6 - Oh Itu Alasannya.

3.7K 295 2
                                    

Inilah kebiasaan pagi dari seorang Dilsha, sehabis Shalat Shubuh, ia melakukan olahraga ringan dan yoga agar tetap fit. Karena seharian di kantor hanya duduk saja, membuat tubuh merasa kurang gerak dan membuatnya tidak produktif. Sehingga setiap pagi ia selalu menyempatkan diri untuk berolahraga. Lalu ia akan menunggu beberapa menit dan pergi membersihkan dirinya yang tak lupa pula ia rutin melakukan body care, hair care, dan terakhir face care.

Setelahnya selesai ia langsung dress-up dan make-up lalu turun kebawah bersama keluarganya untuk sarapan besar. Jujur, sarapan dikeluarganya seperti makan besar. Karena, ayahnya Dilsha mau anak-anaknya tinggal bersama saja, agar ia bisa bermain dengan para cucunya.

"Pagi." sapa Dilsha. Semua mata menatap Dilsha, "Pagi, adek abang. Ayo sarapan." Ajak abangnya Dilsha yang kedua, Dipta. Dilsha mengangguk dan langsung mengambil panekuk dan mengupas pisang. Iya, inilah sarapan seorang Dilsha. Oiya, tak lupa juga segelas susu, karena Dilsha tipikal orang yang bukan tea's person atau coffee's person.

FYI, Ayahnya Dilsha, Furkan dan Ibunya Dilsha, Azizah memiliki empat orang anak, tiga anak laki - laki dan satu anak perempuan bungsu. Abang pertamanya Dilsha yang pertama, Daffa dan istrinya Vinny sudah memiliki dua orang anak, yaitu Razi (7) dan Sadrina (5). Nah abangnya Dilsha yang kedua, Dipta beserta istrinya, Luqy memiliki dua orang anak juga, Amel (2) dan Zaki (0,8). Sedang abangnya Dilsha yang ketiga, Dimas yang baru menikah sama seorang wanita, Oya.

"Gimana kerjaan kamu, Dilsha?" Tanya ayahnya, Furkan. Dilsha menyelesaikan kunyahannya, "Alhamdulillah, lancar pa."

"Sekarang lagi ada project apa?" Tanya ayahnya lagi.

"Lagi mau collab sama perusahaan Wales." Abangnya yang kedua sedikit tercengang, "Perusahaan Wales, yang perusahaan sepatu?!" Dilsha mengangguk shock karena tidak pernahnya abangnya ini segini penasarannya. "Wah! Ammar kan?! Ammar itu kawan abang dulu mah, waktu SMA." Gas Dipta dengan semangat.

"Oiya? Terus Dilsha harus apa bang?" Dilsha benar - benar tidak tau, dia harus ngapain kalau ia tau bahwa Ammar adalah teman SMA abangnya dulu.

"Ya nggak ada sih, kirim salam aja bilang." Dilsha hanya mengangguk lalu kembali menyelesaikan sarapannya. Setelah selesai, ia langsung berdiri dan pergi bergabung dengan geng krucil. "Halo semuanya." Sapa Dilsha. "Halo, bunda." Jawab mereka lemas.

"Ih, kok lemas banget sih?"

Mereka tidak mau menjawab dan hanya mengangguk. "Yaudah deh, Bunda Dilsha mau pergi kerja dulu ya. Ada yang mau bareng sama bunda nggak?" Mereka semua menggeleng, kecuali Zaki. Ia langsung berdiri dan berjalan lalu meminta gendong ke Dilsha. Dilsha tertawa lalu menggendongnya. "Ternyata Zaki ya yang mau ikut bunda." Zaki hanya mengangguk dan Dilsha mencium gemas pipi Zaki.

"Zaki belum sekolah, sayang. Jadi Zaki sekolahnya sama baba dan mama kamu yaa." Zaki mengangguk lalu meminta turun. Tak lupa ia mencium satu persatu keponakannya untuk berpamitan. Dan tak lupa pula ia menyalim dan mencium ayah, ibunya, beserta abang dan kakaknya. Barulah ia pergi kerja.

***

Sebuah tangan menyelip di sela - sela pintu lift yang hendak tertutup dan membuat Dilsha terjingkat ditambah lagi membuat Dilsha sedikit merasa bersalah, karena ia tidak melihat atau menunggu siapa orang yang akan menggunakan lift juga. Dengan cepat ia menekan tombol open, ya walaupun itu sebenarnya percuma karena sensor tangan sudah terdeteksi dan membuat pintu lift terbuka kembali.

"Pagi, Ibu Dilsha." Sapa Pamir.

Dilsha tersenyum tipis, "Maafkan saya tidak tau kalau Pak Pamir mau masuk tadi." Pamir tersenyum khasnya, "Tidak apa - apa, Ibu Dilsha yang cantik." Ucapnya dan membuat Dilsha tidak nyaman. Tak lama seseorang pun menerobos masuk dengan menyelipkan badannya ketika lift hendak tertutup. Benar - benar tipis sekali. Kalau tidak pemilik tubuh itu pasti akan terjepit disana.

"Wah, hampir." Ucap Ammar sembari membenarkan jas dan dasinya dan menetralkan laju pernafasannya. Ketika ia sudah stabil, ia pun menatap siapa yang ada di dalam lift ini juga.

"Ah, Selamat pagi pak Pamir dan bu Dilsha." Sapa Ammar.

"Pagi." Jawab Dilsha yang membuat Ammar menolehkan kepalanya untuk menatap suara khas itu keluar. "Apa yang membuatmu terburu - buru, pak Ammar?" Tanya Pamir dengan wajahnya yang slengekan itu. Ammar menggeleng, "Saya tidak mau menunggu lift selanjutnya." Ucapnya dan tak lama suara dentingan lift terdengar lalu mereka bertiga keluar.

Nihan yang terduduk di kursi kerjanya, melototkan matanya. Bayangkan trio terkeren, terkreatif, terbanyak ide, terbrilian berada di dalam satu lift dan tujuan lantainya yang sama. Woah. Nihan benar - benar terpukau. Ia lalu berdiri dan menyapa ketiga orang brilian itu. Dan hanya di sapa balik dengan nada yang singkat. Ya begitulah mereka, tidak suka berbasa - basi.

Ketika Dilsha hendak masuk ke dalam, ia memanggil Nihan dan ikut masuk bersama dirinya. "Bu, kenapa lagi saya disuruh masuk?" Dilsha hanya menatap Nihan, "Karena pak Ammar bukan muhrim saya." Nihan sangat terkejut mendengarkan alasan mengapa selama ini Dilsha mengajak dirinya untuk ikut bersamanya.

Nihan lalu mengangguk, "Baik bu, ayo kita masuk." Dilsha mengangguk lalu menjinjing tasnya ke sikunya dan masuk. Mereka berdua masuk disungguhi pemandangan Ammar yang sedang membuka jas nya dan menampakkan lekukan tubuhnya yang bugar itu. Dilsha yang tidak sengaja melihat langsung menoleh ke bawah dan tidak mau menatap apapun ke Ammar saat ini. Berbeda dengan Nihan, ia memerhatikannya dengan jelas dulu baru ia alihkan pandangannya.

"Silahkan masuk, bu Dilsha. Dan Nihan?"

"Saya yang mengajaknya, untuk menemani saya pak Ammar." Ammar mencerna kalimat Dilsha. Menemani dalam maksud apa ini sekarang? Tak lama Ammar pun mengangguk dan tersenyum tipis. Ia mengerti. Dilsha tidak ingin berduaan saja dengan dirinya di ruangan ini. Sungguh, berakhlaknya wanita ini.

"Kami udah menyiapkan ruangan agar ibu Dilsha dan timnya nanti bisa bekerja disana. Dilsha hanya mengangguk. "Nihan, silahkan bawa bu Dilsha ke ruangannya." Nihan mengangguk dan langsung menunjukkan ruangan asistennya Ammar dulu. Namun, sekarang ruangan itu tidak dipakai, karena Ammar tidak mau ada seorang asisten yang selalu membuntutinya. Risih saja rasanya.

"Bu Dilsha, dulu ini tempatnya personal asisten pak Ammar. Tapi pak Ammar pecat." Dilsha yang baru saja duduk dan menaruh tasnya di meja menatap Nihan, "Kenapa?" Tanya Dilsha.

"Yah, namanya pak Ammar bu. Kalau gak sesuai yah begitu." Dilsha mengangguk dan hanya menatap Nihan lalu memberi kode ke arah Ammar. Nihan pun sedikit bingung namun tetap melihat kemana arah lirikan mata yang dituju Dilsha. Ternyata, Ammar sudah menatap tajam Nihan. Nihan dengan segera berpamitan dan langsung kembali ke tempatnya.

***

Jangan lupa untuk vomment yaa wee!
🧡💙

The Kindest ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang