4: Alasan

74 9 0
                                    

Revisi 1: 10 Mei 21
Revisi 2: 13 Nov 21

Sebenarnya ia berbohong ketika ia bilang bahwa setelah ini akan menemani kakaknya bertemu calon. Andai dunia bisa tahu bahwa perasaannya sedang tidak menentu, mungkin saja ia akan menurunkan hujan untuk menutupi tangis Zahra detik ini juga.

Setelah diantar pulang oleh Hana, Zahra pun segera masuk kamar dan mengambil wudhu lantas melaksanakan sholat agar pikirannya tenang. Selepas itu, ia menuju meja belajar merah muda dan membuka lembar demi lembar diary kecilnya. Menuliskan sebuah nama yang mungkin setelah ini akan berbeda.

Yap, ia saat ini tengah bersedih mempersiapkan pelepasan kakaknya ke pelukan istrinya. Besok mereka sekeluarga akan bertandang ke rumah Salwa kembali, untuk meminta Salwa menjadi putri dari keluarga Aditya. Tentu saja untuk Azzam, sebuah awal yang menyedihkan bagi Zahra ketika setelah itu tidak ada yang menjahilinya kembali.

Keesokan harinya.

Aditya sekeluarga telah menghaturkan niat baik mereka ke rumah keluarga Salwa.
Dan setelah mereka menentukan kapan tanggal baik untuk pelaksanaan akad, dll.
Semuanya selesai, kini Aditya sekeluarga telah sampai di rumah kembali. Entah karena apa, Zahra langsung masuk dan berlari menuju kamarnya.

Brak

Suara pintu terbanting terdengar hingga luar rumah.

"Astaghfirullah, adik kenapa itu?" Tanya Athifa yang saat ini masih di luar rumah.

"Bentar mi, biar Azzam aja yang naik." Ucap Azzam mencoba menenangkan Athifa.

Satu persatu anak tangga dinaiki Azzam, hingga sampai ke depan pintu kamar bercat biru dengan gantungan Doraemon di sisi pintu.

"Ra, kamu kenapa?" Tanyanya dengan nada hati-hati melihat keadaan Zahra yang saat ini tengah tengkurap di atas ranjang dengan boneka kura-kura yang terbuang di sisi meja belajar.

"Zahra gak papa kok." Ucapnya seolah menahan isakan yang memaksa untuk keluar.

"Kakak gak yakin kamu sedang baik-baik saja. Kakak tahu kamu menangis," ucap Azzam dibarengi duduknya di ranjang milik Zahra.

"Kamu kenapa? Bilang sama kakak!" Desak Azzam yang membuat Zahra seketika langsung memeluk tubuh Azzam.

"Zahra enggak siap harus kehilangan kakak yang jahilnya subhanallah ini. Nanti kalo kakak nikah temen Zahra curhat siapa? Pasti nanti kakak udah sering sama mbak Salwa daripada sama Zahra." Ucap Zahra panjang lebar disertai isakan kecil sehingga membuat kemeja Azzam basah dibuatnya.

"Zahra... kakak enggak pergi, kakak tetep tinggal di sini. Kakak tetep menemani adik kecil kakak ini. Ini udah jadi kesepakatan kakak sama mbak Salwa bahwa kita akan di sini sampai kamu membina hubungan serius nantinya. Udah jangan nangis, nanti makin jelek." Ujar Azzam sambil mengelus pundak kecil yang bergetar akibat menahan isakan itu.

"Zahra enggak jelek," cicitnya dengan tangis yang makin menjadi.

"Kalau tetep nangis jadi jelek, kalo mau diem Zahra makin cantik." Ucap Azzam sambil menghapus sisa-sisa air mata yang menetes tersebut.

Setelah selesai mencuci mukanya dan sedikit memoles wajah dengan bedak dan lip tint, Zahra lantas mengambil kursi belajarnya dan duduk di depan Azzam.

"Kak..." Serunya menoleh kearah Azzam.

"Iya.."

"Ra pengen tanya boleh?"

"Mau tanya apa sih?" Merasa pertanyaan di batinnya saat ini tidak ingin dikeluarkan, akhirnya Zahra berdalih tentang skripsi.

"Bantuin Zahra menuntaskan skripsi mau enggak? Ini udah revisi ketiga kalinya." Ucapnya menunjukkan tatapan yang, kayak gitu lah.

"Boleh, coba kakak lihat. Sama buku referensinya juga." Pinta Azzam duduk bersila di lantai.

Zahra pun menyerahkan sebuah skripsi yang gagal berkali-kali itu dan buku referensinya. Tak lupa dengan laptop dan mesin printer di sampingnya. Dan pada akhirnya sebuah pertanyaan yang ingin Zahra tanyakan gagal keluar dan malah bertanya soal skripsi. 5 jam mereka berkutik dengan laptop dan lembar demi lembar halaman buku.

Tara

Akhirnya skripsi Zahra pun jadi dengan tangan yang sudah pegal mengetik dan mata yang sudah kering menatap layar laptop itu. Kini mereka berdua turun menuju dapur untuk menyeduh 2 gelas teh manis dan tak lupa mengambil toples cemilan.

"Loh adik, kenapa matanya merah gitu?" Tanya Athifa yang seketika membuat Zahra panik.

"Itu mi... tadi Zahra abis kencan sama laptop, benerin skripsinya." Tutur Azzam yang melihat Zahra tidak bisa menjawab apa-apa

"Kapan sidangnya Ra?" Tanya Athifa kembali.

"Skripsinya aja belum Ra kasih liat mi. Minggu depan deh kayaknya." Jawab Zahra sambil menyeduh gelas teh miliknya dengan teko.

"Astagfirullah Zam, ummi sampai lupa, itu kamu ditungguin abi di ruang keluarga." Ucap Athifa sambil menepuk jidatnya.

"Oh iya mi, Azzam akan meluncur segera."

Perbincangan mereka di ruang keluarga pun berlangsung hingga sore, pukul 17.00 warna langit yang kala itu sedang jingga membuat Zahra keluar dan menikmatinya. Warnanya yang indah tersebut seolah seperti kuning telur yang pecah ketika ia ceplok.

Cantik

Hanya satu kata yang dapat keluar dari pikiran Zahra sehingga tak sengaja mulutnya berucap ketika melihat ufuk barat mengeluarkan warna indahnya.

Senja mengajarkan bagaimana caranya mengikhlaskan apa yang sudah pergi tanpa perlu membenci.

Dan

Pasti akan datang esok yang lebih baik lagi.

Azra's Love Story [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang