"Dor!"
"Ngga jelas lo!" Nana mencebikan bibirnya sebal saat ia baru tiba dirumah dan mengagetkan Jino yang malah berkespresi datar.
"Dek, bunda mana?' tanya Nana saat kedua kakinya direbahkan diatas paha adiknya. Jino hanya diam tak menolak.
"Ada."
"Iya ada dimana geblek? Jawaban lo ngeselin banget!" kesal Nana.
"Lagi ngobrol dibelakang," jawab Jino yang masih terus memfokuskan matanya pada tayangan televisi.
Nana merubah posisi kakinya menjadi bersila. "Ngobrol? Lagi telponan maksud lo?"
"Ck, ngga. Ngobrol face to face."
"Sama siapa?" Nana yang terus-terusan bertanya membuat Jino menatapnya sebal. "Sama ayah."
"A--ayah? Ayah lagi disini? Kok ngga bilang-bilang dulu."
Kini tatapan Jino berubah jadi penuh selidik, "lo tau kalo ayah udah kembali kak?"
Nana menggaruk tengkuknya, "gue juga baru tau kemaren-kemaren kok. Dek, lo ngga marah atau benci sama ayah?" tanya Nana pada adik yang berbeda usia hanya dua tahun itu.
Tatapan Jino berubah serius, lalu hembusan nafas kasar terdengar oleh Nana. "Apa menurut lo gue bisa benci dia kak?"
Jino yang kini tengah menatap Nana membuat Nana hanyut oleh perasaan yang tak ia pahami. Walaupun Jino masih duduk di kelas dua SMP, tapi pemikirannya yang sudah bisa dibilang dewasa membuat Nana sendiri kadang sulit memahami adiknya.
"Tugas gue cuma nerima ayah aja kan kak? Soal membenci, apa ada alasan untuk itu? Kalo ada, coba lo kasih tau gue kak."
"Ya, tugas lo--maksudnya tugas kita berdua cuma nerima ayah. Lo ngga usah mikirin hal lain. Oke?"
Jino mengangguk singkat. Kakak beradik itu melihat kedua orangtuanya yang berjalan menghampiri mereka.
"Kok kakak pulang ngga bilang bunda?" tanya Izel yang langsung duduk disofa diikuti Andra yang juga duduk disampingnya.
"Nana baru aja pulang bun. Ayah ngapain disini?"
Andra mendapat pertanyaan itu langsung tersenyum simpul, "mau liat anak-anak ayah dong. Kalian udah makan?"
"Jino udah." jawab adiknya santai, "iyalah orang lo ngga pernah telat makan, anak gendut!" ledek Nana yang membuat tatapan Jino berubah sinis.
"Gue ngga gendut! Lo aja yang cacingan makanya kerempeng!" timpal Jino membalas ledekan kakaknya.
"Dih gue mah body goals ya sorry. Lo--"
"STOP!" Izel sedikit berteriak untuk melerai pertengkaran kedua anaknya.
"Uang jajan kalian bunda potong buat besok!" tambahnya.
"Jangan dong bun--"
"Kamu juga kak, baru pindah ke sekolah baru udah sering bolos! Kemana aja kamu sampe bolos berhari-hari?"
Mata Nana kicep, namun kini hatinya benar-benar sedang mengumpati satu orang. Fares!
"Jawab bunda kak!"
Nana menyengir lebar, sambir menggaruk kepalanya yang tak gatal, "emm, anu bun...Nana ada urusan jadi ngga bisa ke sekolah."
"Urusan apa?" Izel masih terus mencecar Nana dan mengintrogasinya. Nana yang menatap Andra seolah meminta bantuan langsung diangguki oleh ayahnya itu.
"Mungkin Nana la--"
"Diem! Gue ngga nyuruh lo ngomong." belum sempat Andra melanjutkan ucapannya, Izel langsung memotongnya. Hal tersebut membuat Nana dan Jino merasa takut karena bundanya menjadi terlihat menyeramkan.
"Bunda udah berapa kali bilang sih sama kamu kak? Cukup jadi anak manis dan gadis baik pada umumnya. Ngga usah berantem sama orang lain, nyari gara-gara, yang bisa bikin kamu sendiri celaka. Kamu masih ngga mau dengerin bunda?"
"Bunda, Nana ngga pernah nyari gara-gara sama siapapun. Jangan terlalu dengerin Fares. Dia pasti udah ngomong yang ngga-ngga kan sama bunda?"
"Fares bahkan ngga bilang apapun sama bunda. Kamu pikir bunda tau dari Fares? Bunda tau dari guru kamu di sekolah. Dia tadi nelpon bunda dan nanyain kamu yang jarang masuk."
"Tapi Nana punya alasan bunda."
"Ya jelasin dong apa alesan kamu! Kamu tuh makin kesini malah makin bandel. Bunda sekolahin kamu di sekolah biasa karena mau kasih kesempatan buat kamu berubah kak, bisa bergaul dengan baik, berteman sama siapa aja, mengenal lingkungan baru buat kamu bisa beradaptasi. Tapi apa? Kamu selalu aja bikin masalah!"
Nana baru dimarahi Izel lagi setelah terakhir ia dimarahi ketika ketahuan ikut balap liar.
"Kalo kamu kayak gini terus. Lebih baik kamu kayak dulu lagi. Home schooling."
Nana yang paling benci mendengar kata home schooling langsung menggeleng kuat, "Nana janji ngga akan nakal lagi bunda, Nana ngga akan bolos lagi, Nana ngga akan berantem lagi. Please bunda, Nana ngga mau home schooling."
Andra yang sedari tadi diam hanya memperhatikan percakapan Izel dan Nana. Ia hanya ingin tau terlebih dahulu akar permasalahannya.
Nana melihat ekspresi Jino yang tengah meledeknya sambil menyeringai puas.
"Satu kesempatan. Terakhir! Kalo kamu masih nyia-nyiain ini, jangan salahin bunda buat ngehukum kamu nanti. Ngerti?"
Nana mengangguk patuh, ia akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya, Nana senang telah diberi kesempatan oleh Izel.
Inilah yang Nana takutkan, membuat Izel marah besar, dan pada saat itu terjadi, bundanya itu tak segan-segan menghukumnya. Hukuman yang membuat ruang gerak Nana akan semakin sempit.
"Kamu juga Jino! Ngapain pake segala mukulin kakak kelas kamu? Mau sok jagoan? Iya?"
Hati Nana bersorak, ia benar-benar merasakan perputaran nasib yang begitu signifikan, hahaha sukurin lo anak tuyul! Ejeknya dalam hati.
"Dia udah isengin murid cewek, bunda. Dan dia juga yang ngajak berantem Jino duluan. Kalo Jino diem aja, bisa babak belur dong nanti," Jino berusaha menjelaskan.
"Wow, udah jadi pangeran kesiangan rupanya adek gue ini. Ckckck, bun anak cowok bunda hebat!" ucapan Nana yang seolah tengah mengompori Izel mendapat pelototan tajam dari Jino.
Izel tak menggubris ucapan Nana, "ya tapi ngga harus mukulin sampe anak itu babak belur dong Jino. Itu namanya kamu keterlaluan!"
"Dia ngatain aku cemen bunda. Ya jelas lah aku ngga terima." Jino masih terus berusaha membela diri. Sedangkan Nana dan Andra kini saling melempar tatapan lucunya. Mereka berdua seolah tengah asyik menonton pertunjukan live.
"Tapi mukulin orang itu tetep salah Jinovar! Kamu ini kenapa sih susah banget dibilangin jadi anak? Kalo kamu tiap tersinggung langsung ngehajar orang, pasti banyak orang yang ngga suka dan bisa bahaya buat diri kamu sendiri. Ngerti?!"
Jino yang sebenarnya masih ingin menyangkal bundanya akhirnya memilih untuk mengangguk lemah. Bagaimanapun ia Izel tak suka bantahan. "Yaudah maaf bunda, Jino salah."
"Bukan sama bunda kamu minta maafnya, tapi sama anak yang udah kamu pukulin."
"Tap--"
"Kamu cowok Jino, harus gentle dan minta maaf kalo emang kamu salah. Paham?"
"Iya bunda iya, jangan marah-marah terus," Jino kembali menjawab.
"Ya bunda juga ngga akan marah-marah kalo anak-anak bundanya nurut, baik, ngga neko-neko. Kalian berdua yang bikin bunda emosi terus tau ngga?! Heran bunda, punya dua anak kok semuanya hobi berantem. Kalian jadi petinju aja sana sekalian! Biar berantemnya ngehasilin duit!"
Ucapan Izel kali ini membuat Nana, Jino dan Andra sekalipun diam membatu, ketiganya tak berniat membantah apa yang dikatakan sang ratu rumah mereka.
"Dia udah bener-bener jadi emak-emak tulen rupanya." batin Andra bergumam, dan tangannya menepuk dahi.
🍂🍂🍂

KAMU SEDANG MEMBACA
BONANZA [Completed]
Teen Fiction[FOLLOW DULU, BEBERAPA PART DI PRIVATE] Family Series : 2nd Disarankan membaca cerita GRIZELLE terlebih dahulu. -- Bonanza Dandil Dimitri, anak sulung dari pasangan Gavandra Adilhaq Dimitri dan Grizelle Danisya Roger yang merupakan gadis pemberontak...