Bel pulang berbunyi.
"Lin, gue ke toilet dulu yah... lo duluan aja ke parkiran, nanti gue lari." Theo meminta izin. Ia beranjak dari bangku karena sudah tak tahan ingin buang air kecil.
Ralin mengangguk paham, ia sedang sibuk membenahi barang-barangnya. Selain menumpuk buku dan menaruhnya ke dalam tas, ia juga memasukan pulpen dan alat tulis lain ke tempat pensil.
Nesya masih duduk sebangku dengan Ralin, rasa tidak sukanya terhadap hubungan Theo dan Ralin jadi semakin terlihat jelas. "Gue duluan." Ia sering kali menyeletuk seperti itu atau tak sengaja menatap sinis secara tiba-tiba. Entah sadar atau tidak, sikap arogannya sudah mulai terbaca oleh orang-orang.
Ralin tidak terkejut, ia beranjak dari bangku dan melangkah ke parkiran sesuai pesan Theo. Tak sengaja saat baru akan menapak keluar lantai koridor, ia melihat Nesya sedang dibuntuti oleh Esa. Terlihat kontras karena Nesya terus bergerak menoleh seolah sedang mengusir Esa.
"Lin." Panggil Theo, benar-benar berlari dari toilet. Menemukan Ralin masih berdiri mematung di pinggir jalan menuju parkiran. "Ayo, lo liatin apaan si?" Karena Ralin tetap bungkam, ia menoleh ke arah pandang Ralin.
"Kayaknya Esa lagi dimarahin sama Nesya karena ngikutin dia." Terka Ralin, merasa sangat simpatik pada Esa dan heran mengapa Nesya begitu berusaha menolak Esa, padahalkan tidak ada kekurangan yang dimiliki Esa dari yang selama ini ia perhatikan. "Udah keterlaluan kalo kata gue Yo, gimana kalau kita besok bantuin Esa... minta tolong sama Thea, Kak Rio juga." Sarannya.
"Iya, kasian Esa." Theo langsung setuju, matanya sampai tidak bisa lepas dari pemandangan di depan gerbang sekolah.
***
Esa masih tetap mengikuti Nesya. Ia merasa takut saat Nesya harus berjalan sendirian hingga ke depan hotel tempat orangtua Nesya bekerja. Maka dari itu, ia membuntuti Nesya dan menemaninya hingga bisa dipastikan aman.
"LO BERENTI NAPAH BUNTUTIN GUE!" Nesya selalu mengomel, ia berteriak keras pada Esa dan memasang raut wajah tegas, penuh kebencian.
Esa bingung, tidak tahu kenapa dirinya bisa ditolak setegas itu seolah sama sekali tidak diberi kesempatan. "Gue salah apa sih Nes sama lo? Selama ini gue gak bikin masalah, gue kan kayak gini karena gue suka sama lo." Ia berkata jujur.
Nesya malah buang muka.
"Nes... coba bilang sama gue, harus ngapain gue biar lo mau kasih gue kesempatan. Gue capek jadi orang yang kerjaannya cuma mengkhayal."
"Selamanya lo bakal mengkhayal, Sa." Nesya menyeletuk tanpa berpikir dua kali. "Dunia emang gak adil. Orang yang gue suka bukan lo! Gue juga pernah bertanya-tanya sampe berdo'a supaya lo aja jadi orang yang gue suka... tapi gak bisa."
Esa tertegun, tidak tahu kalau Nesya pernah memiliki pemikiran seperti itu. "Emang siapa yang lo suka? Boleh gue tahu? Biar gue bisa bandingin, kenapa gue gak mampu nyingkirin dia yang lo suka itu."
"Theo."
Sepasang mata Esa membulat besar. Nama yang baru saja keluar dari mulut Nesya adalah nama teman sebangkunya, teman sejak sekolah dasar, hingga sudah bisa disebut sebagai sahabat karib. Ia tidak percaya. Tidak mungkin Nesya menyukai Theo yang selama ini mendukungnya. Theo yang paling berusaha mendekatkan dirinya dengan Nesya.
"Gue gak bercanda." Nesya kembali meyakinkan Esa, ia paham kalau Esa sedang tertegun dan tidak bisa berkomentar sekarang. "Lega gue bisa ngomong gini sama lo... tinggal Ralin. Bosen banget gue diteken sama dia suruh deket sama lo, padahal yang gue suka bukan lo, tapi Theo."
"Udah. Gue gak mau denger lagi. Cukup sekali lo sebut nama Theo... jangan diulang-ulang. Gue gak suka sahabat gue di adu domba!" Esa kali ini mempertegas ucapannya. "Lo tau kan dia udah jalan sama Ralin? Jangan hancurin hubungan orang lain. Mereka gak punya salah apa-apa sama lo karena mereka gak tau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Abu! 3
Teen Fiction"Ini adalah cerita anak-anak kami, yang entah mengapa cepat sekali beranjak dewasa... hingga tak terasa telah mengenakan seragam yang pernah kami kenakan─ putih abu" present by: (keturunan) nct dream note: Putih Abu! 3 - New Story adalah series tera...