62 - Membringas.

1.6K 125 9
                                    

"Kalau kamu nggak sekolah, kamu nggak boleh main game. Nintendo dan HP kamu papa sita." Ucap Ammar dengan tegas. Shaqil semakin menangis dan menghentak-hentakkan kakinya mendengar ucapan Ammar tersebut. Ia seperti ini, karena lagi jenuhnya sekolah dan tidak ingin sekolah.

Dilsha yang baru saja bersiap-siap berpakaian untuk kerja, menghampiri Ammar. "Kamu sabar dulu, jangan emosi Ammar. Jangan dimarahi Shaqilnya, nanti Shaqil nya makin nangis." Ammar menarik nafasnya dalam, sedalamnya lalu ia hembuskan perlahan. "Coba kamu yang bujuk." Ammar pun keluar dari kamar dan memilih untuk duduk di sofa.

Dilsha pun menghampiri Shaqil yang sedang duduk di pojokan dengan wajahnya yang sudah merah padam akibat menangis. Air mata yang jatuh disertai dengan keringat sudah membasahi seluruh wajah Shaqil.

Merasa sudah diperbolehkan untuk berada di dekat Shaqil, Dilsha pun duduk dekat Shaqil. "Shaqil kenapa sayang?" Dilsha pun menyeka wajah Shaqil yang sudah basah karena keringat dan air mata yang sudah menyatu jadi satu. Shaqil lalu menyender ke Dilsha. "Anaknya mama Dilsha kenapa sayang?" Tanya Dilsha sekali lagi.

"Shaqil nggak mau sekolah mama. Shaqil capek." Jelas Shaqil dengan suara tersedu-sedunya akibat menangis. Dilsha pun memeluknya lalu ia elus punggung Shaqil. "Jadi Shaqil maunya gimana?" Tanya Dilsha dengan lembut sambil mengelus rambut Shaqil.

Shaqil menggeleng dan masih tersedu-sedu.

"Shaqil kan nanti di sekolah jumpa temen-temen. Bisa ketawa-ketawa, main-main pas lagi waktu istirahat." Ucap Dilsha untuk memberi pengertian ke Shaqil. "Shaqil mau mama Dilsha masakin apa untuk Shaqil makan bontot? Mama Dilsha masakin apa yang Shaqil mau untuk hari ini, janji." Shaqil menatap Dilsha, "Bener, mama?" Dilsha mengangguk. "Shaqil mau bawa bontot chicken fillet yang pernah mama masak yang ada kuah steaknya gitu ma."

Dilsha mengangguk mengerti, "Ok mama Dilsha masakin. Shaqil nanti mau bawa minum apa? Susu milo atau jus?" Shaqil tersenyum, "Susu milo."

Tak lama, Esma pun mengetuk pintu dan masuk. FYI, Esma masih ada disini atas permintaan Furkan dan Azizah. Mereka tidak mengizinkan Esma untuk tinggal sendirian lagi, sehingga nanti kalau udah selesai rumah Ammar dan Dilsha, Esma akan pindah bersama mereka.

Esma berjalan mendekati Shaqil, "Cucunya uti kenapa sayang?" Dilsha tersenyum, "Tadi dia nggak mau sekolah Oma. Tapi udah dibujuk dan akhirnya mau Oma." Esma tersenyum lalu menjulurkan tangannya ke Shaqil. "Ayo, Uti kawani Shaqil mandi. Biar mama Dilsha masakin bontot untuk Shaqil." Shaqil mengangguk lalu memegang tangan Esma dan pergi mandi.

***

Shaqil menyalim Dilsha ketika mereka sampai di sekolah Shaqil. "Shaqil pergi dulu mama, Assalamualaikum." Dilsha mengangguk dan membalas salam Shaqil lalu mencium Shaqil. "Hati-hati, sayang. Semangat belajarnya." Shaqil mengangguk lalu tersenyum ke Dilsha. "Ah Shaqil, anak Ammar banget. Senyumnya mirip kali." Ucap Dilsha lalu mengendai mobilnya ke kantor. Iya, Dilsha hari ini membawa mobil sendiri dikarenakan permintaan Shaqil yang ingin pergi bersama Dilsha. Dan bagi yang bertanya Salma sama siapa, Salma di rumah bersama nenek-nenek dan kakeknya di rumah.

Sesampainya di kantor, Dilsha pun disambut dengan meriah oleh para karyawannya. "Selamat datang kembali ibu Dilsha!" Dilsha tertawa lalu tersenyum sumringah. Mereka ternyata merindukan Dilsha. Enam bulan Dilsha meninggalkan kantor ini untuk cuti hamil dan melahirkan, barulah hari ini Dilsha kembali dan bekerja seperti biasa.

"Terima kasih semuanya, silahkan bekerja kembali."

Dilsha lalu masuk ke ruangannya dan ruangannya berubah total. Dilsha sedikit terkejut but it's ok not bad. Dilsha menaruh tas kerjanya yang dimana tas yang baru saja Ammar kasih tadi malam di atas meja kerjanya. Dilsha memegang perlahan furnitur kerjanya yang baru. Seingatnya, ia tidak pernah request untuk mengubah ruangannya. Tak lama Damla pun datang. "Selamat bekerja kembali ibu Dilsha." Dilsha tersenyum dan mengangguk. "Kalau ibu bertanya-tanya, ruangan ini sedikit diubah atas permintaan pak Ammar."

The Kindest ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang