.....
MASIH dengan napas yang memburu aku dan Nako terus berlari menjauh dari mereka yang mengejar kami, sesekali aku tersandung kayu ranting yang aku lalui. Kami semakin masuk ke dalam hutan dengan ponsel Nako sebagai penerang. Merasa tidak ada lagi yang mengejar kami, Nako memperlambat larinya menjadi berjalan. Aku langsung menarik tanganku dari cengkramannya, memegang dadaku yang bergemuruh. Aku kehilangan napas sama seperti Nako. Dan hutan ini gelap dengan pohon yang menjulang tinggi.
"Nako, aku capek," lirihku sambil berhenti berjalan dan Nako menoleh padaku.
"Lemah banget sih jadi cewek!" serunya dengan napas yang masih terengah-engah.
"Kita udah lari sejauh ini Nako!"
"Lo kira kalo kita gak lari, kita bakal selamat dari mereka?!" tanyanya sambil berkacak pinggang di depanku.
"Mereka siapa? Kamu punya musuh?" aku bertanya dan Nako menghela napas sambil menyugar rambutnya.
"Masih kuat jalan?" bukannya menjawab Nako malah berbalik bertanya, membuatku kesal. Dia sungguh menyebalkan.
"Enggak!" spontan aku menjawab. Dan detik itu juga mataku melebar saat Nako berjongkok dengan menepuk punggungnya.
"Naik, cepetan!!" titahnya, melirik kesal padaku.
Tidak mempedulikan hal yang lain aku segera naik di atas punggung Nako. Mengalungkan tanganku di lehernya dan kakiku yang mengait di pinggangnya. Sementara Nako memberikanku ponselnya sebagai penerang, lalu kedua tangannya lincah menahan tubuhku agar tidak jatuh. Dan ini perlakuan Nako yang aku sukai.
Kaki Nako mulai melangkah tak tentu arah. Daguku bertumpu pada bahu kirinya, menatap dari samping wajah tampan Nako ketika sedang serius seperti ini. Sebenarnya, Nako ini baik tapi dia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
"Nako kenapa gak balik aja ke mobil kamu?" aku bertanya disela perjalanan kami.
"Lo mau mati? Mereka pasti nunggu kita keluar dari hutan ini!" jawabnya. Aku menghembus napas lelah. Sampai kapan aku dan Nako berada disini? Aku ingin kembali ke asrama. Tidur dan terbangun tepat waktu.
"Kita tidur disini aja sampe besok pagi."
What?! Aku memandang tak percaya pada Nako lalu tatapanku jatuh pada sebuah pondok kecil yang ada di depan kami dengan atap yang terbuat dari daun kelapa.
Nako segera menurunkanku, membuatku terduduk di pinggir pondok kecil itu. Disusul dengan Nako yang naik ke dalam. Melepaskan hoodienya dan memberikan kepadaku.
"Pake, disini hawanya dingin," ujarnya dan aku menerimanya tanpa basa-basi karena sejujurnya aku telah kedinginan sedari tadi.
Ketika aku selesai memakai hoodie Nako, aku naik dan duduk tepat di samping Nako yang bersandar di dinding kayu tersebut. Kedua tanganku memeluk tubuhku, kakiku juga ikut tertekuk. Sedangkan Nako masih terlihat santai dengan baju kaos hitamnya.
"Nako, dingin banget," lirihku pelan. Nako menoleh padaku, menghembus napas kasar.
"Lo ngasi gue kode?" tanyanya dan dahiku berkedut. Aku sama sekali tidak memberinya kode.
"Enggak Nako. Kalo gak percaya ni rasain." Dengan segera aku menempelkan telapak tanganku di atas punggung tangannya yang terletak di atas pahanya. Oh Tuhan, tangan Nako sungguh hangat dan aku membutuhkan kehangatan.
Tahu jika tanganku dingin, Nako dengan segera menarikku, mengangkat tubuhku untuk duduk di atas pahanya membuatku tersentak dan jantungku kembali berdetak dua kali lebih cepat. Ada perasaan menggelitik yang menjalar ditubuhku. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, aku memlih untuk memeluknya. Kepalaku tenggelem di bahunya. Menghirup dalam-dalam aroma Nako yang khas dan menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARALOKA
Teen FictionSUDAH TERBIT DAN TERSEDIA DI SELURUH GRAMEDIA INDONESIA DAN TOKO BUKU LAINNYA Warning ⚠ Cerita ini mengandung adegan romance, kekerasan, kata-kata kasar, baper, bikin kalian sesak napas. Asmaraloka : Dia adalah gadis beasiswa yang beruntung memilik...