5 - Notes

3.9K 331 1
                                    

"Ketika new collectionnya Cypruz dirilis, baru kita desain sepatunya." Tukas Pamir. Ammar tidak setuju dengan pendapat ini, "Sangat memakan waktu yang banyak. Kita juga harus merhatiin pabrik, dari bahan bakunya, tenaga kerjanya, dan overhead pabriknya, Pamir."

"Saya setuju dengan pendapat Pak Ammar, belum lagi apabila terjadi spoiled goods, semakin memakan waktu dalam memproduksinya, Pak." Jelas salah satu karyawan desain, Zubehir.

Mereka lalu berdiam diri memikirkan apa solusinya. Lama mereka berdiam diri, sebuah pintu terbuka dan memunculkan Shaqil dengan tas kecilnya yang ia pegang. Seketika suasana menjadi cair. Nihan dengan semangatnya langsung memberikan lambaian tangannya. Seketika ngantuknya tadi jadi menghilang.

Ammar berdiri dan menyambut kedatangan anaknya, "Shaqil kok kesini? Bukannya ini hari Shaqil di rumah, ya?" Shaqil mengangguk, "Shaqil bosan papa. Jadi Shaqil minta Sukru anterin ke sini." Ammar mengangguk lalu menggendong tubuh Shaqil, "Shaqil mainnya di ruangan om Pamir dulu, ya? Papa masih ada meeting."

Shaqil mengangguk dan Ammar berpamitan sebentar untuk membawa Shaqil ke ruangan Pamir. Sesampainya, Ammar lalu berpesan kepada Shaqil, "Shaqil disini nggak boleh berantakin ya. Ok?" Shaqil mengangguk. "Nanti kalau papa udah siap, jemput Shaqil lagi ya." Ammar tersenyum lalu mencium kilas kepala Shaqil.

Di satu sisi, Nihan sedang berjulid ke Dilsha, "Ini anaknya Pak Bos, bu. Shaqil namanya. Imut ya dia." Dilsha hanya mengangguk. Tak lama Ammar pun kembali ke ruangannya dan melanjutkan meetingnya, "Maaf tadi di pending dulu." Ucapnya lalu tersenyum singkat.

Suasana pun kembali seperti semula, tertekuk dan tertekan dalam memikirkan sebuah solusi permasalahan. Sebuah ide menghampiri Dilsha dengan segera dan mantap melontarkan idenya, "Karena kita dalam konteks kolaborasi, kita sama-sama rundingin mau gaya dan warna apa yang saya mau lalu dicocokkan dengan desain sepatu."

"Begitu juga untuk desain sepatu. Mau desain baju yang gimana yang pas." Ucapnya lalu melihat Ammar, "Biar prosesnya tidak terlalu lama dan lebih efisien dan efektif." Ucapnya lalu mengalihkan pandangannya ke lain arah. Ammar menatap Dilsha dan menimang - nimang ide yang dilontarkannya. "Deal."

Pamir, Zubehir, Nihan, dan Akin serentak melihat ke arah Ammar.

"Ada yang salah? Pendapat saya, saya setuju."

Mereka satu persatu mengangguk. "Deal!" Gertak Pamir sambil memukul meja, yang membuat semua orang terkejut. Bahkan Nihan sampai latah...memalukan.

"Kapan kita bisa mulai mendesain?" Tanya Ammar ke Dilsha. Tak sengaja eye-contact. Cepat - cepat Dilsha mengalihkan pandangannya. "Lebih cepat lebih baik." Ammar mengangguk, "Besok kita sudah bergerak. Jadi siapkan apa yang perlu disiapkan."

"Zubehir dan Akin, saya mau masing - masing dari kalian mendesain satu buah sepatu."

"Pamir siapkan estimasi dana."

"Dan Nihan, lakukanlah yang terbaik." Nihan menelan salivanya. Mengapa digilirannya, seperti tidak ada motivasi kata atau nada yang memotivasi. Ia sedikit menahan tawanya. Karena ia sendiri ingin menertawakan dirinya.

"Baik, meeting kita sampai disini." Ucap Ammar dan mereka semua berdiri lalu keluar dari ruangan kerja Ammar. Ia menyempatkan diri untuk melihat Dilsha selagi ia tidak sedang melihat Ammar. Ketika ia sudah membelakangi Ammar, ingin sekali ia menarik lengan Dilsha untuk menetap sedikit lebih lama. Ammar langsung tersadar dan menggelengkan kepalanya dan beristigfar. Tidak. Dilsha bukan seperti wanita yang selama ini Ammar jumpain. Ia berbeda, Ammar. Begitulah instingnya berbicara.

