34. Hukuman

243 27 0
                                    

Dewi menyeret Adit ke dalam rumah dengan menjewer telinganya tanpa ampun. Kepala Adit pegal karena miring-miring. Saat ini pukul tiga malam, setelah di introgasi oleh polisi, orang tua Adit langsung datang karena polisi menelpon mereka.

Raka yang mengetahuinya hanya memandang Adit tajam, lihatlah yang paling marah adalah Dewi. Ingin rasanya Dewi membuang Adit ke jurang yang paling dalam, tetapi senakal-nakalnya Adit, ia adalah anaknya mana mungkin Dewi tega.

"Adaw sakit, Bun!" rengek Adit meringis kesakitan. "Bun, udah lepasin, kasian," bela Raka.

"Bunda tuh kesel banget pa, sama Adit." Dewi semakin kencang menjewer anak keduanya itu. Arkhan yang terbangun langsung menghampiri mereka karena mendengar suara berisik dari ruang tamu. "Ada apa sih?" tanya Arkhan khas seperti orang bangun tidur.

"Ini si Adit, ikut balapan liar mau jadi apa kali!" Lagi-lagi Dewi menjewer telinga Adit semakin kencang dari sebelumnya. Adit meringis kesakitan, sungguh rasanya sangat sakit sekali. Air mata Adit keluar secara tiba-tiba karena meringis kesakitan, ia tidak menangis. Adit memang seperti itu ketika merasakan sakit.

Arkhan terbahak melihat Adit seperti itu, bahunya sampai berguncang-guncang melihat penderitaan adiknya. Adit memandang Arkhan dengan tatapan bengis.

Dewi melepaskan jewerannya pada telinga Adit, ia sudah keterlaluan menjewer Adit sampai segitunya, ia refleks karena terlalu emosi. Dewi menghela napas berat. "Maafin bunda ya, Dit. Abisnya bunda kesel sama kamu."

"Iya gapapa bun," ucap Adit sembari memegang telinganya yang sangat merah. Megan turun dari atas tangga, ia melihat keributan yang terjadi di ruang tamu. "Ih bunda, berisik tau!" bentak Megan.

"Eh Megan kok bangun, sayang?" Dewi langsung menggendong Megan. "Lagian bunda berisik banget sih," ucap Megan masih dengan mata sayunya.

"Kok bang Adit baru pulang? Masih pake seragam lagi," cibir Megan. "Berisik!" pekik Adit.

"Wleee." Megan menjulurkan lidahnya. Adit terus mengelus dadanya. "Sabar-sabar, dia adik lo, Dit."

Arkhan dan Megan tertawa puas melihat Adit. Kini Megan beralih di gendongan Arkhan, lelaki berkaos hitam itu terpaksa menggendong adiknya karena Dewi sudah lelah. Lelah yang di sebabkan oleh Adit, yaitu lelah marah-marah.

"Hahaha, kasian banget sih abang. Sukurin! Makanya jangan suka gangguin Megan," ledek Megan.

Arkhan tertawa. "Mampus!" ledeknya. "Yo semua yo, cengin terus cengin sampe puas," ketus Adit membuat keduanya kembali tertawa.

"Bang Akhan, cengin itu apa?" tanya Megan dengan polosnya. "Hm apa ya, abang juga gak tau. Kamu tidur lagi gih sana."

"Gak mau ah," tolak Megan. "Eh Megan kalau gak mau tidur nanti gak boleh sekolah loh, emang mau?"

"Ih gak mau! Ya udah Megan mau tidur, tapi kelonin ya bang."

"Iya, abang bacain cerita." Rasanya Adit tentram sekali melihat keduanya, tetapi ia tidak bisa seperti itu. Ia menyangangi Megan dengan caranya sendiri.

"Huuu! Manja lo," ledek Adit dengan tatapan sinis. Dewi hanya bisa menggelengkan kepalanya, anak keduanya ini memang beda sekali dengan Arkhan.

Arkhan dan Megan sudah beranjak ke kamar Megan, Raka sudah kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidur. Bi Mimi belakangan ini sering izin ke kampung untuk menengok ibunya yang sedang sakit, kini sisanya hanya Dewi dan Adit yang berada di ruang tamu.

Dewi menatap Adit dengan tajam, ia sangat marah, kesal, dan kecewa pada putra keduanya itu. Adit yang di lihat seperti itu hanya menyengir tidak berdosa dan membentuk jari tangan seperti huruf 'V'.

ADITYA [Proses terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang