berbaring bersama di samping Shaqil dan menuntun Shaqil untuk berdoa dulu sebelum tidur. Lalu mereka berdua pun memejamkan matanya dan tertidur.

Namun sebelum Ammar benar - benar tertidur sempat ia bergumam, "Mungkin kalau ada sosok ibu, bisa membantu dan mengawasimu, nak." Ammar membuka kembali matanya dan menitikkan air matanya karena anaknya tidak bisa merasakan sosok ibu di sampingnya. Ammar pun memejamkan matanya kembali dan air matanya yang sempat mengalir, kembali mengalir dalam keadaan matanya tertutup.

***

Ammar membaca dengan cepat pesan yang masuk dari email perusahaan. Ia langsung menggeram dan menggebrak meja. Nafasnya tidak karuan. Nihan yang masih berdiri mematung terkejut tersentak ketika Ammar menggebrak meja. "Pamir." Desis Ammar dengan rahangnya ia kerasnya.

Nihan benar - benar takut. Ia tidak pernah melihat bos nya semarah ini. Sampai - sampai bawah matanya berubah menjadi merah sangking menahan emosinya.

"Kapan email ini masuk, Nihan?"

"Tadi malam pak- pukul 12." Jawab Nihan dengan terbata - bata.

Ammar lalu mengusap wajahnya kasar. Ia berdiri karena duduk saja tidak mampu menahan emosinya. Ternyata berdiri pun tidak mampu mengatur pola amarahnya. Dan ia memilih berjalan mondar - mandir. Sama halnya, ia tidak mampu menahan dan mengontrol emosinya.

"Nihan, keluar dan panggilkan- dia" Bahkan Ammar enggan mengucapkan nama Pamir.

Tak lama Pamir membuka pintu ruangan kerja Ammar. Ammar tidak mau menatap lawan bicaranya saat ini dan memilih hanya untuk membelakanginya saja. Karena ia masih menjaga keeratan persahabatan mereka berdua, sehingga ia tidak ingin melukai Pamir dengan ekspresi wajah amarahnya saat ini.

"Kenapa-" Ammar menarik nafasnya lalu ia buang. Dengan kuat ia menahan amarahnya yang benar - benar akan meledak saat ini jika ia tidak mengontrolnya. "Kenapa aku harus melihatnya sendiri!" Ucapnya.

"Aku udah bilang-" Ammar menarik nafasnya, "Jangan ambil keputusan apapun. Biar aku sajaa, yang memutuskan!"

"Aku ini manajer keuangan Ammar, jadi aku yang bertanggung jawab atas ini." Ucap Pamir dengan nada yang tinggi pula. "Tapi itu semua atas koordinasi dan seizin atasan!" Teriak Ammar.

"Dan aku udah memperingatkan, tidak tunduk lemah dengan saingan kita. Tapi kita seperti ini layaknya terduduk memohon dengan Aslanov."

Ammar memejamkan matanya sembari berdoa di dalam hati nya, "Ya Allah jaga hati ku agar aku tidak mengucapkan kalimat yang menghancurkan kami berdua." Ammar menarik nafasnya lalu membuka matanya. "Pamir, keluarlah. Aku butuh waktu sendiri."

Pamir lalu hendak keluar, "Maafkan aku Ammar. Aku hanya melakukan untuk menyelamatkan karyawan kita. Ucapnya lalu meninggalkan ruangan Ammar dan memilih untuk menenangkan dirinya diluar kantor ini sejenak.

Ammar lalu meninju kaca jendela ruangannya hingga pecah berkeping - keping. Suara pecahan pun terdengar begitu nyaring dan membuat karyawan yang berkumpul di depan ruangan Ammar terkejut dan terdiam. Dilsha yang baru saja sampai di lantai ruangan Ammar dan baru saja keluar dari lift terkejut ketika mendengar suara pecahan yang sangat nyaring. Ia langsung berlari dan mendatangin kerumunan orang. Ia tidak heboh dengan menanyakan apa yang terjadi, namun ia hanya melihat sorot mata yang mengarah ke arah ruangan Ammar. Dilsha dengan berani mendatangi Ammar takut jika hal lain yang berbahaya dapat terjadi.

Ketika Dilsha masuk ke ruangan Ammar, ia benar - benar shock ketika melihat jendela yang kuat itu pecah. Dan yang membuat dirinya lebih shock lagi adalah Ammar yang sedang mengayun - ayunkan tangannya karena menahan kebas dan sakit akibat tinjuan dari kepalan tangannya dan darah yang mengalir dari tulang - tulang jemarinya. Ammar hanya menatap Dilsha lalu menatap tangannya yang sudah sangat menyucur hebat darahnya.

Dilsha dengan sigap langsung mengeluarkan sapu tangan yang memang selalu tersedia di tasnya lalu ia tutup luka yang mengeluarkan darah itu. "Pegang, saya mau ngambil air dingin dan obat." Ammar hanya menuruti apa yang diucapkan Dilsha.

Ketika Dilsha balik ke ruangan Ammar, Ammar sudah berdiri di depan pintu ruangannya dengan masih membalut tangannya dengan sapu tangan Dilsha, "Di taman saja, tidak baik berduaan di dalam." Ucap Ammar lalu Dilsha mengikuti Ammar turun ke taman. Semua mata hanya melihat diam ke arah mereka berdua. Tidak berani bicara. Karena kali pertamanya, bos mereka semarah dan setempramen ini.

Sesampainnya di taman, Ammar langsung duduk di kursi taman dan membuka balutan tangannya dan langsung disungguhi tulang jemarinya membekak. Dilsha yang baru saja sampai, langsung menyodorkan sebaskom air dingin "Masukin ke sini, biar berhenti darahnya." Ammar pun menurutinya. Ia meringis karena air yang begitu dingin tiba - tiba membuat darahnya yang mengalir cepat berhenti membeku.

"Jangan di kepal tangannya, biarin aja ia terbuka. Lemasin biar gak sakit."
Lagi dan lagi Ammar menurutinya. Ketika darahnya sudah berhenti, Dilsha memberi Ammar tisu untuk mengeringkan air tangannya. Ketika selesai, Dilsha lalu meneteskan obat luka di jemari Ammar. Sedikit susah sebenarnya, karena Dilsha tidak mau menyentuh Ammar. Ammar pun mengerti lalu mengambil obat luka dan ia tetes sendiri. Malah makin lebih susah sebenarnya. Cuma tidak apa, kebanding susahnya nanti di akhirat, karena pegangan sama yang bukan muhrimnya.

Dilsha tidak menatap Ammar sedari tadi. Ia hanya menatap jauh ke arah yang tidak menjurus ke Ammar. Karena ia sangat takut sekali kalau - kalau hatinya melampaui batas.

"Sangat kelewat batas hari ini."

Dilsha mengangguk menyetujui pernyataan Ammar, "Karyawan aja sampai ketakutan tadi." Ammar tersenyum. "Ada kendala apa hingga kemari?" Tanya Ammar.

"Produksi kami ada kendala, jadi mungkin baju dan photoshootnya harus ditunda." Jawab Dilsha dan Ammar pun mengangguk, "Tidak apa, sama halnya dengan kami. Kami harus mendesain ulang sepatunya." Dilsha menatap sekilas Ammar. Ia juga bisa merasakan kesedihannya itu dari mata sendu itu. Merasa terkhianati emanglah sesakit ini.

***
Jangan lupa untuk vomment yaa wee!
🧡💙

The Kindest ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang