13. ASMARALOKA

215K 21.6K 6.4K
                                    

Sebelum lima menit aku sudah selesai mengerjakan soal yang diberikan oleh Nako. Aku tersenyum riang melihat Nako yang sedang memeriksa jawabanku. Tak lama Nako berdecak sambil memberi centang pada semua jawabanku yang benar.

"Oke, mau mulai darimana?" Nako menoleh padaku, memutar sempurna badannya menghadapku.

Satu telunjukku mengetuk daguku, otakku berpikir. "Darimana aja," jawabku.

Ada jeda sejenak di antara kami. Nako menghela napas kembali memalingkan tatapannya pada buku yang ada di depan kami. Aku tahu Nako paling sensitif jika membicarakan tentang keluarganya. Tapi, jujur aku penasaran. Aku hanya ingin dia terbuka padaku, aku ingin merasakan beban yang ditanggung olehnya.

"Keluarga gue udah hancur sejak gue lulus SMP," kata Nako sarat akan kepedihan di nada suaranya dan aku terkejut. Aku bisa merasakan hal itu. "Mama gue dituduh selingkuh padahal gue tahu Mama gue gak pernah khianatin Papa. Papa gue mudah emosi, dia tempramen. Waktu pengumuman gue menang olimpiade di sekolah, orang tua gue gak dateng. Tapi, pas gue pulang, rumah udah kayak kapal pecah, ada suara tangisan Mama sama teriakan Papa." Nako tidak melanjutkan ucapannya. Kepalanya menunduk, aku melihat jika Nako terluka jika mengingat tentang keluarganya.

"Gue lari waktu itu ke kamar Mama, pintu yang terbuka buat gue leluasa ngeliat Mama gue di tampar sama Papa, dia tarik rambut Mama sampe kepala Mama terbentur tembok. Terus Mama pingsan." Suara serak Nako jelas membuatku terluka. Airmata Nako hampir saja keluar jika Nako tidak cepat menyekanya.

Oh Tuhan, sekarang aku paham, darimana Nako mendapatkan sifat kasar dan tempramen itu, dari Papanya. Apa mungkin Nako membenci seorang pengkhianat?

"Seminggu pasca kejadian Mama pingsan dan berakhir di rumah sakit, Papa gue menceraikan Mama. Gue gak yakin kalo Mama khianatin Papa. Gue stres waktu itu ngeliat keluarga gue hancur berantakan. Apalagi Papa gue selalu nyuruh gue buat jadi yang terbaik. Dia selalu ngatur hidup gue! Dan gue benci di atur, gue mau jadi diri sendiri." Nada suara Nako berubah tinggi. Kepalanya lekas menoleh padaku, tatapan matanya tajam dan merah. detik berikutnya Nako berdiri. Berjalan menuju depan tembok sampai akhirnya satu pukulan keras mendarat di tembok, membuat punggung tangan Nako memerah.

"Nako, stop!"aku berteriak saat Nako ingin melayangkan pukulan, dia menoleh padaku. Dari sorot matanya Nako benar-benar terluka, aku menyesal telah meminta Nako menceritakan tentang keluarganya.

"Apa? Lo mau ngetawain gue kan, karena hidup gue hancur?" Nako bertanya sinis aku membalasnya dengan gelengan kepala. Tanpa menunggu lama aku berlari, memeluknya dengan erat, menyandarkan kepalaku didadanya. Airmataku ingin mengalir deras melihat Nako seperti ini. Selama ini Nako tidak pernah bahagia, dia jauh terluka dariku.

Nako membeku di tempat. Perlahan tangannya terangkat untuk membalas pelukanku lebih erat hingga aku bisa merasakan sesak napas saking kuatnya pelukan Nako. Kepalanya tenggelam di bahuku. Tubuh Nako bergetar, apa Nako menangis? Cukup lama kami berpelukan hingga tanpa sadar bahwa labor kimia ini sudah gelap karena malam segera tiba.

"Nako, udah mau malam," lirihku pelan dan Nako melepaskan pelukannya. Tapi tangannya setia melingkar di pinggangku. Entah kenapa akhir-akhir ini Nako sering kali menyentuhku. Bahkan dia sering kali bersikap manis, membuatku ragu untuk pergi darinya. "Nako, ayo pulang," ajakku lagi, berusaha menyadarkan Nako yang menatapku dengan lekat.

"Kasi gue satu kecupan."

Aku terperangah mendengar ucapan Nako. Ini langka menurutku, Nako berani meminta padaku. Biasanya, Nako akan melakukannya tanpa meminta. Aku gugup, aku bisa merasakan jika Nako menarik pinggangku untuk menepis jarak di antara kami. Kepalaku terus mendongak menatapnya yang lebih tinggi dariku. Aku bisa mati berdiri jika Nako menatapku seperti ini, hingga akhirnya aku menarik kepalanya dan mendaratkan satu kecupan lembut di bibirnya.

ASMARALOKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang