Part 23

19.7K 1.2K 51
                                        

"Kamu bener-bener ngga bisa dengerin bunda ya kak? Sampe kapan sih kamu kayak gini terus?!" nada bentakan Izel membuat tubuh Nana sedikit tersentak kaget.

Nana sudah berusaha untuk menutupi lukanya, tapi luka-luka sialannya itu terlampau banyak apalagi diwajahnya, yang tentu saja langsung diketahui Izel. Selain itu dari cara jalan Nana yang pincang semakin membuat Izel naik pitam.

"Liat sekarang muka kamu lebam-lebam begitu! Kaki kamu juga pincang! Apa kamu pikir kamu keren dengan kayak gitu, kak? Ngga sama sekali! Kamu keliatan kayak preman!"

"Bunda, Nana ngga salah. Nana ngga berantem." Nana berusaha untuk menjelaskan, namun tetap saja raut wajah Izel tak melunak sedikitpun.

"Ya terus kenapa bisa wajah kamu babak belur begini Bonanza?! Kamu pikir bunda bodoh? Jelas-jelas bunda tau kalo luka kamu ini gara-gara berantem. Kamu masih aja ngelak jadi anak!"

"Tapi mereka yang mulai duluan, bun. Mereka yang nyari gara-gara sama Nana. Bahkan Nana diem aja ngga ngelawan sedikitpun."

Izel berdecak, "kalo mereka ngehajar kamu, itu berarti kamunya juga awalnya nyari gara-gara sama mereka. Ngga mungkin mereka ngga punya alesan buat ini. Intinya kamu juga salah, kak! Sekarang kamu masuk kamar! Mulai besok kamu ngga perlu berangkat sekolah!"

"Tapi bun--"

"Bunda udah ngasih satu kesempatan terakhir, dan kamu udah nyia-nyiain kesempatan itu. Jadi ngga ada alesan buat kamu ngebantah bunda kali ini."

Ulu hati Nana berdenyut sakit, jelas saja karena Izel benar-benar marah dan tak mau mendengarkan penjelasannya.

"Bunda, please. Kali ini bunda harus dengerin aku. Semuanya cuma berawal dari aku yang nolongin satu murid yang lagi dibully sama empat cewek dan aku ngga sengaja bikin salah satu dari empat cewek itu cedera tangannya. Tapi itu semua juga karena dia yang mulai duluan mau nyerang aku. Kalo bunda ngga percaya, bunda bisa tanya tante Pika."

Nana tak menyerah, ia hanya ingin Izel bisa memahami alasannya.

"Jadi kamu baru mau jujur sekarang sama bunda soal ini? Kalo emang kamu mau nolong si A, ngga usah ngelukain si B. Itu namanya kamu nyelsein masalah dengan buat masalah baru! Bunda makin yakin buat ngga ngizinin kamu masuk sekolah lagi. Kamu ngga cocok disana. Akan ada masalah-masalah baru yang nantinya muncul. Sekarang, masuk kamar!" perintah Izel dengan telunjuk yang mengarah ke pintu kamar Nana.

"Ngga gitu bun--"

"MASUK SEKARANG, ATAU BUNDA BAKAL LEBIH MARAH?!"

Mau tak mau, Nana menuruti Izel memasuki kamarnya dengan langkah lesu. Saat pintu kamarnya tertutup, tubuh Nana langsung luruh kelantai dengan satu cairan bening yang mengalir di pipinya, namun saat itu juga ia langsung menghapusnya.

CKLEK!

Suara pintu yang dikunci baru saja terdengar, bukan Nana yang mengunci kamarnya, namun Izel yang selalu menghukumnya dengan menguncinya dikamar.

Nana menghembuskan napasnya kasar, ia memutuskan untuk mandi agar badannya terasa lebih rileks.

Setelah bersih-bersih dan berganti pakaian menjadi piyama tidur, Nana membaringkan tubuhnya diranjang sambil memijit pelipisnya.

Sedangkan dilantai bawah Andra yang baru saja menjemput Jino dari sekolah langsung duduk memperhatikan raut wajah Izel yang sedang tak bersahabat.

"Bunda kenapa?" tanya Jino yang duduk disamping Andra yang dijawab Izel dengan helaan napas berat, "kakak kamu selalu bikin bunda pusing!"

"Nana kenapa?" kini Andra yang bertanya pada Izel, raut wajahnya berubah khawatir.

"Dia pulang-pulang badannya lebam-lebam, kakinya pincang. Gimana bunda ngga kesel! Dia emang ngga seharusnya sekolah di sekolah umum. Kalo sampe kayak gini terus, bunda udah ngga ngerti lagi harus ngapain."

Andra kini paham, Izel sangat khawatir sampai-sampai amarahnya tak terkendali.

"Sekarang kakak dimana, bun?" Izel menatap Jino sekilas lalu menjawab, "dikamar, bunda kunciin."

"Jino, kamu ke kamar dulu ya sayang, ganti baju, mandi. Oke?" perintah Andra yang diangguki oleh Jino, anak itu tau kalau kedua orangtuanya ingin bebicara hal penting berdua. Dan yang pasti, itu urusan orang dewasa.

Setelah Andra melihat anak bungsunya menutup pintu kamar, tatapan Andra beralih pada Izel, "hukuman lo kuno tau ngga?"

"Apa maksud lo?" Izel yang belum reda kekesalannya menjawab Andra dengan nada sinis.

"Lo bisa ngga sih ngertiin perasaan anak seumuran dia? Ada hal-hal yang harus lo pahami dari sudut pandang yang berbeda. Seenggaknya sebagai seorang ibu, lo dengerin dulu penjelasan Nana."

"Gue udah denger! Dan menurut gue Nana tetep salah disini. Dia selalu bikin masalah dan terlalu ngurusin urusan orang lain yang ujung-ujungnya bikin dia ikut bermasalah juga."

Andra menyeringai, "oh ya? Ternyata pola pikir lo sempit. Pantes aja anak-anak takut bikin lo marah. Lo emang ngga bisa berpikiran jernih, Grizelle. Lo masih sama kayak dulu."

"Stop bahas masa lalu, Gav! Lo jangan so tau tentang gue. Karena gue yang udah berhasil ngebesarin mereka dan didik mereka sampe sekarang!"

"Ya ya ya. Lo udah berhasil ngebesarin dua anak kita dengan baik, tapi gue ralat kalo soal mendidik. Disini lo gagal untuk itu, sayang."

Izel yang tak paham maksud ucapan Andra hanya diam dengan kernyitan di dahinya.

"Lo ngerasa berhasil ngedidik mereka dari mana? Dari mereka yang takut sama lo sebagai ibunya? Dari mereka yang selalu jaga perasaan lo karena ngga mau bikin gara-gara? Atau hal lain? Hm?"

Pertanyaan Andra membuat Izel bungkam mencerna.

"Mungkin iya untuk itu lo berhasil. Tapi lo gagal dalam memahami isi hati anak lo sendiri. Lo gagal mengetahui apa sebenernya yang mereka mau. Lo selalu maksain kehendak lo, tanpa sadar lo maksa mereka buat selalu nurutin lo. Lo ngga peduli mereka setuju atau ngga sama pendapat lo. Tapi lo ngga liat? Anak-anak udah berusaha untuk itu! Berusaha buat sebisa mungkin ngga bikin lo kecewa! Dan ketika mereka gagal nurutin lo, lo selalu nyalahin mereka."

Hati Izel mencelos, ia menatap mata Andra percaya diri, "semua yang gue bilang itu buat kebaikan mereka. Gue ngga mau mereka kenapa-napa! Gue ngga mau anak-anak gue sampai berbuat salah. Gue ngga mau anak-anak gue diposisi yang selalu disalahkan orang lain, kalopun tujuan mereka berbuat baik! Gue ngga mau!"

"Apa lo udah denger alasan Nana kenapa kayak gitu?"

Izel meneguk ludahnya susah payah, "dia mau bantuin orang lain yang dibully. Tapi dia malah bikin cedera salah satu pembully itu."

Andra tersenyum miring, "harusnya lo bahagia, karena dia masih punya empati sama orang sekitar. Seenggaknya Nana berniat buat nolong orang lain. Untuk soal bikin masalah gue rasa Nana ngga pernah mau bermasalah, tapi sifat baik dia yang bikin dia selalu ada didalam masalah. Lo masih ngga paham soal itu?"

Izel paham maksud Andra, tapi tetap saja ia masih tak terima jika telah terjadi sesuatu pada anaknya. Sebagai seorang ibu, hatinya sakit saat melihat anaknya babak belur karena orang lain bahkan ia sendiri tak pernah sekalipun mencubit anaknya. Maka dari itu, Izel sangat marah kalau anak-anaknya sampai terluka.

"Gue ngga mau lo nyesel, Zel."

"Gue ngga akan nyesel, kalo buat kebaikan anak-anak gue. Paham?" jawab Izel dengan tenang.

Andra mengangguk, lalu tersenyum samar, "kalo gue bilang antara gue sama Luna dulu ngga terjadi apa-apa, apa lo juga ngga nyesel, karena udah minta kita bercerai?"

DEG!

"Ma-maksud lo?"

"Ya, karena pada kenyataannya gue sama Luna ngga pernah ngapa-ngapain. Dia cuma jebak gue dan bikin lo salah paham, Grizelle. Lo juga ngga nyesel tentang hal ini?"

Lidah Izel kelu. Ada perasaan bahagia dalam hatinya saat tau Andra dan sekretarisnya dulu tak terjadi apa-apa. Namun perasaan lain lebih mendominasi, perasaan yang dipenuhi satu kata yang terus terngiang.

Andaikan...

Andaikan...

Andaikan...

Inikah definisi penyesalan yang sesungguhnya?

🍂🍂🍂

Jangan lupa vomment :)

BONANZA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang