33. Balap Liar

247 30 3
                                    

Setelah pulang dari rumah sakit, lelaki itu mampir ke wardam untuk membeli minum dan menongkrong sebentar. Suasana di wardam terlihat begitu ramai. Pasalnya, anak-anak Alerga sehabis pulang dari rumah sakit, hampir semuanya nongkrong di wardam terlebih dulu.

Gunanya untuk menenangkan pikiran dan menghilangkan rasa lelah sehabis tempur dengan Varga tadi. Banyak yang merokok, bukan hanya satu atau dua batang, bahkan sampai lima batang mereka merokok.

Adit duduk di bangku panjang bersama anak-anak inti Alerga dari kelas X sampai kelas XII, kecuali Abdul, ia masih setia menjaga kekasihnya itu sampai pulih seperti sedia kala.

Sang ketua juga nampak tidak hadir. Tadi, sehabis mengantar Nadjwa pulang mungkin ia juga ikut pulang. Dengar-dengar Mira-mama Nadjwa dan Abi sudah pulang dari luar kota setelah sibuk di gulati oleh pekerjaan.

"Badan lo masih lemes, Dit?" tanya Arkhan yang mengetahui bahwa kondisi Adit masih lemas setelah mentransfusi darah. "Biasa aja," jawab Adit yang masih setia memegangi puntung rokok lalu menghisapnya berulang kali.

"Sakit banget cok," lirih Rofi yang sedang di obati oleh Rafa. Kaki Rofi terkena paku tadi, ada - ada saja memang. Ia melakukan aksi akrobat di dekat lapangan basket di dekat wardam.

"Lagian sih lo ada-ada aja." Rafa menoyor kepala abangnya itu. "Ntar gue yang di omelin sama mami gara-gara lo, emang gak guna hidup lo!"

Rofi menjewer telinga Rafa dengan sangat kencang. "Heh! Sangenah-ngenah," ucapnya.

"Udah cepetan obatin kaki gue yang bener! Kalau lo ngebacot terus, gak bakalan gue anter pulang."

"Najis gitu banget anceman lo," sinis Rafa. "Gue serius ye asem, lu kalau nyolot gak bakal gue anterin pulang, terserah mau jadi gembel kek, pengemis kek, gue gak peduli!"

"Sekarang aku tanya, kamu pulangnya gimana sayang? HAH?!" ucapnya dengan nada tinggi di akhir kalimat membuat semua orang di Wardam tertawa.

Rafa menekan luka Rofi dengan sengaja. "Sakit!" Rofi menempeleng kepala Rafa dengan kasar. "Masih untung lo gue obatin bangcat!"

"Kaki masih sakit, sok-sokan mau ngancem. Yang ada gue yang ninggalin lo titisan anoa!" Setelah memarahi abangnya, Rafa membereskan perlatan p3k itu dan menaruhnya.

Rofi mengelus dadanya dengan sabar, kok bisa ya dia punya adik kayak si Rafa? Kalau dia jadi seorang ibu mungkin dia sudah mengutuk Rafa menjadi platypus.

"Heran gue sama lo, adik-kakak kerjaannya ribut terus." Arkhan hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Tau aneh gue juga, dulu ya gue pengen punya adik tuh gara-gara nonton tipi," ujar Rofi meleset.

"Adiknya itu sayang banget tuh sama abangnya, terus gue ngambek sama emak gue karena gak mau bikin lagi."

"Eh pas bikin keluarnya malah kayak monyet! Nyesel banget gue punya adik kayak dia," kata Rofi sambil melirik Rafa sinis.

Semuanya tertawa, puas mendengar penderitaan Rofi. Biasanya kan mereka yang menderita berteman dengan Rofi, tapi sekarang dia yang kena batunya.

Rafa menoleh ke arah Rofi, ia sangat geram dengan abangnya itu. Gigi gerahamnya menekan amarah cukup kuat. "Gak usah ngomongin gue lo, gue tebas pala lo make sendal!" sentak Rafa sudah memegang sendal babeh di tangannya.

"Tega lo!" ujar Rofi dramatis. "Bodo amat! Kesel setengah mati gue sama lo bang, untung kakak gue lo. Kalau gak udah gue karungin, terus gue buang ke rawa-rawa."

"Durhaka lo Rap sama abang sendiri, awas aja kaki gue sembuh mah siap-siap aja lo."

"Uhh sayang aku," ujar Amal dramatis. "Sayang, aku di nakalin," adu Rofi pada Amal.

ADITYA [Proses terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang