31. Penculikan

233 33 0
                                    

Gadis cantik itu menyusuri jalanan untuk mencari angkot yang lewat, namun sejak tadi tidak ada satu pun angkot yang lewat di hadapannya, ia berjalan di atas trotoar dan membayangkan sosok ayahnya dulu, ayahnya sangat baik padanya, terlihat sayang padanya, tapi kenapa sekarang berbeda?

Nadjwa sangat ingin bertemu ayahnya kembali. Ia sangat rindu pada ayahnya, ingin rasanya ia memeluk erat tubuh sang ayah dan berkata. 'Aku kangen banget sama papa'

Tetapi itu semua tidak mungkin, Nadjwa tau itu hal yang sangat mustahil untuknya. Ia menghembuskan napas dengan kasar. Ia mengelap keringatnya yang mengalir di wajah, ia sangat lelah karena pertandingan basket tadi.

"Ternyata hidup gak selamanya berjalan mulus ya," ucapnya sambil tersenyum miris.

Tap.

Tap.

Tap.

Suara langkah kaki itu membuat Nadjwa menoleh ke belakang, namun tidak ada siapa-siapa. Mungkin hanya halusinasi belaka, pikirnya. Ia terus melanjutkan langkahnya kembali tanpa menghiraukan suara langkahan kaki itu.

Secara tiba-tiba, ada yang memegang tangannya dan langsung membekapnya dengan sapu tangan yang sudah di berikan obat bius.

***

Seperti biasa, anak-anak Alerga sedang berada di wardam. Saat ini wardam di penuhi oleh anggota inti Alerga kelas X sampai kelas XII. Abdul mentraktir mereka nasi goreng sebagai tanda atas resminya hubungan Abdul dengan Nadiya.

Keduanya nampak bahagia saat ini, semua anak Alerga berharap hubungan mereka tidak akan terputus dan terus langgeng sampai ajal menjemput.

"Gue nambah dong," kata Rafa seenaknya. "Mauan lo asem!" ketus Abdul.

"Orang pelit kuburannya sempit!"

"Gak ada, gak ada. Yang ada uang gue abis cuma buat beginian doang, kasian emak bapak gue, cui," ucap Abdul memelas.

"Jadi lo traktir kita pake uang orang tua lo?" tukas Abi.

"Iya," jawab Abdul santai.

Abi menghampiri Abdul dan memukul kepala belakangnya. "Goblok! Semuanya yang ada di sini, bayar sendiri-sendiri, gue gak mau tau," putus Abi cepat.

"Lah kok gitu, bang?" protes Randi. "Lo bayangin dong, orang tua lo susah payah cari uang tapi lo malah buang-buangin uang. Dimana perasaan lo?"

Abi memang tidak suka memakai uang orangtua untuk hal yang seperti ini, karena ia tau bagaimana susahnya mencari uang. Ia begini juga agar teman-temannya sadar akan kebiasaan buruk ini.

"Ya, iya sih. Tapi terserah Abdul lah bang, duit-duit dia," timpal Rofi.

"Terserah lo." Abi rasanya malas memberi tau orang bebal seperti mereka, kalau di bilanginnya susah. "Nih, Beh." Abi memberikan sejumlah uang pada babeh.

"Lah, bukannya si Abdul yang traktir? Kok bayar sendiri, Bi?"

"Gapapa, lagi gak mau nyusahin temen aja beh," ucap Abi dengan senyuman. "Oh, iya atuh. Makasih."

Sedari tadi perasaan Adit tidak enak. Ia merasakan ada yang mengganjal di hatinya, Ada apa ini? Ia membuka ponselnya dan memilih kontak chat yang ia tuju.

Adit: gue minta kontaknya Nadjwa.

Rafa: ha?

Adit: nyut!

Rafa: tumben amat lu.

Rafa: tapi kok lo bego sih, udah deket tapi ga punya kontaknya, emang dangkal lu.

ADITYA [Proses terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang