Altav sekarang sedang menatapi ketakutan terbesarnya. Yaitu kenampakan Thea yang berjalan berdampingan dengan Rio. Rasanya ingin mengejar mereka dan menghentikan apapun yang akan mereka lakukan berdua. Tapi, tidak mungkin kali ini karena kelihatannya Thea tersenyum tulus dan tidak menolak Rio lagi seperti biasanya. Menyebalkan, pikir Altav.
"Tav." Panggil Shalu, datang dari arah kiri koridor ruangan lapangan basket indoor ini.
Altav menoleh, lalu meraih tangan Shalu untuk duduk di bangku depan ruangan. "Rio lagi anterin Thea pulang kayaknya." Tanpa basa-basi ia langsung menceritakan hal tersebut.
Shalu yang mendengarnya tentu saja tertawa, "Tenang Tav, tenang yah. Belum tentu satu kali jalan langsung jadian. Peluang lo masih ada kok, belum terlambat." Ujarnya, memberikan semangat sambil mengelus-elus punggung Altav.
"Tapi Thea senyum Sha. Gak kayak biasanya," keluh Altav dengan raut wajah marah dan mata yang mulai memerah akibat emosi dan rasa sedihnya. "Gue gak pernah lihat Thea senyum kayak gitu pas pulang bareng gue. Kelihatannya beda, Thea udah gak benci sama Rio, Sha." Kukuhnya.
Shalu yang baru saja membawa beberapap buku dari perpustakaan itu, sekarang mulai menaruh barang bawaannya di kursi sampingnya. Lalu fokus menenangkan Altav yang kelihatan mulai kacau. Ia tahu betul kalalu kelemahan laki-laki ini adalah melihat Rio memenangkan sesuatu dari dirinya, apalagi yang menyangkut Thea.
"Tav, dengerin gue. Sini lihat gue," tutur Shalu. Mengesampingkan kerja kelompoknya demi untuk mengurusi masalah sahabat terbaiknya yang satu ini. Perlahan ia mengelus lengan Altav yang bersedia memutar posisi duduknya agar menghadap padanya.
Tatapan mereka bertemu, Shalu tahu Altav sedang sangat ketakutan, sorot mata laki-laki itu jelas begitu khawatir. "Thea dari dulu gak pernah bisa suka sama Rio, sejak dia kecil, kurang lebih sepuluh tahun lamanya dia benci sama Rio." Shalu mulai membagi pemikirannya, "Gak mungkin orang yang benci selama itu bisa dia sukain dalam satu hari kan? Gak logis rasanya perasaan benci Thea selama sepluluh tahun, bisa berubah jadi perasaan suka bahkan dalam sekejap mata kayak yang lo lihat tadi?"
Altav mengangguk karena ada benarnya juga.
"Sekarang lo jangan panik dan jangan takut kalah sama Rio. Dia gak selalu menang dari lo kok, buktinya semester satu kemarin lo yang pegang peringkat satu, bukan dia." Ujar Shalu.
"Tapi, Sha-"
"Gak. Lo gak boleh mikir yang nggak-nggak lagi. Gue gak izinin." Shalu kukuh.
Altav yang merasa terhibur dan lumayan tenang pun langsung menunjukan senyuman. "Makasih Sha, lo emang yang paling ngerti gue." Ia menunjukan mata berkaca-kaca-nya.
Shalu yang tidak tega tentu saja langsung memasang raut wajah sedih, "Uh, cup-cup... kasihan Tav-tav lagi sedih." Ledeknya, tapi sambil mengelus pucuk kepala Altav, menghiburnya lagi.
Altav yang tidak suka diperlakukan seperti itu, langsung bergerak meraih tangan Shalu agar berhenti mengelus kepalanya. "Diem, jangan ngeledek." Protesnya. Menyingkirkan tangan itu.
Mereka bergurau berdua. Aro yang hendak menyusul Shalu ke perpustakaan pun putar balik saat menyaksikan pemandangan tidak sedap itu. Pada dasarnya, ia memang adalah tipe laki-laki yang mudah cemburu terutama kepada Altav, sahabat dekat kekasihnya.
***
Shalu kembali ke kelas setelah menyelesaikan urusannya menenangkan Altav. "Eh, Aro kemana?" Ia menduduki kursi sambil mempertanyakan ketiadaan Aro di kelompok.
"Tadi katanya mau nyusul lo ke perpus." Kata Celine, satu kelompok juga dengan Aro dan Shalu.
"Loh? Gue gak lihat dia di perpus." Gerutu Shalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Abu! 3
Teen Fiction"Ini adalah cerita anak-anak kami, yang entah mengapa cepat sekali beranjak dewasa... hingga tak terasa telah mengenakan seragam yang pernah kami kenakan─ putih abu" present by: (keturunan) nct dream note: Putih Abu! 3 - New Story adalah series tera...