TEPAT seperti janjinya, Alena datang ke kamarku. Membawakanku makanan padahal aku sedang tidak sakit parah tapi dia membawakanku banyak makanan. Kini aku dan Alena duduk di sofa menunggu Alena mengangkat bicara karena aku punya firasat jika Alena yang telah memberikan nomor ponselku pada Cristian. Jika bukan Alena siapa lagi? Nako? Tidak mungkin. Nako tidak pernah mengakui di depan orang jika dia mempunyai kekasih.
"Loka, gue minta maaf sama lo," serunya. Menatapku dengan lekat sekaligus menggenggam erat tanganku.
"Maaf? Untuk?" tanyaku.
"Gu...gue udah kasi nomor lo sama Cristian. Tadi pas waktu istirahat dia datang ke kelas dan cari lo. Gue bilang lo gak masuk terus dia maksa minta nomor lo." Alena menunduk, merasa bersalah padaku.
Aku hanya bisa menghembus napas berat. Sudah terjadi, jadi untuk apa aku memarahi Alena. Membuang energiku saja. Dan aku bersyukur jika bibirku yang bengkak kini sudah mulai mengempis karena obat yang di berikan Nako, jadi tidak mengundang pertanyan dari Alena.
"It's okay. Aku gak marah."
"Really?"
"Ya." aku tersenyum saat Alena memelukku dan aku segera membalas pelukannya.
"Cepat sembuh, Loka. Gue balik ke kamar gue. Mau mandi udah lengket," kata Alena sambil mencium tubuhnya sendiri dan aku tertawa kecil melihat tingkahnya.
"Balik sana, badan kamu bau!" sarkasku pura-pura jika badan Alena bau.
"Oh my god! Seriously, Loka?" tanyanya histeris.
"Yes. Go!" usirku padanya. Dan Alena segera berdiri. "Thankyou, Al. Kamu udah baik hati mau liat aku."
"Siap." Sahutnya dan Alena segera berlalu dari kamarku.
Setelah kepulangan Alena, aku tidak tahu harus apa. Ponselku hancur berderai. Dan aku yakin jika Nako pasti tidak bisa mengirimiku pesan lagi. Semua karena ulahnya. Nako terlalu cepat emosi dan Nako tidak mau mendengarkan penjelasanku. Kekasihku selalu bertindak sesuai keinginannya. Sifat tempramennya yang tidak aku sukai.
Sampai malam tiba pun aku hanya bisa berdiam diri di kamar dengan tumpukan buku yang aku pelajari. Hanya ada suara jangkrik yang bersahutan menyambut pendengaranku. Hingga akhirnya fokusku teralihkan pada ketukan di jendela. Aku berdiri, berjalan mendekat pada jendela. Satu tanganku menggeserkan gorden dan mataku terkejut saat melihat Nako dengan hoodie hitamnya berdiri disana.
"Buka, bodoh!" ucap Nako yang masih aku dengar. Dan aku membukanya, membiarkannya masuk ke dalam kamarku. "Lo sengaja bikin gue diluar lama, supaya orang-orang tangkep gue karena udah nyelinap masuk sini?!" bentak Nako. Marah seperti biasa.
Sekedar info, asrama wanita melarang ketat lelaki yang masuk ke area asrama wanita. Karena itu melanggar peraturan. Kecuali datang untuk menjenguk orang sakit dan sudah mendapatkan izin. Ya, peraturan disini sangat ketat.
Aku menghembus napas panjang, terbiasa dengan sikap Nako yang suka marah-marah. Tanpa menghiraukannya yang cukup membuatku kesal hari ini, aku berbalik badan berjalan kembali ke meja belajar. Aku masih marah padanya.
"Gue mau ajak lo keluar."
Aku segera menoleh padanya, alisku bertautan. Aku tidak salah dengar? Nako mengajakku keluar?
"Kamu tahu Nako anak yang tinggal di asrama gak boleh keluar malam," balasku. Seketika raut wajahnya berubah. Rahangnya mengeras. Aku yakin emosi Nako pasti sedang naik ke permukaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARALOKA
Teen FictionSUDAH TERBIT DAN TERSEDIA DI SELURUH GRAMEDIA INDONESIA DAN TOKO BUKU LAINNYA Warning ⚠ Cerita ini mengandung adegan romance, kekerasan, kata-kata kasar, baper, bikin kalian sesak napas. Asmaraloka : Dia adalah gadis beasiswa yang beruntung memilik...