***

Ketika Ammar keluar untuk menjemput Shaqil dari ruangan Pamir, ternyata Dilsha, Nihan, dan Pamir masih berdiri di depan pintu ruangan Ammar. Ammar sedikit terkejut dan memilih untuk berdiam diri. Karena ia sendiri tidak bisa berjalan juga, pula mereka bertiga berhenti dekat dengan pintu.

"Terima kasih Nihan sudah menemani saya." Nihan tersenyum. Ia merasa tersanjung, "Terima kasih kembali, Ibu Dilsha. Suatu kehormatan." Ucapnya sembari tersenyum malu - malu.

"Ibu Dilsha mau saya anterin?" Tawar Pamir. Ammar seketika tersenyum miring. Tidak mungkin seorang Dilsha menerima ajakan dari orang seperti Pamir ini. "Tidak, terima kasih Pak Pamir. Saya membawa kendaraan sendiri." Tawaan Ammar sedikit terlepas namun ia tahan kembali. "Modusmu enggak mempan, Pamir." Ucap perlahan Ammar, namun Pamir masih bisa mengetahui apa yang diucapkan Ammar. Ia lalu memberikan mata tajamnya ke arah Ammar.

Dilsha lalu berpamitan dan berjalan sendiri menuju lift lalu ke parkiran untuk segera pulang. Sedang Ammar menjemput Shaqil, Pamir kembali ke ruangan kerjanya, dan Nihan kembali duduk di meja kerjanya yang berada tepat diluar ruangan kerja Ammar.

***

Baru beberapa langkah tertepak di area parkiran, ia baru menyadari bahwa waktu ia sampai disini, ia membawa sebuah buku notes yang berisikan catatan penting. Ia kembali mengingat dimana ia meninggalkan bukunya itu. "Ha! pasti diruangan Pak Ammar." Ia lalu berjalan kembali dan naik lift menuju lantai dimana ruangan kerja Ammar berada.

Nihan yang melihat kedatangan Dilsha kembali, membuatnya sedikit penasaran. "Ada hal apa, Bu?" Dilsha menggeleng, "Tidak ada apa - apa. Saya hanya mau mengambil buku saya yang ketinggalan."

"Silahkan, Bu. Bapak masih ada di dalam kok." Dilsha tersenyum lalu berjalan dan membuka perlahan pintu ruangan kerja Ammar. Ketika ia hendak masuk, ia langsung disambut dengan pemandangan Ammar yang sedang mengajari Shaqil berhitung, terlihat dari Ammar yang sedang menghitung jemarinya. Dan Dilsha memilih untuk menunggu saja di depan pintu.

Ketika Ammar sudah selesai menjelaskan, barulah Dilsha berdeham. Ammar beserta Shaqil langsung melihat siapa yang ada di depan pintu. Ammar pun berdiri, "Ada apa, bu Dilsha?"

Dilsha melihat Ammar sebentar lalu melihat ke arah Shaqil dan tersenyum, "Boleh saya masuk? Buku saya tertinggal, disini." Izinnya ke Shaqil. Shaqil tersenyum, dan mengambilkan buku yang dimaksud Dilsha, "Ini, bu Dilsha bukunya." Ucapnya lalu tersenyum gigi. Ah lucu sekali anak ini. Dilsha berjongkok lalu mencubit pipi Shaqil, "Terima kasih, bapak Shaqil." Dilsha lalu berdiri dan tersenyum tipis ke Ammar lalu berpamitan, "Kalau begitu saya permisi." Ammar tersenyum kecil dan mengangguk.

Setelahnya Dilsha keluar, Shaqil tersenyum ke ayahnya yang membuat Ammar tersenyum penasaran apa yang dimaksud anaknya ini. "Shaqil?" Tanya Ammar dan Shaqil tersenyum menutup mulutnya karna gemas, "Papa cocok sama Ibu Dilsha." Ammar lalu tersenyum gemas melihat tingkah anaknya dan menggendong anaknya itu ala karung dan menepuk perlahan bokongnya, "Kamu udah pandai ya ngejekin papa." Mereka lalu tertawa.

***
Jangan lupa untuk vomment yaa wee!
💙🧡

The Kindest ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang