New Story #End

852 79 126
                                    

Bulan telah berganti. Bahkan, tahlilan 40 hari mendiang Aro akan dilaksanakan sebentar lagi.

Jeno dan Ana masih bingung karena Shalu tetap tidak mau keluar kamar. Ia benar-benar menepi dari kerasnya kehidupan dunia. Sekarang bukan hanya kecemasan berlebih, namun Shalu juga mengidap trauma berat dan stres yang lumayan parah.

"Gue udah gak tau lagi Shalu harus gimana... udah pasti dia gak bisa lanjut kuliah di UI, soalnya bakal inget sama almarhum terus." Jeno pasrah.

"Pelan-pelan aja, No... kan sekarang masih masa liburan kenaikan kelas, anak-anak juga baru mulai kuliah bulan depan. Shalu masih punya tiga puluh hari buat bikin rencana baru." Kata Mark.

Haechan mengangguk. "Atau nggak, Shalu pindah kota aja supaya bisa bantu lupain memori di sini. Jadi cari kampus di luar Jakarta atau ikut Damar atau Altav tuh, ke Bali atau Aceh." Sarannya.

"Nah, iya bener... siapa tau agak mendingan kalau mulai dari nol di kota baru." Renjun setuju sekali.

Jaemin menepuk pundak Jeno, memberi energi positif. "Ayo, lo sama Ana juga harus semangat cari jalan keluar. Kalau kalian semangat, Shalu juga jadi gak enak cuekin orangtuanya terus."

"Iya, dia udah dewasa. Tau mana yang bener dan gak bener..." Chenle memberi semangat. "Kalau soal kampus mah tenang aja, No. Ujian mandiri paling berapa, jangan dipikirin, Shalu bisa masuk ke kampus manapun yang penting semangatnya balik dulu." Tuturnya, tidak peduli dengan nominal.

"Anjay! Tuh kan, mau dibayarin kuliah sama Papih." Haechan mulai bercanda. Ia tidak sadar kalau teman-temannya mengedarkan mata elang padanya.

Jeno mengangguk, tersenyum juga. "Semangat... berarti gue butuh bantuan Altav, Le." Tiba-tiba saja ia menyelutuk begini. "Waktu arisan dulu gue pernah liat Shalu ngobrol berdua sama Altav... keliatannya mereka terbuka banget, siapa tau Shalu mau curhat kalau berdua aja sama Altav."

Para ibu menoleh, telinga mereka tak sengaja mendengar ucapan Jeno. "Apa? Altav?" Ana sampai menghampiri para ayah dengan apron di tubuhnya. "Kamu kok gak bilang Shalu sedeket itu sama Altav? Kemarin malah cobain Damar sampe Daniela suruh ketok pintu kamar Shalu." Ia mengomel, kecewa karena baru mengetahuinya.

Jeno mengangguk, "Iya, aku juga lupa, baru tadi kepikiran pas liat Lele... kali ini bener Shalu paling terbuka sama Altav kan? Ternyata selama ini kita kurang perhatian sama dia, Na. Sampe gak tau mana sahabat Shalu, mana cuma temen aja."

"Nggak... gak gitu, No. Kalian jangan salahin diri sendiri. Selama ini kalian orangtua yang baik kok, jangan melimpahkan beban masalah ke pundak sendiri, nanti jadi lama selesainya." Kata Yuhi.

Jeno dan Ana mengangguk, namun masih merasa bersalah. Akhirnya memikul beban seorang diri. Padahal, mereka bisa menyelesaikan ini bersama.

"Gue telepon Altav dulu." Kata Gea.

Pukul 10.11 pagi, Altav sampai. Seluruh keluarga sudah menunggu kedatangannya. "Aku gak yakin bisa banyak bantu yah, Om, Tante... dicoba, tapi jangan terlalu berharap, takutnya gak berhasil."

"Iya Tav, tolong yah." Tutur Ana.

Altav saja tidak yakin pada dirinya sendiri, itulah alasan mengapa selama ini ia diam saja. Rasanya dirinya tidak mampu membantu apa-apa. Altav pikir, ia belum memahami Shalu seperti apa yang orang-orang harapkan. Padahal, ia sudah pesimis duluan, tidak sadar kalau dirinya lah orang yang paling paham tentang apapun mengenai Shalu.

Tok tok

Altav mengetuk pintu kamar Shalu pelan. "Sha... ini gue Altav nih," sebelum melanjutkan, sempat menarik nafas. "Lo perlu curhat kan? Gue di sini, dari kemarin nungguin lo chat, tapi ternyata gak di chat-chat... gue kangen curhatan serius lo yang sok tau atau sok dewasa itu, mau denger."

Putih Abu! 3 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang