30: Amarah

44 6 0
                                    

Revisi: 3 Juli 21

"Mau tanya ap--," belum sempat kata terakhir terucap sudah terpotong oleh perkataan Azzam.

"Darimana aja?" Pertanyaan ini masih sama, sama-sama bernada dingin.

"Dari toko kue terus pulang," jawab Zahra tersenyum kaku.

"Bohong!" Sentak Azzam yang tidak percaya akan jawaban adiknya.

Kali ini Zahra hanya bisa menggeleng, karena sudah tak sanggup menjawab lagi.

"Gak usah bohongin kakak, kakak tahu kamu bohong dan kakak tahu hampir setengah hari kamu sama Ilham!"

Seketika Zahra langsung diam dan menunduk takut.

"Bukannya kamu udah janji sama kakak, udah janji kalau gak bakal ketemu sama yang namanya Ilham itu?" Tanya Azzam yang terlihat seolah menyudutkan.

"Kamu lupa ya Ra? Bohong sih kalau kamu sampai gak inget,"

"Kak, ini cuman masalah hati doang. Gak usah di besar-besarkan gak bisa ya?" Tanya Zahra dengan nada yang mulai menginterupsi.

"Jadi Zahra sekarang gini? Udah berani ngomong pake nada tinggi?" Tanya Azzam berjalan mendekati pintu dan menutupnya agar tak terdengar sampai kebawah.

Sedangkan Zahra yang sudah tidak tahu lagi kata-kata apa yang  ia keluarkan hanya bisa diam. Diam adalah jalan terakhir meskipun ia tahu itu bukan part terakhir kemarahan Azzam.

"Pinter ya sekarang kalau diajak ngomong diem aja," ejek Azzam yang masih menatap tajam kearah Zahra.

"Ra, kakak ingetin ya! Kamu itu udah gede, udah ngerti mana yang baik buat diri sendiri sama orang lain juga udah ngerti mana yang buruk. Gak semestinya kamu ngelakuin ini!" Nasihat Azzam menatap Zahra yang masih diam.

"Zahra ngelakuin apa kak? Zahra ngelakuin apa? Zahra salah ya? Zahra salah kalau bertemu orang yang udah nyakitin Zahra? Apa gimana?" Tanya Zahra dengan nada bicara yang mulai mereda.

"Salah sih enggak, cuman caramu menerimanya yang salah. Kamu ngerti enggak kalau seolah-olah kamu kayak kasih harapan sama si Ilham itu lagi?"

"Zahra enggak pernah kasih harapan kak." Elak Zahra, karena dia merasa menang tidak memberi harapan kembali.

"Iya kakak tahu kamu enggak ngasih harapan, tapi sikap kamu pas ketemu dia tadi seolah-olah emang masih ada rasa." Jelas Azzam yang mencoba menurunkan emosinya.

Zahra kini masih diam, ia bingung harus berkata apa lagi. Sedangkan disisi lain ia juga sadar bahwa omongan kakaknya memang benar adanya, rasa itu masih ada.

"Emangnya kamu itu enggak mikir gitu Ra, gimana perasaan Rayhan kalau ia tahu?" Tanya Azzam yang membuat Zahra menyelisik jauh kesana.

"Kak, gini ya gini, jadi Rayhan itu siapanya Zahra sih sekarang? Kakak Zahra juga bukan kan! Terus ya mau gimana lagi?" Tanyanya memainkan ujung kerudung miliknya.

"Iya kakak tahu status Rayhan itu masih belum jadi siapa-siapa kamu. Tapi ya seengaknya hargai lah perasaan dia," kini Zahra dibuat mati kata oleh jawaban Azzam.

"Sampai detik ini Zahra masih ngehargai perasaan Rayhan kak, tapi ya mau gimana lagi?" Tanyanya yang kini tengah menatap sang kakak.

Saat Azzam ingin berucap lagi, sang ummi malah sudah memanggil mereka untuk turun dan makan. Alhasil ya Azzam berhenti dulu ceramah ke Zahra. Sekarang mereka tengah berada di meja makan dan hanyalah dentingan sendok yang terdengar. Hingga pada akhir makan malam, Aditya baru membuka pembicaraan.

"Ra, kok tumben kamu tadi pulang sama Ilham itu lagi? Inget lho ya temenan boleh, asal tetep inget juga bahwa kamu udah nerima orang lain untuk masa depanmu. Abi gak pernah ngelarang kamu main sama siapa aja, pesan abi cuman 1 untuk saat ini. Jaga hati baik-baik, kamu sudah dewasa semestinya juga mengerti bagaimana caranya untuk menghormati perasaan orang lain." Nasihat Aditya menatap ke arah Zahra yang tengah menunduk dalam-dalam.

Zahra mendongak menatap wajah sang abi. "Iya abi, Zahra minta maaf Zahra salah." Celetuknya secara tiba-tiba.

"Minta maafnya sama Rayhan dong Ra, kok sama abi. Kan yang harus kamu jaga perasaannya itu Rayhan. Ingat lho kepercayaan itu bisa tiba-tiba hilang dan berubah jika sudah dikecewakan," jelas Athifa mengelus lembut puncak kepala Zahra.

"Iya ummi, terima kasih sudah mau mengingatkan Zahra," ucapnya menampilkan sebuah senyuman.

Entah kenapa suasana kali ini mendadak hening, mengingat sebelumnya Azzam telah menceramahi panjang lebar adik kesayangannya itu dan kini keduanya saling diam. Bukan saling diam, hanya saja Azzam tidak mengucapkan separah katapun malam ini.

Setelah selesai makan malam, Zahra memutuskan untuk melihat keadaan Kayla yang berada di kamar Azzam.

Ceklek

Zahra membuka pintu kamar Azzam dan mulai masuk.

"Kayla sehat kan dek? Sehat terus ya, biar ummi mu juga senang di sana. Kayla nanti kalau udah besar sering berkunjung ke rumah aunty ya, cerita bareng aunty." Ucap Zahra sekilas saat melihat Kayla yang sudah tertidur pulas.

Selanjutnya Zahra memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan tidur. Malam ini berbeda dari malam-malam sebelumnya, malam ini tidak ada perang bantal dengan Azzam, tidak ada adu mulut sebelum tidur, tidak ada cerita panjang dari Azzam tentang Salwa juga mereka waktu kecil.

Bersalah, hanya itu yang Zahra rasakan sekarang. Untuk itu ia memutuskan menghantarkan selimut kesayangan Azzam ke kamar tamu yang malam ini ditempati Azzam.

Tok
Tok
Tok

"Masuk, pintunya gak dikunci." Ucap Azzam dingin seolah tahu bahwa itu Zahra.

Perlahan pintu kamar terbuka menampakkan sosok Zahra berdiri dengan selimut dan bantal milik Azzam.

"Ada apa?" Tanyanya dengan nada ketus.

"Buat kakak," jawab Zahra menyerahkan guling dan selimut ditangannya.

"Kak, Zahra minta maaf. Zahra tahu Zahra tadi salah, Zahra minta maaf. Jangan marah ya sama Zahra, nanti Zahra ndak punya temen ngobrol sama adu argumen." Lirih Zahra menunduk dalam-dalam.

"Udah jangan ngerasa bersalah mulu, kakak udah maafin sebelum kamu minta maaf. Dan untuk saat ini kakak kepengen tidur disini, kakak capek tidur di sofa kecil kamar kamu terus." Ucap Azzam meletakkan laptop dari pangkuannya.

"Terima kasih, selamat tidur kakak. Jangan lupa mimpi indah ya!" Celetuk Zahra mundur perlahan kearah pintu kamar.

"Kamu juga, jangan mikirin masalah mulu. Berat kamu pasti gak kuat, orang kakak aja bayangin gak kuat kok." Lagi-lagi Azzam masih bisa bercanda.

Zahra keluar dari kamar tamu dan naik menuju kamarnya, ingin rasanya ia berteriak sekencang-kencangnya atas apa yang terjadi hari ini. Sebelum pagi kembali menyapa, dia memutuskan untuk berlabuh ke dunia mimpinya sendiri.

Berat memang jika dituntut untuk selalu sabar, untuk selalu tersenyum ketika segala masalah sedang menerpa. Dan yang paling berat untuk Zahra adalah menjaga bicaranya amarah sedang menguasainya.





Azra's Love Story [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang